"Selamat datang di duniaku. Kau bukanlah Baginda Ratu Larissa. Siapa kau? Mengapa memasuki dunia simbol yang bukan kawasanmu?" ujar seorang Dewi penjaga dunia simbol kepada Klevance.
Klevance mengedarkan pandangannya dan mencari-cari dari mana asal suara yang sedang mengajaknya berbicara tersebut. Namun dia tidak dapat menemukan kehadiran siapapun di dalam dunia simbol tersebut. Dia hanya bisa melihat cahaya putih yang tak berujung di dalam dunia simbol tersebut. Sepi dan sunyi seperti tidak ada kehidupan apapun.Ya, tak heran, bukan. Dunia simbol adalah pertahanan terakhir dari sistem keamanan gerbang belakang Istana Lismore yang jarang dikunjungi oleh siapapun. Tentu saja tidak ada kehidupan di dalam dunia tersebut selain dewi penghuninya.
"Siapa kau? Kenapa aku tidak bisa melihatmu?" tanya Klevance pada akhirnya karena dia tidak dapat menemukan orang yang mengajaknya berbicara.
"Tentu saja kau tidak bisa melihatku. Hanya Ratu Larissa yang dapa melihat kehadira
"Jadi kau benar-benar putri tersebut! Pantas saja kau sangat berani juga sedikit tidak tahu sopan santun dengan seorang Dewi. Sudah lama tidak berjumpa, Putri Klevance.""Apa kau mengenalku?" Klevance memasang raut wajah bingung dengan pernyataan sang dewi yang seperti sudah mengenalnya sejak lama."Tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah Putri pewaris tahta Bangsa Kahyangan. Tidak ada dewi atau pun dewa yang tidak mengenalmu.""Tapi kau tidak mengenalku di awal dan baru mengetahuiku saat aku memperkenalkan diri beberapa saat yang lalu!" sindir Klevance."Ya, tentu saja! Wajahmu sedikit berubah jika dibandingkan dengan dirimu waktu kecil. Aku bahkan tidak bisa mengenalimu sebelumnya."Klevance mengembuskan desah napas berat mendengar pernyataan sang dewi penjaga yang kini seperti seorang teman dekat yang telah lama tidak berjumpa satu sama lain.'Tetap fokus, Hitam. Waktu kita tidak tersisa banyak. Ingatlah bahwa Lucifer masih belum kau ke
Prolog Revelation: Pembukaan Klevance Klevance memejamkan mata, pasrah tatkala kobaran api menyambar kedua sayapnya. Panas api menyungkup bahu dan punggungnya, membuat dirinya merasakan sakit yang amat sangat tak terbayangkan. Gadis itu menyadari hidup yang dijalaninya sedari awal hanyalah sebuah skenario yang sudah diatur dengan sangat matang oleh seseorang, sehingga dirinya harus hidup dalam penuh bahaya dan resiko di setiap harinya. Sebagai putri tunggal berdarah campuran dari orang tua yang memiliki ras bangsa yang berbeda sekaligus penerus takhta yang akan memimpin kedua bangsa, dirinya telah berulang kali melakukan perbuatan nekat---kalau tidak mau disebut gila---Klevance selalu berteman dengan bahaya. Hanya tingal menunggu waktu sampai keberuntungan tak lagi berpihak padanya, maka segalanya akan berakhir. Tapi tak sekalipun Klevance mengira hid
“Tunggu sebentar,” Klevance mengerutkan keningnya. “Ini—!” Matanya menangkap keberadaan sebuah lencana yang membuat rambut di tengkuknya berdiri. “Legiun Isthara ….” Bagaimana bisa pasukan elite Bangsa Kahyangan menjadi bagian dari tubuh yang berjatuhan ini?! “Ada yang tidak beres,” batin Klevance. Manik biru-kehijauannya sekali lagi menyapu pemandangan di hadapannya. “Satu tim patroli Legiun Ishtara umumnya hanya terdiri dari lima orang, tak pernah kulihat pasukan berjumlah besar seperti ini!” Tenggorokan Klevance tercekat, dirinya merasa mual seiring kecemasan menyelimuti dirinya. Pikirannya semakin kemana-mana dan tidak fokus. Klevance bingung harus berbuat apa saat ini. Tidak mungkin untuknya melapor ke kerajaan sekarang. “Siapa yang bisa melakukan ini pada sekelompok Legiun Isthara? Bangsa Kegelapan kah? Tapi mengapa kaum Ayah menyerang kaum Ibu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua bangsa itu selama aku di asin
“Klevance, sialan! Kau selalu saja mengacaukan rencanaku! Mengapa kau harus kembali disaat-saat aku sedang melancarkan serangan?!” decak seorang pria dari kejauahan yang melihat Klevance sedang menyelamatkan sosok Lucifer di Hutan Aurora tersebut. Pria misterius itu memiliki postur tubuh besar dan kekar. Dirinya diselimuti jubah hitam yang membuat siapapun tidak bisa melihatnya dan mengetahui identitas asli pria misterius tersebut. Kini, amarah dari pria misterius itu sangatlah terasa. Aura hitam memenuhi sekujur tubuhnya. “Aku memang akan membunuhmu cepat atau lambat, Klevance. Namun, sikapmu yang selalu naif seperti itu membuatku ingin membunuhmu sekarang juga! Tapi sepertinya kau masih beruntung karena hingga detik ini, aku belum berhasil mendapatkan ‘kekuatan’ itu sepenuhnya!” Pria itu berkata dengan penuh hasrat membunuh dan mengancam. Setelah berkata seperti itu dari kejauhan, pria misterius tersebut segera pergi meninggalkan Klevance dan Lucifer di Hut
Jalan utama dipadati oleh biawak---reptilia karnivora berukuran lebih kecil dari komodo dan termasuk kadal berukuran sedang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya. Jalanan utama juga dipenuhi oleh unicorn dan burung merpati yang beterbangan kesana-kemari di langit Ibukota. Tidak sedikit pula, Bidadari atau Bidadara dan ras lain kaum Bangsa Kahyangan yang juga sibuk beterbangan dengan mengepakkan sayap mereka untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. “Tidak ada yang berubah disini. Suasana pagi hari di Ibukota masih sama seperti dulu, ramai dan sibuk,” tukas Klevance setelah mengamati suasana yang terbentang di hadapan pandangannya. Setelah melewati jajaran biawak, unicorn dan burung merpati hingga para penduduk Ibukota Irish Bangsa Kahyangan yang sedang beterbangan di langit Ibukota, Klevance melintasi beberapa bangunan kota; berbagai lembaga yang mengatur jalannya kehidupan Bangsa Kahyangan, berbagai toko, penginapan, dan sebuah
Klevance tidak repot - repot berhenti untuk memeriksa apa Dewi Aegle dan para Healer sudah di kantor, sepagi ini kantor Wali Kota pasti masih kosong. “Aku berani bertaruh mereka pasti masih mendengkur di istana mereka,” ujar Klevance sambil tersenyum miring. Wali Kota memiliki istana sendiri dan terpisah dengan Istana Lismore, istana utama. Setiap tahun, kesibukan persiapan Festival Musim Semi selalu memengaruhi para Dewa-Dewi dan penduduk Ibukota, tidak terkecuali dengan Dewi Aegle dan para Healer. Dan saat tertekan, mereka selalu bekerja di cafe sampai larut malam, sambil minum-minum tentunya. Untunglah sejauh ini tidak ada staf yang mengeluh dengan cara kerja Dewi Aegle dan para Healer. Sisi buruknya, hampir selalu dipastikan Dewi Aegle dan para Healer pulang dalam keadaan tumbang. “Hawa nafsu dan hasrat benar-benar musuh terberat dan ternyata setiap makhluk hidup!” tukasnya sambil menggelengkan kepalany
Perut Klevance mendadak terasa dingin, dia sudah membawa pulang seorang Lucifer dari Bangsa Kegelapan dan yang lebih parahnya Lucifer itu mempunyai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang sudah lama hilang dan tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun. Klevance menggeleng pelan untuk menenangkan pikirannya. Perhatiannya kemudian teralih lagi ke senjata pusaka yang dibawa oleh Lucifer itu. “Aegle, apa sekarang kau bisa memberitahuku mengenai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang kau katakan tadi?” Dewi Aegle mendengus kesal mendengar ucapan Klevance yang tidak sabaran. “Hei, Klevance! Perhatianmu memang sangat mudah teralihkan ya! Tapi syukurlah tidak ada yang berubah dari dirimu selama ini.” Dewi Aegle mengembuskan napasnya dan mulai melepas perban yang dililitkan Klevance ditubuh Lucifer itu, memperlihatkan luka-luka yang tersembunyi di baliknya. “Lihat! Lucifer ini terluka sangat parah dan juga sedang sekarat. Jika kau punya hati nurani, bersabarlah menunggu
Klevance kebingungan dalam mencerna semua perkataan Dewi Aegle. “Oh, ayolah Aegle yang benar saja kau! Lalu bagaimana caranya agar Lucifer ini bisa selamat?! Akan sia-sia usahaku menyelamatkan dan membawa dirinya dari Hutan Aurora! Apa kau tahu? Aku sampai harus meninggalkan pedangku demi menyelamatkan Lucifer ini. Jadi tolonglah kau pikirkan cara lain untuk menyelamatkannya!” Dewi Aegle tersentak mendengar ucapan Klevance yang meninggalkan pedangnya di Hutan Aurora. Pedang yang biasa Klevance bawa juga benda pusaka---lebih tepatnya, senjata pusaka pertama yang berhasil diciptakan oleh Ratu Bangsa Kahyangan, ibunya, dan Raja Bangsa Kegelapan, ayahnya sebagai hadiah kelahiran Klevance. “Kau benar-benar sudah gila ya, Klevance? Bagaimana bisa kau meninggalkan pedang yang juga merupakan senjata pusaka di tengah hutan begitu saja? Bagaimana jika pedang itu ditemukan oleh orang asing dan digunakan untuk tujuan yang salah?!” Dewi Aegle mendesis kesal. “Tidak akan a