Share

Perwira Super

Author: WN. Nirwan
last update Last Updated: 2025-06-10 10:24:35

Enam tahun yang lalu.

Dua orang luka ringan, kelaparan, kehausan, seragam kotor berbau anyir dan sepatu penuh lumpur yang mengering. Itulah yang Sakti bawa dari misinya kali ini.

Namun, Sakti tetap tersenyum sekalipun samar. Meskipun sepintas ia tampak gagal sebagai komandan, sesungguhnya dia telah membawa hasil yang memuaskan. Bahkan, nyaris sempurna.

Sakti dan pasukannya tidak hanya berhasil membebaskan sandera seperti yang diperintahkan, tetapi juga menumpas gerombolan pengacau keamanan yang telah menyandera enam orang rakyat sipil selama berhari-hari. Tujuh anggota gerombolan—termasuk pemimpinnya, tewas. Sedangkan selebihnya yang berjumlah delapan orang, berhasil ditangkap. Padahal, Sakti hanya membawa regu yang beranggotakan enam orang saja!

“Aku mau minum air es dan makan sate kambing sampai perutku begah,” ujar Sakti saat menunggu ramp door pesawat yang mereka tumpangi, terbuka.

Salah seorang bawahan yang sudah berkali-kali ikut dalam regu pimpinan Sakti menyahut setengah berkelakar, “Bapak nggak nelpon adik Bapak di akpol?”

Sakti menoleh padanya dengan senyuman lebih lebar lagi.

“Aku akan mandi setelah menelepon dia,” balas Sakti, menyiratkan bahwa berbicara dengan Widya adalah hal yang lebih penting daripada membersihkan diri dan beristirahat.

“Dilamar aja, Pak, adiknya,” sahut bawahan lainnya, mengompori.

“Masih kecil dia. Biar mengurus kariernya dulu,” balas Sakti. Padahal dia sebenarnya agak tersipu.

“Nanti keduluan yang lain loh, Pak,” sahut bawahan yang pertama, disambut dengan anggota regu yang lain. Bahkan mereka yang terluka pun ikut tertawa.

Sakti terkekeh, lalu mengibaskan tangan. Mengisyaratkan agar pembicaraan tersebut diakhiri. Sebab, pintu sudah terbuka dengan sempurna.

Namun sebelum Sakti dan regunya turun dari pesawat, mereka dibuat tercengang oleh kehadiran seseorang yang mendekati mereka. Dengan sigap, Sakti dan keenam anggota regunya, memberi hormat pada sosok dengan pangkat jauh di atas mereka itu. Jenderal Prakasa.

Jenderal Prakasa, panglima pasukan khusus yang diberi hormat itu mengangguk, lalu mengucapkan selamat atas keberhasilan Sakti dan timnya. Kemudian, setelah itu, ia menepuk pundak Sakti.

“Saya perlu bicara empat mata denganmu, perwira super. Tapi, tentu saja setelah kau mandi terlebih dahulu. Kita makan malam di rumahku,” ujar Prakasa. Kalimatnya biasa, namun terdengar tegas. Perintah yang tidak bisa ditolak.

Sakti menyatakan kesiapannya dan berterima kasih. Tampaknya, dia harus menunda rencana menelepon Widya yang telah ia niatkan sebelumnya.

***

Tiga tahun yang lalu.

Bunda meremas ujung hijabnya. Berusaha mengalirkan rasa gelisahnya yang perlahan merayap dari benak ke seluruh tubuhnya.

Di depan wanita yang semakin menua itu, Sakti duduk dengan raut wajah yang kaku dan tegang. Ia menatap Bunda tanpa berkedip sejak satu menit yang lalu. Walaupun matanya mungkin mengering, sikapnya tetap menuntut. Pria yang sangat gagah itu hanya ingin jawaban dari salah seorang wanita yang paling penting dalam hidupnya itu.

“Bunda tahu sejak lama, tapi tidak memberi tahu aku? Orang bernama Rinto ini, sejak kapan dia merebut Widya-ku? Kenapa Bunda tidak menceritakan apa-apa. Tahu-tahu, aku menerima kabar ini dari Bunda. Aku baru saja kembali dari misi selama tiga tahun dan kabar ini yang … yang aku terima!” cecar Sakti dengan suara bergetar.

Sakti membalikkan meja di antara dirinya dan Bunda, mengungkapkan frustrasi yang ia alami. Bunyi meja yang menghantam lantai itu segera mengundang perhatian sebagian penghuni panti asuhan, termasuk para pengasuh dan pekerja dan sebagian kecil anak-anak. Langkah mereka terhenti di ambang pintu masuk karena Bunda mengisyaratkan agar mereka menjauh.

Dua orang pengasuh enggan menjauh, bahkan berinisiatif untuk membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh Sakti. Di dekat meja yang terbalik itu, dua cangkir yang telah pecah, tergeletak begitu saja. Isinya yang berupa teh, berceceran di lantai. Sebuah vas bunga menggelinding ke salah satu sudut ruangan. Bunga palsu di dalam vas itu berhamburan, menyisakan spons hijau yang masih terjepit di dalam wadah yang cantik itu.

Bunda menatap tajam pada dua pengasuh tersebut, mengusir mereka dengan lebih keras lagi. Dalam situasi seperti ini, ia tidak menghendaki adanya orang lain di sekitar Sakti.

Setelah para pengasuh itu pergi tanpa sempat merapikan ruangan, Bunda beralih pada Sakti yang masih memegang kepalanya sendiri. Wajah pemuda itu memerah.

“Maafkan Bunda,” ujar Bunda lamat-lamat. “Widya sudah dewasa. Dia … sudah berpikir matang-matang sebelum menerima pinangan seniornya itu. Bunda pernah beberapa kali bertemu dengan anak itu. Dia pemuda yang baik dan menyayangi Widya.”

“Tapi aku lebih menyayangi Widya! Aku! Aku mencintainya! Lebih dari siapa pun di dunia ini!” teriak Sakti gusar.

“Tapi bagaimana dengan Widya sendiri? Seperti apa dirimu di matanya? Dia menurut padamu selama ini, termasuk keinginanmu agar dia menjadi polisi. Apa menurutmu, itu adalah cinta sebagai kekasih, atau cinta seorang adik pada abangnya?” sergah Bunda. Ia mengumpulkan segenap keberanian untuk memberi pengertian pada pemuda yang sedang patah hati itu. Sekaligus melindungi Widya dari kekecewaan Sakti.

Sakti menatap tajam Bunda. Sikap lancang yang belum pernah ia lakukan.

“Bunda mohon, lepaskan Widya. Biarkan dia menjalani kehidupan barunya dengan tenang. Relakan dia, Nak,” pinta Bunda, tidak mengindahkan tatapan tajam Sakti.

Sakti mendengus keras, lalu bangkit dari duduknya. Ia pamit dengan nada bicaranya yang kaku. Kemudian meninggalkan Bunda tanpa menoleh lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terhubung

    “Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terselamatkan

    Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   TV Kabel

    Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Perpisahan

    Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Putra Sang Jenderal

    Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Tak Seperti di Film

    Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status