Share

SAHABATKU DI RUMAH MERTUA
SAHABATKU DI RUMAH MERTUA
Penulis: Khanna

1. Permintaan Ibu

“Gi, bagaimana? Kamu sudah memikirkannya kan? Ibu sudah lama menunggu jawabanmu. Kamu kan tahu, Ibu sudah sangat mendambakan seorang cucu. Tolong mengerti perasaan Ibu. Jangan hanya memikirkan Khumaira saja. Ibu ingin segera menimang anakmu, Gifar.”

Perkataan itu kembali terulang setelah dua minggu yang lalu Gifar mendengar keluhan itu keluar dari lisan Laela—ibunya.

Gifar membuang napas kasar. Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak berminat dengan tawaran yang Laela sampaikan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, ia juga tak ingin menyakiti wanita yang telah melahirkannya itu.

“Bu, tolong tunggu sebentar lagi. Kami sedang mengusahakannya semaksimal mungkin, Bu. Ibu juga tahu kan, hasil pemeriksaannya bagus semua. Kami dalam keadaan sama-sama sehat, Bu. Hanya menunggu waktu yang tepat saja. Ibu bersabar ya?”

Dengan lembut, Gifar berusaha menasihati Laela. Bagaimanapun, Khumaira adalah wanita yang Gifar cintai. Ia telah berjanji tak akan menyakiti hatinya. Khumaira itu wanita cantik, tak banyak menuntut dan seorang yang mandiri. Istri yang banyak diidam-idamkan oleh kaum lelaki. Kalau sampai menggores hatinya dengan sebuah pengkhianatan, Gifar akan merasa sangat bersalah.

“Pernikahanmu sudah tiga tahun, Gi. Mau sampai kapan lagi? Ibu sudah capek mendengar banyak gosip tentangmu. Ibu tidak ingin kamu terlihat buruk di mata orang-orang, Gi. Tolong turuti permintaan Ibu kali ini saja, Gi. Wanita yang akan Ibu jodohkan denganmu, sudah diperiksa oleh dokter kandungan juga, Gi. Dia sehat dan siap mengandung anakmu.”

Mendengar Laela mengatakan semua rencana yang sudah dipersiapkan membuat Gifar terperanjat. Matanya membeliak saking tak menyangkanya kalau ibunya sudah melakukan semua itu.

“Khumaira juga sehat, Bu. Kenapa Ibu begini, sih? Aku mencintai Khuma, Bu. Mana mungkin aku menyakitinya dengan menikahi wanita lain demi seorang anak. Ibu tolong bersabar, ya. Kami akan berusaha agar cepat punya anak. Jangan begini caranya, Bu.”

Dengan wajah memelas, Gifar berusaha merayu sang pemilik surganya agar mau mendengar perkataannya.

“Sampai kapan, Gifar? Ibu sudah semakin tua. Apa kamu hanya memikirkan perasaan Khumaira saja? Sedangkan Ibu harus selalu bersabar dengan perasaan yang terasa begitu menyayat hati, Gi? Apa kamu mau durhaka sama orang tuamu sendiri karena lebih memikirkan perasaan istrimu?”

Gifar membuang pandangannya. Ia menghela napas karena rasa sesak kian mengimpit dada. Kata-kata Laela sangat mengusik perasaan laki-laki bergelar owner sukses dari usaha minuman kopi itu. Pilihan yang Laela berikan teramat sulit untuk diputuskan olehnya.

“Gi, dengarkan Ibu. Seorang suami boleh memiliki lebih dari satu istri. Apalagi Khumaira memang belum bisa memberikan keturunan dan secara finansial, kamu mampu mempunyai istri lebih dari satu orang, Gi. Kamu pasti biasa adil dalam memberikan nafkah untuk keduanya. Tanpa izin dari istrimu, kamu boleh menikah lagi, Gi. Semua akan baik-baik saja. Kalau kamu takut menyakiti hati Khumaira, cukup rahasiakan semuanya. Biar istri barumu Ibu yang urus, Gi. Dia mau kok, kalau harus tinggal sama Ibu.”

Laela terus saja membisikkan keinginannya pada Gifar. Harapan besar untuk menimang seorang cucu membuat Laela melakukan segala cara. Tidak ada yang bisa menenangkannya sebelum kemauannya itu terkabul.

Gifar kembali melihat Laela. Ia tak menyangka, ibunya sudah memikirkan sampai sejauh itu.

“Bu, kalau nanti pilihan Ibu sama saja belum bisa hamil dalam waktu dekat, apa Ibu tidak merasa bersalah?” Gifar masih berusaha menghindari keinginan dari Laela.

“Ibu sudah urus semuanya, Gi. Wanita pilihan Ibu penurut. Kalau seandainya dalam waktu setengah tahun masih belum hamil, dia mau diceraikan darimu asalkan ada biaya penggantinya, Gi. Bukankah dia wanita yang sangat pengertian? Jarang ada yang begitu, Gi. Sudah cantik, penurut pula. Rugi kalau Ibu menolaknya jadi menantu dan berharap punya cucu darinya, Gi.”

Gifar makin tak habis pikir dengan semua yang Laela pikirkan. Begitu gampang memutuskan semuanya demi memenuhi hasrat mempunyai seorang cucu. Tentang perasaan pun sepertinya telah diabaikan.

“Ibu, kenapa Ibu berpikir setega itu? Kita sama-sama manusia, Bu. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan untuk main-main begitu, Bu. Hanya karena menginginkan seorang cucu, kenapa Ibu jadi seperti ini?”

Nada bicara Gifar sedikit meninggi. Sepintar apa pun menekan amarah, apa yang dikatakan Laela sungguh membuat murka tak tertahankan lagi.

“Ibu sudah terlalu lama bersabar, Gi. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untukmu membuat sebuah pilihan besar. Kamu harus memberikan Ibu seorang cucu untuk meneruskan darah keluarga kita, Gi. Kalau kamu tetap menolak, Ibu bisa menyakiti Khumaira, Gi. Tolong, jangan buat Ibu menjadi mertua yang kejam karena melukai menantunya. Turuti keinginan Ibu, Gi.”

“Ibu, apa Ibu sadar telah mengatakan semua itu?”

“Kamu setuju, atau tidak, Gi? Pilihlah sekarang juga agar Ibu bisa menentukan sikap selanjutnya.”

Dengan sangat terpaksa, Gifar yang sangat mencintai Khumaira dan tidak mau terjadi hal yang buruk padanya, akhirnya mengiyakan keinginan Laela tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya anggukkan kepala yang dilakukan dengan pasrah.

Empat bulan kemudian ....

“Dek, belum mandi lagi? Kucel gitu sih? Aku baru pulang kerja berharap melihat bidadari loh, ini malah kayak apaan, Dek. Makin lama, kamu makin mengesampingkan penampilan sih, Dek?”

Gifar memprotes lagi penampilan Khumaira yang masih belum rapi sebab pekerjaannya sebagai pembuat berbagai kue.

Sekitar satu tahun terakhir, Khumaira memang memutuskan untuk menyibukkan diri dengan berkreasi membuat berbagai kue. Usahanya itu kian dikenal orang. Hingga sekarang, ada saja pesanan yang membuatnya melupakan penampilan yang harusnya tampak indah dipandang mata.

Meski begitu, Gifar pernah mengatakan, tanpa make up pun, Khumaira tetap cantik di matanya. Namun, tiga bulan terakhir, Gifar makin sering menyinggung penampilan Khumaira yang masih berantakan saat Gifar pulang dari pekerjaannya. Sebelumnya, ia tak terlalu memusingkan tampilan Khumaira yang memang sedang bergelut dengan bahan-bahan kue yang membuatnya tampak berantakan.

“Mas, lihat kan? Aku belum selesai bikin kue. Sebentar lagi selesai, Mas. Baru deh, aku mandi.”

“Kalau kesibukanmu malah bikin suami merasa jengkel, bukankah lebih baik ditinggalkan, Dek? Aku ingin melihatmu cantik saat aku pulang kerja, Dek.”

“Ya ampun, Mas. Dulu kan, kamu pernah ngomong, walau aku tanpa make up dan penampilannya berantakan, aku tetap cantik di matamu, Mas. Kenapa sekarang begini? Kamu pasti kecapekan. Aku bikinin minum dulu ya?”

“Aku nggak mau, Dek. Aku hanya minta agar kamu berpenampilan lebih enak dipandang saat aku baru pulang kerja. Aku akan belikan kamu B E*l Cosmetics, Dek. Kata salah satu temanku, itu produk kecantikan yang rekommended. Nggak rugi kalau udah coba, Dek.”

Khumaira menghela napas. Bukan dia tidak mau, hanya saja, waktu untuk sekadar mempercantik diri baginya membuang kesempatan dalam berkreasi. Namun, karena Gifar menginginkannya, Khumaira berusaha menyanggupinya. Toh, dia yang akan membelikannya.

“Aku juga tahu kok, Mas. Walau sibuk sama tepung dan teman-temannya, aku juga kadang lihat status punya orang. Pakai B E*l, biar nge-glazed kan, Mas?”

“Apaan tuh, Dek?”

“Ah, kamu gimana sih, Mas? Udah nyuruh gitu, malah nggak tahu. Nge-glazed itu lebih dari glowing. Ya gitu deh, jadi cantik banget kayak bidadari.”

Khumaira sedikit mencairkan suasana. Ia pun telah menyelesaikan pembuatan kuenya. Kini jemarinya sibuk meracik teh meski Gifar tadi menolak.

“Iya, Dek, iya. Aku suka kalau memang gitu.”

“Ya udah, kamu minum tehnya dulu, aku mau mandi biar kamu tambah senang, Mas.”

“Iya, Sayang. Maaf ya, aku hanya ingin membuatmu tetap cantik dan merawat diri.”

Khumaira hanya tersenyum setelah meletakkan cangkir berisi teh di meja. Kemudian, ia pergi untuk membersihkan diri.

Kenapa Mas Gifar jadi sering ngomongin penampilanku ya? Aku juga sering mengabaikannya karena memang lagi tanggung, kuenya sebentar lagi selesai dibuat. Pas Mas Gifar pulang kerja, aku jadi masih kucel itu wajar kan? Dulu juga nggak gini-gini amat. Atau mungkin ada sesuatu? Ah, Khuma, kamu berpikiran apa sih? Mas Gifar kan hanya perhatian agar penampilan istrinya tetap enak dipandang mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status