Rimba, yang tampaknya sudah lelah dengan drama di antara dua orang mantan penghuni panti asuhan tersebut, mengisyaratkan agar Andre membawa Widya pergi, sesuai rencana awal mereka. Ia tidak bisa menunggu lagi.
Andre paham maksud Rimba, lalu segera menarik Widya agar keluar dari ruangan. Namun Widya berontak, masih ingin membuat perhitungan dengan Sakti. Tampaknya, ia melupakan rencana awal mereka karena dendam yang timbul usai mendengar pengakuan Sakti.
Rimba menepuk bahu Widya. Polwan itu menoleh dan melihat Rimba menggeleng lemah.
“Biar aku saja,” kata Rimba, membujuk Widya.
“Kamu terluka dan babak belur begitu. Apa yakin bisa melawan orang jahat itu?” sergah Widya pada Rimba.
“Dia juga terluka. Jadi imbang,” jawab Rimba kalem.
Widya mendengus kesal. Ia menoleh pada Sakti yang masih menekan bahunya untuk mengurangi pendarahan.
“Kalau kita tidak butuh dia hidup-hidup, aku sudah menembak kepal
Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,
Rimba, yang tampaknya sudah lelah dengan drama di antara dua orang mantan penghuni panti asuhan tersebut, mengisyaratkan agar Andre membawa Widya pergi, sesuai rencana awal mereka. Ia tidak bisa menunggu lagi.Andre paham maksud Rimba, lalu segera menarik Widya agar keluar dari ruangan. Namun Widya berontak, masih ingin membuat perhitungan dengan Sakti. Tampaknya, ia melupakan rencana awal mereka karena dendam yang timbul usai mendengar pengakuan Sakti.Rimba menepuk bahu Widya. Polwan itu menoleh dan melihat Rimba menggeleng lemah.“Biar aku saja,” kata Rimba, membujuk Widya.“Kamu terluka dan babak belur begitu. Apa yakin bisa melawan orang jahat itu?” sergah Widya pada Rimba.“Dia juga terluka. Jadi imbang,” jawab Rimba kalem.Widya mendengus kesal. Ia menoleh pada Sakti yang masih menekan bahunya untuk mengurangi pendarahan.“Kalau kita tidak butuh dia hidup-hidup, aku sudah menembak kepal
Sakti menarik pelatuk pistolnya untuk membunuh Rimba. Ia tak peduli lagi dengan keinginan Prakasa agar Rimba dibawa ke hadapan orang nomor satu militer itu.Rimba sudah terlalu mengganggu. Mulai dari ‘merebut’ Widya hingga melawannya terang-terangan. Juga, Rimba tidak hanya kebal terhadap kekuatan SABDA, tetapi juga ternyata dapat memerintah orang lain. Sakti curiga, pemuda itu juga memiliki kekuatan seperti SABDA.Lagipula, Sakti sudah pernah menghancurkan hati Prakasa dengan membunuh Baswara. Jadi, apa bedanya jika saat ini ia mengabaikan keinginan sang mentor yang telah berbesar hati menerima kematian Baswara?Bahkan, sang jenderal mengangkat Sakti sebagai murid dan berperan besar dalam karier militer Sakti. Pengganti Baswara, putra satu-satunya. Seolah-olah apa yang telah Sakti perbuat, bukanlah dosa besar!Namun, alangkah terkejutnya Sakti saat pistol itu tak memuntahkan sebutir peluru pun. Hingga tiga kali ia menarik pelatuk, yang terden
“Apa ini ada hubungannya denganmu?” sergah Sakti pada Rimba. “Ah, seharusnya aku sudah membunuhmu jauh-jauh hari. Aku tidak peduli lagi jika mentorku itu marah karena tidak mendapatkanmu!”Sebelum Widya dan Andre sempat menjawab, terdengar bunyi ketukan di pintu. Terdengar suara seorang pria meminta izin masuk, yang membuat perhatian Widya dan Andre teralihkan sejenak sehingga mereka lengah.Situasi itu dimanfaatkan oleh Sakti untuk meluncurkan sebuah perintah.[“Diam di tempat!”]Dalam sekejap, Widya kembali terpengaruh. Ia menjadi kaku, seperti patung yang tegak di tempatnya. Andre pun demikian. Setelah merasakan kebebasan walau sejenak, kini ia kembali dikendalikan oleh Sakti.Hanya Rimba yang tidak terpengaruh kekuatan SABDA. Sejenak ia melirik kedua rekan seperjuangannya, lalu beralih pada pintu yang dibuka dari luar.Saat seorang pria—sosok yang membantu Sakti mengendalikan sebagian pasukan&mda
Beberapa saat sebelum Sakti kembali ke ruangannya usai mengurus masalah kelaparan yang dialami oleh pasukannya.Widya tak peduli lagi. Ia akan menembak Sakti seandainya memang pria itu yang hendak memasuki ruangan. Hanya itu satu-satunya kesempatan untuk lolos dari kebiadaban pria itu.Widya menarik napas dalam saat pintu mulai terkuak. Dengan nada menahan kemarahan, ia memerintahkan agar orang yang hendak masuk itu untuk berhenti di tempatnya.“Jangan bergerak! Atau aku tembak!” ancam Widya.Pintu pun perlahan terbuka lebih lebar. Menampakkan sosok Andre dengan tangan terangkat di depan dada dan Rimba yang kedua tangannya berada di balik punggung. Keduanya tampak terkejut melihat Widya menodongkan pistol dengan garang.Untuk sesaat, Widya gembira karena dapat melihat Rimba lagi. Namun saat menyadari bahwa masih ada Andre di sana, ia kembali bersiaga. Mengarahkan senjata pada pria yang beberapa kali dilihatnya bersama dengan Sakti itu.
Dalam hal ini, level seorang jenderal tentu jauh berbeda dengan level perwira menengah seperti Sakti. Jenderal seperti Prakasa tentunya sudah menyusun taktik dan strategi dengan matang sebelum turun ke lapangan. Bahkan hal yang tampak ‘remeh’ seperti sekadar mengisi perut pun, harus direncanakan dan dilaksanakan dengan matang.Sakti merasa dirinya sangat bodoh karena sempat berpikir untuk menyingkirkan sang mentor menggunakan kekuatan SABDA-nya. Padahal, masih banyak yang harus ia pelajari dari panglima tertinggi angkatan bersenjata di negara ini. Sementara SABDA tidak mengajarkan apa-apa padanya, kecuali menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan.Setelah memastikan para bawahannya akan mendapatkan makan malam, Sakti kembali ke ruangannya. Masih ada Widya yang menunggu di sana. Tapi, Sakti sudah tak berminat lagi untuk memuaskan dirinya. Ia hanya ingin memastikan agar keadaan pasukannya aman sentosa sebelum ia melepaskan ‘kekuasaan sementara’ ini