Enam tahun yang lalu.
Dua orang luka ringan, kelaparan, kehausan, seragam kotor berbau anyir dan sepatu penuh lumpur yang mengering. Itulah yang Sakti bawa dari misinya kali ini.
Namun, Sakti tetap tersenyum sekalipun samar. Meskipun sepintas ia tampak gagal sebagai komandan, sesungguhnya dia telah membawa hasil yang memuaskan. Bahkan, nyaris sempurna.
Sakti dan pasukannya tidak hanya berhasil membebaskan sandera seperti yang diperintahkan, tetapi juga menumpas gerombolan pengacau keamanan yang telah menyandera enam orang rakyat sipil selama berhari-hari. Tujuh anggota gerombolan—termasuk pemimpinnya, tewas. Sedangkan selebihnya yang berjumlah delapan orang, berhasil ditangkap. Padahal, Sakti hanya membawa regu yang beranggotakan enam orang saja!
“Aku mau minum air es dan makan sate kambing sampai perutku begah,” ujar Sakti saat menunggu ramp door pesawat yang mereka tumpangi, terbuka.
Salah seorang bawahan yang sudah berkali-kali ikut dalam regu pimpinan Sakti menyahut setengah berkelakar, “Bapak nggak nelpon adik Bapak di akpol?”
Sakti menoleh padanya dengan senyuman lebih lebar lagi.
“Aku akan mandi setelah menelepon dia,” balas Sakti, menyiratkan bahwa berbicara dengan Widya adalah hal yang lebih penting daripada membersihkan diri dan beristirahat.
“Dilamar aja, Pak, adiknya,” sahut bawahan lainnya, mengompori.
“Masih kecil dia. Biar mengurus kariernya dulu,” balas Sakti. Padahal dia sebenarnya agak tersipu.
“Nanti keduluan yang lain loh, Pak,” sahut bawahan yang pertama, disambut dengan anggota regu yang lain. Bahkan mereka yang terluka pun ikut tertawa.
Sakti terkekeh, lalu mengibaskan tangan. Mengisyaratkan agar pembicaraan tersebut diakhiri. Sebab, pintu sudah terbuka dengan sempurna.
Namun sebelum Sakti dan regunya turun dari pesawat, mereka dibuat tercengang oleh kehadiran seseorang yang mendekati mereka. Dengan sigap, Sakti dan keenam anggota regunya, memberi hormat pada sosok dengan pangkat jauh di atas mereka itu. Jenderal Prakasa.
Jenderal Prakasa, panglima pasukan khusus yang diberi hormat itu mengangguk, lalu mengucapkan selamat atas keberhasilan Sakti dan timnya. Kemudian, setelah itu, ia menepuk pundak Sakti.
“Saya perlu bicara empat mata denganmu, perwira super. Tapi, tentu saja setelah kau mandi terlebih dahulu. Kita makan malam di rumahku,” ujar Prakasa. Kalimatnya biasa, namun terdengar tegas. Perintah yang tidak bisa ditolak.
Sakti menyatakan kesiapannya dan berterima kasih. Tampaknya, dia harus menunda rencana menelepon Widya yang telah ia niatkan sebelumnya.
***
Tiga tahun yang lalu.
Bunda meremas ujung hijabnya. Berusaha mengalirkan rasa gelisahnya yang perlahan merayap dari benak ke seluruh tubuhnya.
Di depan wanita yang semakin menua itu, Sakti duduk dengan raut wajah yang kaku dan tegang. Ia menatap Bunda tanpa berkedip sejak satu menit yang lalu. Walaupun matanya mungkin mengering, sikapnya tetap menuntut. Pria yang sangat gagah itu hanya ingin jawaban dari salah seorang wanita yang paling penting dalam hidupnya itu.
“Bunda tahu sejak lama, tapi tidak memberi tahu aku? Orang bernama Rinto ini, sejak kapan dia merebut Widya-ku? Kenapa Bunda tidak menceritakan apa-apa. Tahu-tahu, aku menerima kabar ini dari Bunda. Aku baru saja kembali dari misi selama tiga tahun dan kabar ini yang … yang aku terima!” cecar Sakti dengan suara bergetar.
Sakti membalikkan meja di antara dirinya dan Bunda, mengungkapkan frustrasi yang ia alami. Bunyi meja yang menghantam lantai itu segera mengundang perhatian sebagian penghuni panti asuhan, termasuk para pengasuh dan pekerja dan sebagian kecil anak-anak. Langkah mereka terhenti di ambang pintu masuk karena Bunda mengisyaratkan agar mereka menjauh.
Dua orang pengasuh enggan menjauh, bahkan berinisiatif untuk membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh Sakti. Di dekat meja yang terbalik itu, dua cangkir yang telah pecah, tergeletak begitu saja. Isinya yang berupa teh, berceceran di lantai. Sebuah vas bunga menggelinding ke salah satu sudut ruangan. Bunga palsu di dalam vas itu berhamburan, menyisakan spons hijau yang masih terjepit di dalam wadah yang cantik itu.
Bunda menatap tajam pada dua pengasuh tersebut, mengusir mereka dengan lebih keras lagi. Dalam situasi seperti ini, ia tidak menghendaki adanya orang lain di sekitar Sakti.
Setelah para pengasuh itu pergi tanpa sempat merapikan ruangan, Bunda beralih pada Sakti yang masih memegang kepalanya sendiri. Wajah pemuda itu memerah.
“Maafkan Bunda,” ujar Bunda lamat-lamat. “Widya sudah dewasa. Dia … sudah berpikir matang-matang sebelum menerima pinangan seniornya itu. Bunda pernah beberapa kali bertemu dengan anak itu. Dia pemuda yang baik dan menyayangi Widya.”
“Tapi aku lebih menyayangi Widya! Aku! Aku mencintainya! Lebih dari siapa pun di dunia ini!” teriak Sakti gusar.
“Tapi bagaimana dengan Widya sendiri? Seperti apa dirimu di matanya? Dia menurut padamu selama ini, termasuk keinginanmu agar dia menjadi polisi. Apa menurutmu, itu adalah cinta sebagai kekasih, atau cinta seorang adik pada abangnya?” sergah Bunda. Ia mengumpulkan segenap keberanian untuk memberi pengertian pada pemuda yang sedang patah hati itu. Sekaligus melindungi Widya dari kekecewaan Sakti.
Sakti menatap tajam Bunda. Sikap lancang yang belum pernah ia lakukan.
“Bunda mohon, lepaskan Widya. Biarkan dia menjalani kehidupan barunya dengan tenang. Relakan dia, Nak,” pinta Bunda, tidak mengindahkan tatapan tajam Sakti.
Sakti mendengus keras, lalu bangkit dari duduknya. Ia pamit dengan nada bicaranya yang kaku. Kemudian meninggalkan Bunda tanpa menoleh lagi.
Rimba menjadi hadirin yang bertepuk tangan paling keras saat Widya menyelesaikan lagu. Ia sangat bahagia mendengar lirik lagu yang keluar dari mulut Widya, seolah-olah kata-kata puitis dan romantis itu dilantunkan khusus untuknya.“Suaramu bagus,” puji Rimba tanpa menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya tampak lega setelah Widya menyelesaikan nyanyiannya.Widya tersentak mendengar pujian itu. Namun kemudian, dengan tersipu ia mengucapkan terima kasih. Barangkali, baru kali ini ada orang yang memuji suaranya.Di sisi lain, usai menyaksikan pertunjukan Widya, Rimba menjadi bersemangat untuk melakukan hal yang sebelumnya membuat ia malu. Maka, ia pun pamit sejenak pada hadirin di sekitarnya, termasuk Daud dan istrinya. Ada sesuatu yang harus ia ambil di mobilnya.Sarah yang memahami maksud adiknya, mengacungkan dua jempol. Memberi semangat agar Rimba tidak mundur dalam melaksanakan niatnya.Rimba hanya tertawa tanpa suara, lalu bergegas
Setelah penyelidikan insiden pos jaga yang memakan waktu sangat lama tersebut, Sarah dan Rimba belum mengambil kasus baru lagi. Mereka cuti panjang untuk memulihkan diri usai kasus yang nyaris merenggut nyawa mereka tersebut.Di lain pihak, Widya dan Rinto telah resmi bercerai. Juga mengundurkan diri dari kepolisian meski demi alasan yang berbeda. Rinto melepaskan lencananya karena alasan kesehatan setelah hampir terbunuh oleh anak buah Sakti. Ia akan menjalankan bisnis keluarga sebagai kontraktor pengadaan fasilitas kepolisian. Sedangkan Widya memberikan alasan yang tidak terlalu mengejutkan.“Aku menjadi polwan karena keinginan Bang Sakti. Setelah apa yang terjadi, aku tidak mau dikaitkan lagi dengan orang gila itu, termasuk dengan berhenti menjadi polisi,” jelas Widya, setiap kali ada yang menanyakan alasannya berhenti menjadi aparat penegak hukum.Dari sisi romantisnya, Rinto akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sarah. Bulan lalu, ia melamar Sarah
Namun Prakasa tetap bersikap tenang. Dengan santai ia melepaskan cengkeraman Sakti yang lemah.“Aku lega karena Daud dan orang-orangnya tidak mencurigaiku. Selain karena kasus penguasaan kota ini, kau mungkin akan diburu karena kasus pembantaian dua tahun lalu itu. Terima kasih, anakku. Kau sudah menutupi apa yang sudah aku lakukan terhadap putra Daud itu,” lanjut Prakasa. Ia mencium kening Sakti dengan lembut.“Kau pasti paham, mengapa aku membantai prajurit-prajurit muda itu dan memfitnah Rizwan. Setelah nama Daud tercoreng karena kasus itu, aku bisa melesat sendirian dan mendapatkan posisi puncak ini. Yah, walaupun kelihatannya, aku akan kesulitan mempertahankannya setelah kegagalanmu yang memalukan ini.”Sakti terperangah. Merintih, mencoba untuk berbicara pada Prakasa yang hendak meninggalkan kamar tempatnya dirawat.Sebelum membuka pintu, Prakasa berbalik untuk mengucapkan satu lagi pengakuan yang membuat Sakti terbelalak tak
Prakasa mengembuskan napas kasar saat melihat keadaan Sakti. Luka-lukanya membuat perwira super itu harus tergolek lemah di ranjang. Luka di lidah, dagu dan bahunya telah diobati, namun mentalnya tidak akan terobati secepat itu.Prakasa kembali mengembuskan napas kasar saat melihat tatapan dan ekspresi Sakti. Bola mata yang membesar dengan otot-otot wajah yang menegang menunjukkan betapa terguncangnya pemuda itu.Yah, kekalahan memang sulit diterima jika kau terbiasa menjadi yang terbaik. Prakasa lupa mengajarkan hal itu, hingga Sakti harus mendapatkannya dengan cara yang tak hanya sangat keras, tetapi juga kejam.“Kau ingat,” ujar Prakasa sambil mendudukkan diri di tepi ranjang, “saat kita pertama kali bertemu. Setelah kau membantai keluarga perempuan yang hatinya tidak bisa kau taklukkan itu? Aku membungkam mulutmu, ‘kan?”Sakti yang belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melirik sekilas. Ia hanya bisa menunggu ke
Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k
Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,