Share

REUNI

Sudah kuduga ini pasti ulah Pama Jerico. Ya… siapa lagi kan? Tidak mungkin Nymph penjaga yang kutemui, bukan? Nymph itu saja tidak punya akses untuk berbicara langsung dengan ibu hingga meminta tolong diriku untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan pada ibu.

Orang tua satu itu memang ya, tambah bertambah usia tambah tidak bisa diam saja mulutnya. Klevance sedikit geram dengan Paman Jerico. Tahu gitu dia tidak akan menampakkan dirinya di tengah alun-alun Ibukota dan menyapa pria tua itu saat jubahnya tersingkap sekilas.

“Lama tak bertemu, Klevance,” sapa seorang pria tua yang muncul dari balik pintu utama Istana Orava.

“Memang sudah lama,” jawab Klevance. “Kulihat kau terus bertambah tua hingga tidak bisa membuat mulutmu diam sejenak, Paman Jerico,” ucap Klevance sarkas.

“Ya, memang dia semakin tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri,” sahut seorang pria lagi yang juga muncul secara tiba-tiba dari balik pintu utama Istana Orava.

“Argan?” Klevance terkejut dengan kehadiran sosok pria tersebut yang ternyata adalah Argan, sahabatnya yang lain selain Dewi Aegle. Klevance sontak langsung menghampiri pria yang kini berada tepat di samping Paman Jerico itu dan memeluknya dengan erat untuk melampiaskan rasa rindunya yang sudah bertahun-tahun ditahannya.

Argan---spesies hewan hibrida, bisa berubah menjadi manusia dan bisa berubah menjadi hewan sesuai kekuatan dan sihir yang dimilikinya. Semakin kuat kekuatan seorang hibrida maka semakin sempurna dan juga stabil bentuk manusia serta transformasi hewan yang akan dibentuk.

Argan adalah pria bertubuh tegap dengan rambut putih keperakan sebahu. Bola matanya yang berwarna ungu amethyst sangat indah jika dipandang saat malam hari. Dia bukan makhluk yang berasal dari Bangsa Kahyangan tetapi orang pertama yang diterima dalam Bangsa Kahyangan karena kekuatan dan bakat sihirnya yang luar biasa menakjubkan.

Tubuh Argan menjulang tinggi, membuat Paman Jerico seakan tenggelam saat berada di sisinya. Tapi Paman Jerico seperti sudah terbiasa berada di samping Argan tanpa terusik dengan perbedaan tinggi badan mereka yang begitu mencolok.

Paman Jerico menatap Argan dengan santai sebelum mengalihkan perhatian pada Klevance kembali. “Kau ini! Kenapa tidak membelaku dan malah ikut membuliku bersama Klevance? Mentang-mentang kalian bersahabat, tapi tetap saja kalian tidak boleh bekerja sama membuli orang yang lebih tua seperti ini, huh!”

Seisi ruangan tersebut pun tertawa melihat sikap Paman Jerico yang seperti itu. Klevance juga ikut terkekeh mendengarnya, “Cih, kekanakan sekali kau Paman. Siapa suruh kau memulainya duluan!”

Lalu muncul lagi seseorang dari balik pintu utama Istana Orava.

Ya tuhan siapa lagi yang datang dan ikut hadir disini! Kenapa ramai sekali yang datang? Apa mereka benar-benar telah menemukan sesuatu yang ganjil disini?

Klevance memicingkan matanya mencoba melihat satu orang lagi yang baru muncul dari balik pintu.

“Kau? Kenapa kau juga kemari?” tanya Klevance sedikit terkejut melihatnya datang juga ke Istana Orava.

“Ibu, apa kau yang menyuruhnya untuk datang kemari juga?” Klevance mengalihkan pandangannya dari orang tersebut dan menatap tajam Ratu Bangsa Kahyangan yang ada di hadapannya.

Ratu Larissa tetap memasang wajah santai seperti orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa yang Klevance maksud padanya. “Apa maksudmu, sayang? Dia yang ingin datang sendiri kok, benarkan Zelus? Lagipula dia juga sahabatmu kan, Klevance? Jadi wajar saja bukan, jika dia datang kemari untuk menemuimu setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu.”

Klevance mendengus sebal, “Cih, kalau bukan karena dia, ibu tidak akan mengirimku ke tempat pengasingan itu.”

Zelus yang mendengar dirinya disalahkan terus-menerus oleh Klevance seperti itu pun tidak terima dan segera membuat pembelaan untuk dirinya. “Sudah berapa kali aku katakan padamu kalau bukan aku yang melaporkanmu! Lagipula tanpa ada yang melaporkan pun semua orang sudah pasti tahu ulah siapa itu. Siapa lagi yang mempunyai sihir seperti itu dan membuat Ibukota hampir hangus terbakar seutuhnya,” tukasnya menyadarkan Klevance bahwa dia tidak bersalah.

Klevance memutar bola matanya malas, “Cih, terserah kau ingin membela diri seperti apa. Aku akan tetap menyalahkanmu sampai kapanpun.”

Zelus menghelakan napasnya berulang kali. Sudah cukup frustrasi dirinya menghadapi Klevance. Sudah berapa kali dirinya mencoba mengatakan kebenarannya tapi Klevance tak akan pernah percaya ‘lagi’ kepadanya. Zelus hanya bisa pasrah menunggu Klevance menurunkan egonya yang sangat besar itu.

Zelus merupakan salah satu dewa yang memberkati Bangsa Kahyangan dan bertugas dalam mengatur persaingan, iri hati, kecemburuan dan semangat. Zelus adalah dewa dan personifikasi dari kegigihan dan semangat.

Zelus adalah seorang pria berperawakan sedang, rambutnya yang berwarna ash green sangat mencolok di antara penduduk Bangsa Kahyangan lainnya yang juga berada di Ibukota Irish. Bola matanya yang juga berwarna hijau gelap terlihat begitu teduh.

Kebalikan dengan Argan, Zelus sama sekali tidak tersenyum dan menyapa baik-baik Klevance. Rahangnya yang kukuh terkatup rapat, dia justru mulai mencari masalah kembali dengan mengamati Klevance dari atas sampai bawah. “Melihat penampilanmu yang begitu lusuh, orang tidak akan menyangka kau masih pewaris takhta kedua bangsa besar. Apa kau sudah melupakan kerapian karena hidup di tempat pengasingan begitu lama?”

Tak usah diberi tahu pun Klevance tahu dirinya sedang disindir dan dihina oleh Dewa kegigihan itu---iya, gigih dalam membuli Klevance. Tanpa sadar Klevance menggigit bibirnya dengan kesal.

“Ya, setidaknya aku masih bisa hidup dan bisa kembali ke Ibukota dengan selamat. Itu semua sudah cukup bagiku,” jawab Klevance sarkas.

Zelus mengerutkan alis, berusaha menyembunyikan kegusaran di wajahnya.

“Nah, baiklah,” lanjut Klevance kemudian. “Aku yakin kalian semua kemari tidak hanya untuk menemuiku yang baru saja pulang dari tempat pengasingan, bukan? Aku masih ingat kalian tidak sepeduli itu sebelumnya denganku. Jadi apa tujuan kalian yang sebenarnya datang ramai-ramai ke Istana Orava milik Dewi Aegle ini?” ucap Klevance langsung kepada poinnya tanpa berbasa-basi lagi.

“Kita harus bicara,” kata Zelus. “Apa kita bisa berbicara secara pribadi, Klevance?

Dewi Aegle menyadari Zelus melirik ke arahnya saat bicara. Tidak ada perselisihan atau kebencian di antara mereka berdua, tapi tatapan Zelus begitu merendahkan Dewi Aegle, seolah mengasihaninya karena semakin lama Dewi Aegle memiliki sifat dan perbuatan yang sama seperti Bangsa Manusia.

“Di sini atau di mana pun sama saja, bukan?” kata Klevance.

“Aku tak punya banyak waktu. Jadi cepat katakan, apa yang kau inginkan?”

Zelus mendengus, “Baiklah kalau begitu. Aku dan Argan baru saja menemui banyak sekali mayat elit Bidadara dan Bidadari Penjaga Sungai Arthur, selusin manusia, dan selusin Half-Angel yang terbunuh di Hutan Aurora.”

“Benarkah? Bagaimana bisa?” Klevance dan Dewi Aegle memasang ekspresi terkejut, seolah baru pertama kali mendengarnya dan baru mengetahui kejadian yang sangat mengagetkan itu. “Itu mengerikan sekali. Apa mereka diserang binatang buas? Atau saling berperang satu sama lain? Apa mungkin ada gerombolan besar yang perlu kita waspadai?”

“Kami belum menyelidiki sejauh itu,” jawab Zelus singkat. “Tapi kau tidak perlu cemas.”

Klevance mengangguk mengerti dan mencoba tetap tenang saat pikirannya tiba-tiba teringat kembali pada mayat-mayat yang tergeletak dan berlumuran darah di Hutan Aurora itu.

Tidak Klevance. Kau harus tenang atau mereka semua akan tahu mengenai Lucifer yang kau bawa itu. Lalu mereka akan mulai menginterogasimu padahal kau juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Aku tidak akan mengatakan apapun padanya sekarang, tidak saat masih ada banyak orang seperti ini. Aku tidak mau dikirim ke tempat pengasingan kembali untuk kedua kalinya.

“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan dan kupastikan denganmu Klevance,” lanjut Zelus bertanya.

“Ya… silakan saja,” kata Klevance. “Tapi omong-omong, kapan hal itu terjadi?”

“Subuh tadi,” jawab Zelus. “Kenapa? Apa kau tahu sesuatu tentang ini atau justru kau menyaksikannya secara langsung?” Zelus mencoba menyudutkan Klevance dengan pertanyaannya tersebut.

Klevance menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku hanya penasaran saja.”

“Tentang apa?”

“Tentang penyerangan tersebut tentu saja,” jawab Klevance.

“Apa kau benar-benar tak tahu dan tak melihatnya saat melewati Hutan Aurora sebelum sampai di Ibukota?” Zelus kembali bertanya dan memastikan Klevance tidak sedang berbohong padanya.

-Bersambung-

chasalla16

*Note* Halo semuanya! Apa kabar? Aku harap kalian baik-baik saja dan semoga hari kalian menyenangkan. Aku ingin meminta tolong kepada kalian jika menyukai ceritaku tolong memberikan ulasan terhadap karyaku ini ya dan tambahkan juga ke koleksi kalian agar tidak ketinggalan update!^^ Feel free untuk memberikan saran dan komentar kalian juga^^ Dan jangan lupa untuk menshare cerita ini jika menurut kalian cerita ini menarik^^ Mohon maaf sebelumnya, jika karyaku ini masih banyak kesalahan ataupun alur ceritanya yang tidak sesuai ekspetasi kalian. Namun, sekali lagi, jika kalian mempunyai saran dan kritikan untukku ataupun karyaku jangan sungkan ya untuk memberitahuku di kolom komentar. Aku akan sangat berterimakasih kepada kalian^^ Aku juga ingin mengucapkan terimakasihku dengan setulus tulusnya kepada para pembaca yang setia membaca karyaku sampai di chapter 9 ini. Kuharap kalian tidak bosan dan menemaniku hingga akhir cerita ini^^ Aku akan berusaha semaksimalku untuk karya ini^^ Salam hangat Chasalla16

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status