“Kau memang sudah membunuh banyak orang dengan menggunakan SABDA, mengapa baru kali ini merasa terkejut dan takut?” sahut Prakasa diikuti dengan senyuman tipis.
Sakti menggeleng lemah dan menjelaskan, “maksud saya, saya bisa membunuh hanya dengan kata-kata. Selama ini saya biasanya memerintahkan target saya untuk mencabut nyawanya sendiri. Tapi, apa yang baru saja saya alami ini berbeda, Pak.”
“Apanya yang berbeda, Sakti? Maksudmu, kau tidak memerintahkan seseorang mencabut nyawanya, tapi dia tewas hanya karena kau menggunakan SABDA?”
“Kurang lebih seperti itu, Pak.”
Kemudian, Sakti menceritakan apa yang terjadi di rumah keluarga Rinto. Prakasa mendengarkan dengan saksama. Hingga cerita Sakti berakhir, air muka Prakasa pun berubah menjadi garang.
***
[“Aku tidak pernah ke tempat ini, jadi kalian tidak pernah bertemu denganku di sini.”]
Demikian Sakti bersabda pad
Rimba mengalihkan pandangan pada Widya yang tersenyum melihat Sakti yang beramah tamah dengan Sarah dan Rimba. Ia berani bertaruh, kehadiran perwira super itu bersama Widya adalah hasil dari penggunaan kemampuan itu.“Kenapa malah menatap Widya seperti itu? Kau naksir Widya?” sela Sakti.Sarah buru-buru menjelaskan, “adik saya ini tidak bisa mendengar, Pak.”“Saya tahu, Widya sudah menjelaskan Tapi dia bisa membaca gerak bibir, kan,” sahut Sakti. Ia meraih dagu Rimba, memaksa pemuda itu agar menatapnya.“Kau naksir Widya?” ulang Sakti, menatap lurus pada mata Rimba.Tatapan Sakti mengingatkan Rimba pada tatapannya saat pertama kali mereka bertemu di rumah Widya. Penuh kecurigaan. Begitu tajam dan mengintimidasi.Rimba menggeleng cepat. Ia menarik wajahnya, lalu melangkah mundur mendekati Sarah. Mereka saling melirik. Saling memberi peringatan bahwa keadaan ini harus diwaspadai.“Ki
Setelah tiga hari dirawat, Rimba diizinkan pulang. Pada awalnya, Sarah bermaksud menumpang taksi online saja untuk membawa pulang Rimba ke rumah kontrakan mereka. Namun Widya berkeras menjemput dan mengantar Rimba pulang menggunakan mobilnya. Rimba yang sudah siap untuk pulang pun menunggu di dalam kamar bersama Sarah.“Dia tidak curiga sama sekali waktu kita memeriksa ponselnya.”Sarah mengangguk. “Aku merasa bersalah. Tapi kita tidak bisa memastikan kecurigaan kita kalau tidak nekad.”“Nasi goreng itu di luar rencana kita. Tapi sangat membantu untuk mengelabui dia.”Kemarin di kamar Rimba, mereka harus membius Widya dengan obat bius yang bekerja perlahan agar Widya tidak curiga. Setelah Widya tertidur, Sarah dan Rimba memeriksa ponsel polisi itu dan menemukan bahwa kecurigaan mereka benar adanya. Ponsel Widya memang disadap. Kemungkinan pelakunya, tentu saja Sakti.“Sekarang pon
Pada hari kedua Rimba dirawat, Widya kembali datang dengan membawa kue dan makan malam untuk Sarah. Rimba menyambutnya dengan riang. Sedangkan Sarah tampak berbaring di brangkar kosong di sebelah Rimba. Ia mendengkur halus pertanda tengah tidur.Agar tidak membangunkan Sarah, Widya melangkah dengan hati-hati. Ia duduk di sisi Rimba setelah meletakkan apa yang dibawanya di atas nakas.“Terima kasih.”Widya tersenyum dan membalas, “sama-sama. Sarah sudah lama tidurnya?”“Belum lama. Tadi di warung katanya banyak kerjaan, jadi capek. Sekarang ketiduran waktu menunggu Bu Widya.”Widya menengok ke nakas. Di dekat makanan yang ia bawa, ternyata ada dua gelas minuman dari kafe dekat rumah sakit. Sejenis minuman kopi yang lebih terasa manisnya daripada pahitnya kopi.“Tahu Bu Widya mau ke sini lagi, Kak Sarah membelinya buat Bu Widya.”“Tidak usah panggil ‘
Tatapan Rimba kini menjadi lebih teduh, tidak seganas sebelumnya. Namun, bukan berarti dia akan ragu menjawab pertanyaan Sarah.“Sebelumnya, aku masih ragu. Aku tidak mau gegabah menunjuk seseorang sebagai pelaku kejahatan. Tapi, setelah apa yang aku alami, aku berubah pikiran.”“Jadi?” sahut Sarah, menunggu jawaban Rimba selengkapnya.“Aku … meskipun tidak seratus persen, merasa yakin bahwa orang itu memang bersalah.”“Kau mau mundur?”Pertanyaan Sarah kini membuat Rimba menyeringai. Lenyap sudah ekspresi ketakutan, kecemasan dan kegelisahan dari wajahnya. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar kehidupan yang terang dan kuat. Dalam sekejap, ia kembali menjadi dirinya sendiri: penuh percaya diri dan tengil.“Mundur? Aku justru semakin bersemangat untuk mengungkap kasus ini! Aku akan membuktikan kejahatan orang itu, meskipun harus membahayakan diriku sekali
Rimba mengangguk. “Aku terkena efek kemampuan orang itu. Ternyata menyakitkan. Waktu itu aku kira, aku akan mati.”Sarah mengerutkan kening. Ia paham, kemampuan apa yang dimaksud oleh Rimba. Juga, siapa orang yang sedang Rimba bicarakan tersebut. Ternyata, setelah kemunculannya yang hanya sesaat dalam pantauan Sarah, Sakti malah menampakkan diri di depan Rinto dan Widya. Nekad sekali.Rimba lalu menceritakan secara singkat apa yang terjadi di rumah keluarga Rinto. Juga, mengenai kehadiran Sakti yang mencurigakan karena mengetahui bahwa Widya bermaksud mengambil barang-barangnya. Padahal, Widya tidak pernah memberitahukan informasi itu pada si ‘abang angkat’ yang posesif itu.“Tapi baik Widya mau pun Rinto tidak menyinggung apa-apa tentang orang itu. Mereka hanya bilang, kau tiba-tiba pingsan setelah mengangkat kardus-kardus itu. Kata Widya, barang-barangnya tidak terlalu banyak. Kau tidak mungkin kelelahan hanya karena meng
“Kau memang sudah membunuh banyak orang dengan menggunakan SABDA, mengapa baru kali ini merasa terkejut dan takut?” sahut Prakasa diikuti dengan senyuman tipis.Sakti menggeleng lemah dan menjelaskan, “maksud saya, saya bisa membunuh hanya dengan kata-kata. Selama ini saya biasanya memerintahkan target saya untuk mencabut nyawanya sendiri. Tapi, apa yang baru saja saya alami ini berbeda, Pak.”“Apanya yang berbeda, Sakti? Maksudmu, kau tidak memerintahkan seseorang mencabut nyawanya, tapi dia tewas hanya karena kau menggunakan SABDA?”“Kurang lebih seperti itu, Pak.”Kemudian, Sakti menceritakan apa yang terjadi di rumah keluarga Rinto. Prakasa mendengarkan dengan saksama. Hingga cerita Sakti berakhir, air muka Prakasa pun berubah menjadi garang.***[“Aku tidak pernah ke tempat ini, jadi kalian tidak pernah bertemu denganku di sini.”]Demikian Sakti bersabda pad