Klevance kebingungan dalam mencerna semua perkataan Dewi Aegle. “Oh, ayolah Aegle yang benar saja kau! Lalu bagaimana caranya agar Lucifer ini bisa selamat?! Akan sia-sia usahaku menyelamatkan dan membawa dirinya dari Hutan Aurora! Apa kau tahu? Aku sampai harus meninggalkan pedangku demi menyelamatkan Lucifer ini. Jadi tolonglah kau pikirkan cara lain untuk menyelamatkannya!”
Dewi Aegle tersentak mendengar ucapan Klevance yang meninggalkan pedangnya di Hutan Aurora. Pedang yang biasa Klevance bawa juga benda pusaka---lebih tepatnya, senjata pusaka pertama yang berhasil diciptakan oleh Ratu Bangsa Kahyangan, ibunya, dan Raja Bangsa Kegelapan, ayahnya sebagai hadiah kelahiran Klevance.
“Kau benar-benar sudah gila ya, Klevance? Bagaimana bisa kau meninggalkan pedang yang juga merupakan senjata pusaka di tengah hutan begitu saja? Bagaimana jika pedang itu ditemukan oleh orang asing dan digunakan untuk tujuan yang salah?!” Dewi Aegle mendesis kesal.
“Tidak akan ada yang dapat menemukannya, Aegle. Kau tidak perlu khawatir. Aku telah menyembunyikan pedangku di tempat yang hanya diketahui diriku seorang dalam Hutan Aurora tersebut,” desis Klevance.
Dewi Aegle mengembuskan napas lega. Ya… setidaknya dia tahu harus menyembunyikan pedang itu walau harus meninggalkannya di tengah hutan begitu saja.
Klevance kemudian teringat kembali akan kesepakatannya dengan Dewi Aegle sebelum dirinya bercerita mengenai kejadian yang dialaminya di Hutan Aurora.
“Oh ya Aegle, jangan lupakan kesepakatan kita. Kau belum menceritakan lebih jelas mengenai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang kini berada dalam genggaman Lucifer itu.” Klevance menunjuk Lucifer yang sedang terbaring dan juga senjatanya.
“Ah, ya betul. Terima kasih telah mengingatkanku, Klevance,” ujar Dewi Aegle, lupa akan kesepakatan tersebut karena perhatiannya sempat teralihkan oleh kekudusannya yang tidak berguna pada Lucifer tersebut.
Klevance memutar bola matanya malas. “Ayolah cepat, Aegle. Jangan menunda-nunda lagi, aku sibuk tahu,” desisnya.
Dewi Aegle mengerucutkan bibirnya, “Heh, kau kira dirimu saja yang sibuk? Aku juga tahu! Baiklah-baiklah akan kuceritakan kepadamu tentang legenda senjata pusaka Bangsa Kegelapan itu.”
Lalu Dewi Aegle pun mulai menceritakan mengenai legenda senjata pusaka Bangsa Kegelapan kepada Klevance. Mulai dari mana asal-muasal senjata pusaka itu, bagaimana senjata pusaka itu terbentuk, bagaimana bisa menjadi senjata pusaka, betapa kuat senjata pusaka itu, hingga bagaimana senjata itu bisa hilang dan dinyatakan tidak lagi diketahui keberadaannya oleh Bangsa Kegelapan beratus-ratus ribu tahun yang lalu.
“Jadi maksudmu ini semua hanyalah manipulasi semata Bangsa Kegelapan untuk menyembunyikan senjata pusaka terkuat mereka dari para ‘pemburu’? Dan dengan cara menyatakan senjata pusaka itu hilang dan tidak diketahui keberadaannya lagi?” Klevance mencoba menyimpulkan ucapan Dewi Aegle mengenai senjata pusaka tersebut.
Dewi Aegle mengedikkan bahunya dan memasang ekspresi wajah tidak tau.
“Ya, mungkin saja itu hanya trik mereka semata untuk menyembunyikan senjata pusaka mereka dari para ‘pemburu’. Tapi, tentu saja kita tidak bisa sembarang berasumsi dan berspekulasi mengenai hal itu karena ini menyangkut sesuatu yang krusial, Klevance.”
Mereka baru berhenti berbicara ketika tersadar Lucifer itu sudah berada tepat di belakang Dewi Aegle dan menodongkan senjata pusakanya yang berupa belati kecil itu di lehernya.
“Semua yang tahu tentang keberadaan senjata pusaka ini harus enyah!” Lucifer itu mulai menggores leher Dewi Aegle, hingga leher Dewi Aegle mulai mengeluarkan darah keemasannya.
Klevance mulai berpikir dan mencari cara untuk menenangkannya agar Lucifer itu tidak memperdalam hunusannya di leher Dewi Aegle. “Cih, yang benar saja. Apa kaum Bangsa ayahku semuanya seperti dirimu? Sudah ditolong tapi malah memperlakukan penolongnya seperti ini! Tahu gitu kubiarkan saja dirimu mati kehabisan darah di Hutan Aurora!” Klevance mencoba mengalihkan perhatiannya.
Dewi Aegle yang mendengar Klevance malah memprovokasi Lucifer itu pun segera mengirimkannya telepati---telepati khusus Bangsa Kahyangan. “Yo, Klevance! Yang benar saja lah! Kenapa kau malah memprovokasi dirinya? Kau benar-benar ingin melihatku mati, ya?!”
“Kau bawel sekali nenek tua. Diam dan lihat saja! Aku sedang mencoba mengalihkan perhatiannya bukan memprovokasinya tau!” celetuk Klevance dalam telepati tersebut.
Lucifer itu sontak terkejut mendengar ucapan Klevance yang mengatakan dirinya adalah ‘kaum ayahnya’. “Apa maksudmu dengan mengatakan Raja Bangsa Kegelapan kaumku adalah ayahmu, Nona?” tanyanya penasaran.
“Ya, tentu saja karena dia adalah ayahku, huh.” desis Klevance gemas.
Klevance melanjutkan ucapnnya, “Kau lihat saja rupa ku dari ujung kepala hingga ujung kaki dan juga jangan lupakan sayapku.” Klevance memutar pelan tubuhnya agar Lucifer itu dapat mengamati lebih jelas wujud Klevance yang berupa makhluk campuran antara makhluk Bangsa Kahyangan dan Bangsa Kegelapan.
Lucifer itu mulai mengendorkan pegangan dan senjatanya dari hadapan Dewi Aegle. Dia mulai mengamati bentuk dan wujud Klevance yang berupa makhluk campuran itu. Dia sangat terkesima dan juga terkejut dalam waktu yang bersamaan ketika mengamati rupa Klevance.
“Aku tidak pernah tahu, raja sudah memiliki anak, dan bahkan anaknya adalah makhluk campuran seperti ini,” tukasnya.
“Hei apa maksudmu dengan mengatakan ‘anaknya adalah makhluk campuran seperti ini’? Apa kau sedang menghinaku karena aku bukan sepenuhnya Bangsa Kegelapan dan memiliki darah campuran yang mengalir dalam tubuhku? Dan bagaimana bisa kau tidak tahu kalau raja mu sudah memiliki anak, bukannya tidak ada makhluk yang tidak tahu ketika aku dilahirkan?” Klevance kesal sendiri dengan ucapan Lucifer itu.
Dewi Aegle yang sekarang sudah sepenuhnya bebas dari genggaman Lucifer dan sudah menyembuhkan lukanya sendiri dengan kekudusannya segera menyambar percakapan mereka berdua, “Ya, tentu saja karena dirinya adalah Lucifer, Klevance. Kau sebenarnya tahu tidak sih apa itu Lucifer dari Bangsa Kegelapan? Kukira dirimu sudah mengetahui mengenai Lucifer sepenuhnya karena saat kau membawanya kemari kau tahu bahwa dirinya adalah seorang Lucifer. Ternyata kau tidak sepintar itu, Klevance. Ckckck, aku telah salah menilaimu.” Dewi Aegle terus mengolok-olok Klevance.
“Cih, diam kau nenek tua.” Klevance mengerucutkan bibirnya dan berdecak pinggang.
“Lucifer seperti dirinya itu tidak akan tahu informasi dan kabar apapun mengenai Bangsa Kegelapan, karena dirinya selalu di tempatkan di luar pusat teritori bumi atau dengan kata lain Lucifer selalu berada di area luar kekuasaan Bangsa Kegelapan selama hidupnya. Benar tidak, Lucifer?”
Lucifer menganggukkan kepalanya pelan. Dia berusaha tetap berdiri dan tentunya degan susah payah sambil menahan semua rasa sakit akibat luka-luka pada tubuhnya.
“Ya… kau benar. Apakah kau Dewi Kesembuhan Bangsa Kahyangan yang memberikanku kekudusanmu selama aku tidak sadarkan diri tadi?”
Dewi Aegle mengangguk mengiyakan. “Tapi kekudusanku tidak bisa sepenuhnya diterima oleh tubuhmu. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu.”
“Hei, Lucifer, siapa nama aslimu?” tanya Klevance yang tiba-tiba menyambar percakapan Dewi Aegle dan Lucifer itu.
"Ya, Klevance, apa itu yang terpenting sekarang? Menanyakan namanya? Yang benar saja!" Dewi Aegle berdesis gemas. Tidak tahan dengan kelakuan Klevance yang semakin siang semakin konyol saja.
"Cih," Klevance tidak terlalu menghiraukan Dewi Aegle saat ini.
“Arssane,” jawabnya singkat dan menghentikan perdebatan antara Dewi Aegle dan Klevance.
“Lalu, Tuan Arssane apakah kau bisa memeritahuku tentang apa yang sebenarnya terjadi di Hutan Aurora? Sebagai gantinya aku akan pergi ke pusat teritori bumi menemui ayahku dan meminta penawar untukmu atau jika tidak ada penawar yang bisa menyembuhkanmu disana, aku akan mencarikannya kemanapun sampai dapat,” ujar Klevance mencoba membuat kesepakatan dengan Arssane, Lucifer itu.
Arssane terkekeh mendengar ucapan Klevance. “Aku tidak punya banyak waktu yang tersisa untuk tetap dapat hidup dengan menunggu selama itu, dan kau terlihat seperti tidak mampu untuk melakukan semua yang kau ucapkan, Nona kecil,” jawabnya menyepelekan Klevance.
Dewi Aegle tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Arssane yang mengejek dan meragukan Klevance. “Ya, aku setuju denganmu, Arssane.”
“Cih, sudah sekarat masih saja sempat-sempatnya menghina orang lain.” Klevance mendesis kesal dan segera pergi keluar dari gudang tersebut untuk mencari udara segar.
-Bersambung-
*Note* Halo semuanya! Apa kabar? Aku harap kalian baik-baik saja dan semoga hari kalian menyenangkan. Aku ingin meminta tolong kepada kalian jika menyukai ceritaku tolong memberikan ulasan terhadap karyaku ini ya dan tambahkan juga ke koleksi kalian agar tidak ketinggalan update!^^ Feel free untuk memberikan saran dan komentar kalian juga^^ Dan jangan lupa untuk menshare cerita ini jika menurut kalian cerita ini menarik^^ Mohon maaf sebelumnya, jika karyaku ini masih banyak kesalahan ataupun alur ceritanya yang tidak sesuai ekspetasi kalian. Namun, sekali lagi, jika kalian mempunyai saran dan kritikan untukku ataupun karyaku jangan sungkan ya untuk memberitahuku di kolom komentar. Aku akan sangat berterimakasih kepada kalian^^ Aku juga ingin mengucapkan terimakasihku dengan setulus tulusnya kepada para pembaca yang setia membaca karyaku sampai di chapter 7 ini. Kuharap kalian tidak bosan dan menemaniku hingga akhir cerita ini^^ Aku akan berusaha semaksimalku untuk karya ini^^ Salam hangat Chasalla16
"Jadi kau benar-benar putri tersebut! Pantas saja kau sangat berani juga sedikit tidak tahu sopan santun dengan seorang Dewi. Sudah lama tidak berjumpa, Putri Klevance.""Apa kau mengenalku?" Klevance memasang raut wajah bingung dengan pernyataan sang dewi yang seperti sudah mengenalnya sejak lama."Tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah Putri pewaris tahta Bangsa Kahyangan. Tidak ada dewi atau pun dewa yang tidak mengenalmu.""Tapi kau tidak mengenalku di awal dan baru mengetahuiku saat aku memperkenalkan diri beberapa saat yang lalu!" sindir Klevance."Ya, tentu saja! Wajahmu sedikit berubah jika dibandingkan dengan dirimu waktu kecil. Aku bahkan tidak bisa mengenalimu sebelumnya."Klevance mengembuskan desah napas berat mendengar pernyataan sang dewi penjaga yang kini seperti seorang teman dekat yang telah lama tidak berjumpa satu sama lain.'Tetap fokus, Hitam. Waktu kita tidak tersisa banyak. Ingatlah bahwa Lucifer masih belum kau ke
"Selamat datang di duniaku. Kau bukanlah Baginda Ratu Larissa. Siapa kau? Mengapa memasuki dunia simbol yang bukan kawasanmu?" ujar seorang Dewi penjaga dunia simbol kepada Klevance.Klevance mengedarkan pandangannya dan mencari-cari dari mana asal suara yang sedang mengajaknya berbicara tersebut. Namun dia tidak dapat menemukan kehadiran siapapun di dalam dunia simbol tersebut. Dia hanya bisa melihat cahaya putih yang tak berujung di dalam dunia simbol tersebut. Sepi dan sunyi seperti tidak ada kehidupan apapun.Ya, tak heran, bukan. Dunia simbol adalah pertahanan terakhir dari sistem keamanan gerbang belakang Istana Lismore yang jarang dikunjungi oleh siapapun. Tentu saja tidak ada kehidupan di dalam dunia tersebut selain dewi penghuninya."Siapa kau? Kenapa aku tidak bisa melihatmu?" tanya Klevance pada akhirnya karena dia tidak dapat menemukan orang yang mengajaknya berbicara."Tentu saja kau tidak bisa melihatku. Hanya Ratu Larissa yang dapa melihat kehadira
Bunyi kicauan burung yang begitu nyaring menandakan hari sudah kembali pagi dalam pergantian waktu di Bangsa Kahyangan. Namun sinar matahari masih terlihat begitu redup dan juga belum menampakkan diri serta keluar dari tempat persembunyian nya. Klevance terlihat tengah menyelinap untuk keluar dari kediaman sang ratu. Dia dengan sangat hati-hati melangkah perlahan menuju gerbang belakang Istana Lismore. Di mana pada gerbang belakang tersebut tidak ada satu pun bawahan sang ratu yang berjaga. Gerbang belakang Istana Lismore adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi oleh sang ratu sehingga keamanan di sana jauh dari kata ketat. Dengan melewati gerbang belakang tersebut memudahkan Klevance untuk keluar dari istana milik ibunya tanpa ketahuan oleh satu penjaga pun. 'Abu-abu, apa kau tidak berniat membantuku?! Cepat bertukar jiwa, akan sangat merepotkan jika aku ketahuan sekarang!' ucap si Hitam kepada si Abu-abu. 'Ck, kau payah sekali, Hitam! Kenapa tidak bertuk
"Hei, Aegle. Menurutmu apa maksud dari ucapan Zelus padaku beberapa saat yang lalu? Apa yang harus kusiapkan besok? Apa mereka semua berspekulasi bahwa aku yang melakukan pembantaian terhadap kaumku dan juga bangsa manusia sekaligus Half-Angel di Hutan Aurora?" tanya Klevance dengan begitu penasaran akan maksud dari perkataan Zelus kepadanya. Dewi Aegle mengeluarkan desah napas berat. "Sepertinya begitu, Klevance." Klevance sontak tertegun sejenak. 'Mereka benar-benar mengira aku yang melakukan pembantaian itu? Sungguh? Kenapa tidak ada satu pun yang mempercayai diriku. Terutama Ibu ....' Dewi Aegle kemudian menoleh sekilas ke arah Klevance yang masih terdiam dan sedang bergelut dalam pikirannya. Dia lalu menepuk pelan pundak Klevance dan berkata, "Menurut informasi yang kudapatkan dari kantor Wali Kota, Zelus menemukan beberapa helai sayapmu di tempat kejadian tersebut dan dia telah melaporkannya kepada Ratu." Klevance lalu memandan
Dor ... dorr ... dorrr .... Bunyi kembang api yang meledak di langit-langit Bangsa Kahayangan terdengar dengan jelas hingga ke penjuru sisi. Semua orang, terutama penduduk Bangsa Kahyangan terlihat memenuhi Istana Lismore sang Ratu. Para tamu yang hadir sangat menikmati pesta yang dibuat oleh sang Ratu Bangsa Kahyangan tersebut. Lantaran pesta tersebut adalah pesta termegah kedua selain pesta pernikahan sang Ratu dengan Raja Bangsa Kegelapan. Alih-alih ikut menikmati dan merasakan suasana yang meriah, Klevance tampak murung dan sama sekali tidak bersemangat. Dia berulang kali menghelakan napas berat sembari memandang ke langit-langit yang dipenuhi dengan kembang api yang indah. Akan tetapi, tatapannya terlihat sangat kosong. Bukannya tidak ingin menikmati, tetapi dia tidak bisa berpesta di tengah situasi yang sedang kacau dan tidak terkendali pada Bangsa Kahyangan. Selain itu, banyak sekali fakta dan juga misteri yang baru saja terungkap serta dia ket
"Apa Klevance sudah sampai di kediaman Ratu Larissa? Kenapa aku tiba-tiba mengkhawatirkan perempuan menyebalkan itu?!" desis Dewi Aegle pelan kepada dirinya sendiri. "Aku akan meminta Kilorn untuk memastikannya," lanjut Dewi Aegle bergumam dan segera menghubungi Kilorn melalui telepatinya. Seteleh selesai melakukan telepati dengan Kilorn, Dewi Aegle mendapatkan sebuah pesan dari Bangsa Kegelapan. Surat itu diberikan oleh Kilorn kepadanya saat mereka berdua sedang melakukan telepati satu sama lain. Dewi Aegle segera membaca surat yang sudah terpapar dengan jelas isinya di dalam benaknya tersebut. Namun, sepertinya pesan tersebut dikirimkan oleh seorang Dewi juga. Yang mana Dewi yang mengirimkan pesannya kepada Dewi Aegle berasal dari Bangsa Kegelapan. Sehingga pesan tersebut dapat berbunyi dan terhubung satu sama lain seperti sedang berkomunikasi dua arah dalam jangkauan jarak yang dekat. 'Ini aku Mahakali, Aegle. Apakah kau yang menyembuhkan L