Perut Klevance mendadak terasa dingin, dia sudah membawa pulang seorang Lucifer dari Bangsa Kegelapan dan yang lebih parahnya Lucifer itu mempunyai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang sudah lama hilang dan tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun.
Klevance menggeleng pelan untuk menenangkan pikirannya. Perhatiannya kemudian teralih lagi ke senjata pusaka yang dibawa oleh Lucifer itu. “Aegle, apa sekarang kau bisa memberitahuku mengenai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang kau katakan tadi?”
Dewi Aegle mendengus kesal mendengar ucapan Klevance yang tidak sabaran. “Hei, Klevance! Perhatianmu memang sangat mudah teralihkan ya! Tapi syukurlah tidak ada yang berubah dari dirimu selama ini.”
Dewi Aegle mengembuskan napasnya dan mulai melepas perban yang dililitkan Klevance ditubuh Lucifer itu, memperlihatkan luka-luka yang tersembunyi di baliknya. “Lihat! Lucifer ini terluka sangat parah dan juga sedang sekarat. Jika kau punya hati nurani, bersabarlah menungguku mengobatinya dahulu baru akan kuceritakan mengenai senjata pusaka itu padamu.”
Klevance berjengit saat darah menetes dari luka-luka itu dan membasahi dipan.
Padahal sudah ku obati dengan obat-obatan yang sangat manjur yang kupunya, tapi mengapa darahnya masih saja mengucur dan pendarahannya tidak mau berhenti?
Ya… seandainya Klevance tidak menemukan dan membawa Lucifer dari Bangsa Kegelapan ini pada Dewi Aegle, sahabatnya tepat waktu, Lucifer sudah pasti akan mati kehabisan darah---walaupun mayoritas Bangsa Kegelapan juga abadi dan berumur panjang tapi entah bagaimana caranya Lucifer ini bisa terluka parah dan hampir mati.
Dengan inisiatif dirinya sendiri, Klevance menyiapkan air panas dan kain, serta mengambilkan tambahan perban. Dia sudah terbiasa membantu perawatan, baik hewan atau penduduk, yang terluka saat berburu baik sebelum dirinya di asingkan maupun saat dirinya di asingkan di luar Benua Isthara. Tidak sedikit pula pemahaman Klevance mengenai penyembuhan dan apa yang harus dilakukan.
Sementara Klevance sibuk mondar-mandir, Dewi Aegle mulai membersihkan dan menyembuhkan luka-luka pria itu dengan kekudusannya. Dimulai dari perawatan luka di bagian belakang kepala, kemudian luka-luka lain yang memenuhi tubuh. Dewi Aegle juga membubuhkan obat-obatan hasil racikannya dengan para Healer untuk membantu menghentikan pendarahan serta mencegah infeksi juga menunjang kesembuhan selama kekuatan kekudusannya bekerja.
Selama Dewi Aegle bekerja, Klevance terdiam membisu. Mengetahui bahwa pria yang setengah mati susah payah dipanggulnya dari hutan sampai ke Istana milik Wali Kota adalah seorang Lucifer yang membawa senjata pusaka Bangsa Kegelapan membuat pikirannya kembali gelisah dan tidak tenang.
Lucifer merupakan klan elite Bangsa Kegelapan. Tidak banyak yang diketahui tentang mereka selain bahwa mereka adalah pembunuh terlatih Bangsa Kegelapan. Mereka menghabiskan seumur hidup menyempurnakan tubuh dan pikiran mereka untuk menghabisi lawan dengan cepat dan tepat.
Kalau pria ini seorang Lucifer, apa dia yang menghabisi para elite, manusia, dan Half-Angel itu?
Klevance mengigit bibirnya dengan cemas sambil menyimpan wajah pria itu baik-baik. Walaupun wajahnya menyeramkan, dia tidak terlihat seperti orang jahat. Bahkan saat di hutan tadi, dia bisa saja menghabisi Klevance kalau dia mau dengan belati kecilnya, tapi dia tidak melakukannya.
Tapi kalau benar pria ini adalah pelakunya, Klevance juga tidak mungkin melepaskan dan meninggalkannya begitu saja untuk menjemput ajal. Jika benar Lucifer ini adalah pelakunya, Klevance akan memberikannya hukuman yang sepadan dengan perbuatannya walaupun dirinya mungkin bisa saja meregang nyawa sewaktu-waktu jika tidak sengaja tertusuk oleh senjata pusakanya itu.
Dewi Aegle akhirnya selesai mengobati Lucifer itu dengan kekudusannya. Dia mengembuskan napas lega dan menyeka keringat di keningnya. "Kau ini," gerutunya. "Kenapa segala sesuatu yang terluka harus kau bawa ke Istana Orava, tempatku? Harimau, Serigala, burung hantu, elang, dan sekarang seorang Lucifer?"
"Sudah kebiasaan, kurasa," jawab Klevance asal.
Dewi Aegle menggelitik perut Klevance gemas. "Sekarang, apa kau mau menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?"
Klevance menggeleng, “Kau ceritakan dulu mengenai senjata pusaka itu, baru aku akan bercerita mengenai Lucifer itu. Impas bukan?”
“Haih, kau ini benar-benar perhitungan dan licik sekali ya, Klevance! Padahal aku sudah membantumu menyembuhkan Lucifer itu dengan kekudusanku!” Dewi Aegle mengembuskan napas dan mendesis kesal pada Klevance.
Klevance terkekeh mendengar Dewi Aegle menyindirnya habis-habisan. “Baiklah-baiklah, aku akan menceritakan mengenai Lucifer itu padamu. Setelah itu kau harus menceritakan mengenai senjata pusaka kepadaku, bagaimana? Deal?”
“Tentu saja, deal!” ucap Dewi Aegle membalas ucapannya.
Klevance mengangguk dan mulai menceritakan ‘temuannya’ kepada Dewi Aegle. Dari bagaimana dia menemukan mayat para elite Bidadari dan Bidadara Penjaga Sungai Arthur, mayat para manusia, hingga mayat para Half-Angel.
Klevance sengaja menghilangkan bagian tentang pertemuannya dengan pria itu dan bagaimana pria itu menodongkan belati nya di leher Klevance serta bagaimana pria itu hampir saja meninjunya dengan cakar tangan yang dia miliki. Dia tidak mau membuat Dewi Aegle cemas, melihat orang yang baru diobatinya sempat menghunuskan senjata di leher sahabatnya.
Dia baru saja berhenti cerita ketika melihat banyak darah yang mengalir keluar dari mulut pria yang dia tolong. “Astaga, Aegle! Lihat darah yang keluar dari mulut pria itu!”
“Ya, ampun! Klevance, kekudusanku tidak berguna sepenuhnya padanya!” Aegle menyadari sinar terang kekudusan yang bekerja pada Lucifer itu perlahan mulai meredup dan berubah auranya.
“Ti-tidak bekerja? Apa maksudmu Aegle?! Bagaimana bisa kekudusanmu tidak bekerja padanya Aegle?!” Klevance bertanya-bertanya kepada Aegle, panik.
Dewi Aegle mengembuskan napas berat, “Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.”
“Sebutkan contohnya Aegle!” Klevance mendesis kesal.
“Mungkin karena bukan aku Dewi yang memberkati penyembuhan bangsa mereka, jadi ada penolakan di dalam tubuhnya dalam menerima kekudusanku. Atau---" ucapan Dewi Aegle terpotong. Dewi Aegle memasang ekspresi gelisah dan berhati-hati dalam melanjutkan ucapannya.
“Atau apa, Aegle? Oh, ayolah jangan setengah-setengah begitu!” desak Klevance meminta jawaban kepada Dewi Aegle.
“Dia terluka karena senjata atau kekuasaan yang lebih tinggi dari kemampuanku dan kekudusanku,” jawab Dewi Aegle dengan nada yang getir.
Klevance tersentak mendengar ada sesuatu yang lebih tinggi dari kekudusan Dewi Aegle, “Jangan menakutiku seperti itu! Apakah pria ini pada akhirnya tidak bisa kita selamatkan?”
Sia-sia saja bagiku jika pria ini pada akhirnya tidak bisa diselamatkan nyawanya, aku belum mendapatkan jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi di Hutan Aurora dan para mayat yang kulihat.
“Ya, aku tidak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan dirinya dengan kekudusanku jika kekudusanku saja tidak berguna padanya.”
Klevance mengernyitkan alisnya, “Sebenarnya apa yang lebih tinggi dari kekudusan para Dewa dan Dewi yang memberkahi banyak makhluk hidup dengan kekuasaanya?” Klevance penasaran dengan jawaban dari Dewi Aegle.
“Kekuatan alam semesta milik ‘Sang Pencipta yang mutlak’. Sang Pencipta dan pemilik kekuatan alam semesta, pengendali sebenarnya semua makhluk hidup.”
Dewi Aegle melanjutkan ucapannya, “Sang Pencipta yang menciptakan aku, Dewa dan Dewi lainnya, dan ‘yang’ memberikan kami semua kemampuan untuk memberkahi makhluk hidup lewat kekudusan kami yang berbeda-beda kemampuannya.”
-Bersambung-
*Note* Halo semuanya! Apa kabar? Aku harap kalian baik-baik saja dan semoga hari kalian menyenangkan.Aku ingin meminta tolong kepada kalian jika menyukai ceritaku tolong memberikan ulasan terhadap karyaku ini ya dan tambahkan juga ke koleksi kalian agar tidak ketinggalan update!^^ Feel free untuk memberikan saran dan komentar kalian juga^^Dan jangan lupa untuk menshare cerita ini jika menurut kalian cerita ini menarik^^ Mohon maaf sebelumnya, jika karyaku ini masih banyak kesalahan ataupun alur ceritanya yang tidak sesuai ekspetasi kalian. Namun, sekali lagi, jika kalian mempunyai saran dan kritikan untukku ataupun karyaku jangan sungkan ya untuk memberitahuku di kolom komentar. Aku akan sangat berterimakasih kepada kalian^^ Aku juga ingin mengucapkan terimakasihku dengan setulus tulusnya kepada para pembaca yang setia membaca karyaku sampai di chapter 6 ini. Kuharap kalian tidak bosan dan menemaniku hingga akhir cerita ini^^ Aku akan berusaha semaksimalku untuk karya ini^^ Salam hangat Chasalla16
"Jadi kau benar-benar putri tersebut! Pantas saja kau sangat berani juga sedikit tidak tahu sopan santun dengan seorang Dewi. Sudah lama tidak berjumpa, Putri Klevance.""Apa kau mengenalku?" Klevance memasang raut wajah bingung dengan pernyataan sang dewi yang seperti sudah mengenalnya sejak lama."Tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah Putri pewaris tahta Bangsa Kahyangan. Tidak ada dewi atau pun dewa yang tidak mengenalmu.""Tapi kau tidak mengenalku di awal dan baru mengetahuiku saat aku memperkenalkan diri beberapa saat yang lalu!" sindir Klevance."Ya, tentu saja! Wajahmu sedikit berubah jika dibandingkan dengan dirimu waktu kecil. Aku bahkan tidak bisa mengenalimu sebelumnya."Klevance mengembuskan desah napas berat mendengar pernyataan sang dewi penjaga yang kini seperti seorang teman dekat yang telah lama tidak berjumpa satu sama lain.'Tetap fokus, Hitam. Waktu kita tidak tersisa banyak. Ingatlah bahwa Lucifer masih belum kau ke
"Selamat datang di duniaku. Kau bukanlah Baginda Ratu Larissa. Siapa kau? Mengapa memasuki dunia simbol yang bukan kawasanmu?" ujar seorang Dewi penjaga dunia simbol kepada Klevance.Klevance mengedarkan pandangannya dan mencari-cari dari mana asal suara yang sedang mengajaknya berbicara tersebut. Namun dia tidak dapat menemukan kehadiran siapapun di dalam dunia simbol tersebut. Dia hanya bisa melihat cahaya putih yang tak berujung di dalam dunia simbol tersebut. Sepi dan sunyi seperti tidak ada kehidupan apapun.Ya, tak heran, bukan. Dunia simbol adalah pertahanan terakhir dari sistem keamanan gerbang belakang Istana Lismore yang jarang dikunjungi oleh siapapun. Tentu saja tidak ada kehidupan di dalam dunia tersebut selain dewi penghuninya."Siapa kau? Kenapa aku tidak bisa melihatmu?" tanya Klevance pada akhirnya karena dia tidak dapat menemukan orang yang mengajaknya berbicara."Tentu saja kau tidak bisa melihatku. Hanya Ratu Larissa yang dapa melihat kehadira
Bunyi kicauan burung yang begitu nyaring menandakan hari sudah kembali pagi dalam pergantian waktu di Bangsa Kahyangan. Namun sinar matahari masih terlihat begitu redup dan juga belum menampakkan diri serta keluar dari tempat persembunyian nya. Klevance terlihat tengah menyelinap untuk keluar dari kediaman sang ratu. Dia dengan sangat hati-hati melangkah perlahan menuju gerbang belakang Istana Lismore. Di mana pada gerbang belakang tersebut tidak ada satu pun bawahan sang ratu yang berjaga. Gerbang belakang Istana Lismore adalah tempat yang sangat jarang dikunjungi oleh sang ratu sehingga keamanan di sana jauh dari kata ketat. Dengan melewati gerbang belakang tersebut memudahkan Klevance untuk keluar dari istana milik ibunya tanpa ketahuan oleh satu penjaga pun. 'Abu-abu, apa kau tidak berniat membantuku?! Cepat bertukar jiwa, akan sangat merepotkan jika aku ketahuan sekarang!' ucap si Hitam kepada si Abu-abu. 'Ck, kau payah sekali, Hitam! Kenapa tidak bertuk
"Hei, Aegle. Menurutmu apa maksud dari ucapan Zelus padaku beberapa saat yang lalu? Apa yang harus kusiapkan besok? Apa mereka semua berspekulasi bahwa aku yang melakukan pembantaian terhadap kaumku dan juga bangsa manusia sekaligus Half-Angel di Hutan Aurora?" tanya Klevance dengan begitu penasaran akan maksud dari perkataan Zelus kepadanya. Dewi Aegle mengeluarkan desah napas berat. "Sepertinya begitu, Klevance." Klevance sontak tertegun sejenak. 'Mereka benar-benar mengira aku yang melakukan pembantaian itu? Sungguh? Kenapa tidak ada satu pun yang mempercayai diriku. Terutama Ibu ....' Dewi Aegle kemudian menoleh sekilas ke arah Klevance yang masih terdiam dan sedang bergelut dalam pikirannya. Dia lalu menepuk pelan pundak Klevance dan berkata, "Menurut informasi yang kudapatkan dari kantor Wali Kota, Zelus menemukan beberapa helai sayapmu di tempat kejadian tersebut dan dia telah melaporkannya kepada Ratu." Klevance lalu memandan
Dor ... dorr ... dorrr .... Bunyi kembang api yang meledak di langit-langit Bangsa Kahayangan terdengar dengan jelas hingga ke penjuru sisi. Semua orang, terutama penduduk Bangsa Kahyangan terlihat memenuhi Istana Lismore sang Ratu. Para tamu yang hadir sangat menikmati pesta yang dibuat oleh sang Ratu Bangsa Kahyangan tersebut. Lantaran pesta tersebut adalah pesta termegah kedua selain pesta pernikahan sang Ratu dengan Raja Bangsa Kegelapan. Alih-alih ikut menikmati dan merasakan suasana yang meriah, Klevance tampak murung dan sama sekali tidak bersemangat. Dia berulang kali menghelakan napas berat sembari memandang ke langit-langit yang dipenuhi dengan kembang api yang indah. Akan tetapi, tatapannya terlihat sangat kosong. Bukannya tidak ingin menikmati, tetapi dia tidak bisa berpesta di tengah situasi yang sedang kacau dan tidak terkendali pada Bangsa Kahyangan. Selain itu, banyak sekali fakta dan juga misteri yang baru saja terungkap serta dia ket
"Apa Klevance sudah sampai di kediaman Ratu Larissa? Kenapa aku tiba-tiba mengkhawatirkan perempuan menyebalkan itu?!" desis Dewi Aegle pelan kepada dirinya sendiri. "Aku akan meminta Kilorn untuk memastikannya," lanjut Dewi Aegle bergumam dan segera menghubungi Kilorn melalui telepatinya. Seteleh selesai melakukan telepati dengan Kilorn, Dewi Aegle mendapatkan sebuah pesan dari Bangsa Kegelapan. Surat itu diberikan oleh Kilorn kepadanya saat mereka berdua sedang melakukan telepati satu sama lain. Dewi Aegle segera membaca surat yang sudah terpapar dengan jelas isinya di dalam benaknya tersebut. Namun, sepertinya pesan tersebut dikirimkan oleh seorang Dewi juga. Yang mana Dewi yang mengirimkan pesannya kepada Dewi Aegle berasal dari Bangsa Kegelapan. Sehingga pesan tersebut dapat berbunyi dan terhubung satu sama lain seperti sedang berkomunikasi dua arah dalam jangkauan jarak yang dekat. 'Ini aku Mahakali, Aegle. Apakah kau yang menyembuhkan L