Share

Adelia

Penulis: Rumi Cr
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-07 14:09:36

"Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas.

"Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya.

"Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.

Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini."

"Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pura marah dengan berkacak pinggang.

"Lain kali bisa disambung lagi, ngobrolnya Mas Devan," kilah Nadia memaksakan untuk tersenyum. Karena Bryan masih terus menatap ke arahnya tanpa berkedip. "Sekarang kalian pergi dulu, aku mau masuk rumah untuk bersiap-siap."

"Ya, sudah masuk sana! Dandan yang cantik, Sayang." Ucapan Devan tak urung mengalihkan pandangan ke kakaknya. "Kenapa, Yan? Nadia ini, calon kakak ipar. Jaga baik-baik dia, ya ... karena proyek pembangunan hotel ini, Petra yang tanganin."

"Oh, pembicaraan kita yang tadi belum selesai lo, Mas Devan. Besok atau kapan, gitu ... aku akan luangkan waktu untuk kita berbicara empat mata. Ya, sudah aku naik ke atas, dulu, ya ... Mas Devan hati-hati di jalan," ujar Nadia sebelum bergegas meninggalkan dua saudara itu.

Aslinya, Nadia hanya mencari alasan untuk mengusir Devan dan Bryan dari rumah kakaknya. Mega, yang sedang asyik lihat drama korea di kosnya jadi sasaran manipulasinya supaya tidak terlalu lama berhadapan dengan Bryan.

🍁🍁🍁

"Bagaimana keadaan Adelia sekarang, Yan?" tanya Devan melirik sekilas ke arah adik, dengan fokus tetap dibelakang kemudi. Rupanya Bryan langsung menuju ke bandara untuk kembali ke rumahnya di Malang, karena tahu Devan diminta mamanya menservis ia memilih menghampiri kakaknya untuk membawa kembali mobil yang dipakainya.

"Sudah lumayan bisa menerima kondisi dirinya, Mas. Awalnya dia syok dengan apa yang diungkapkan dokter. Bisa bayangin, kan Mas ... besar harapan kami pada kehamilan Adelia kemarin, bahkan ia pun mengikuti saran dokter untuk bedrest. Tapi, takdir berkata kami harus kehilangan calon bayi kami yang ketiga kalinya."

"Bilang mama, sudah masuk 14 minggu ya, Yan? Mama juga nampak sedih, sepulang dari rumahmu waktu itu, udah banyak rencana mama untuk menyambut cucu pertama Adijaya."

"Iya, Mama bercerita sambil menangis, Mas. Tapi, berusaha tegar dan menguatkan saat di depan Adelia."

"Mama ingin menggelar acara selamat empat bulan di rumah, mengirim bingkisan ke beberapa panti asuhan. Mengirim bingkisan tetap dilakukan karena semua bingkisan sudah dipesan. Yang selamatkan di rumah urung dilakukan tetapi catering yang sudah di DP tetap memasak sesuai pesanan yang dikirim ke panti juga.

"Sabar, Yan ...." Tepuk Devan ke bahu Bryan dengan tatap penuh simpati.

"Bisa jadi, kami memang belum dipercaya menjadi orangtua, Mas. Aku sudah bilang pada Adelia, untuk tidak terlalu mengambil pusing tentang kondisinya. Kalau memang tidak ditakdirkan memiliki anak kandung, aku sudah bilang padanya untuk mengadopsi anak.

"Toh, kalau masalah meneruskan garis keturunan Adijaya masih ada Mas Devan," lanjut Bryan dengan menepuk bahu kakaknya.

"Enggak mau mencoba berobat ke luar negeri, Yan? Siapa tahu dengan pengobatan yang canggih sekarang, bisa mengatasi masalah kalian."

"Ya, mungkin nanti akan kami lakukan. Tapi, tidak bisa dalam waktu dekat ini, Mas. Tahu sendiri, kan? Petra yang mengambil proyek pembangunan hotel kita di Raja Ampat itu."

Devan mengangguk membenarkan, "Ngomong-ngomong, yang menyetujui rancangan hotel itu, papa atau kamu, Yan?"

"Papa dengan keputusan rapat dewan direksi. Mas, kan tahu sendiri ... walaupun Petra dibilang milikku, di atasku masih ada Pak Narendra Adijaya. Kenapa, kok tumben tanya-tanya, gini?"

"Aku sebenarnya kurang enak hati sama Nadia. Sebulan yang lalu, ia minta bantuan untuk merekomendasikan bironya masuk tender pembangunan hotel kita. Tapi, belum sempat Mas bicara dengan papa, dah ada keputusan finalnya. Yang lebih enggak nyangka lagi, sekalinya rancangan yang dipakai dari biro 'Pratama' tempat Nadia bekerja."

"Apa Dia yang merancang hotel itu?" tanya Bryan kemudian.

Devan menjawab dengan anggukan, lantas tersenyum. "Semoga enam bulan ke depan, aku bisa menikahi Nadia, setelah selesai membangun rumah impiannya. Besar harapanku juga, pembangunan hotel berjalan lancar. Supaya selesai sesuai target.

"Nanti, kalau kami sudah menikah, mas akan memintanya bergabung di pusat. Kan, enak berangkat kerja barengan tiap hari dari rumah." Angan yang disampaikan kakaknya membuat hati Bryan tercubit tak terima.

Devan mengernyit ketika sadar Bryan tak merespon dengan baik candaannya barusan. "Oh iya, tadi kamu bilang kalian teman sekelas waktu SMU. Serius, yang kau bilang, tadi?"

"Ya, elah ngapain ngarang, Mas. Makanya aku cukup terkejut melihat Nadia yang sekarang ...." Bryan tak melanjutkan ucapannya, "Kupikir dia akan terpuruk, atas apa yang kulakukan padanya, dulu."

"Sebenarnya sebelum Adelia dijodohkan denganmu, Papa meminta pendapatku, Yan." Devan menatap adiknya sekilas. "Ya, awalnya papa ingin mas yang nikah duluan, baru kamu. Cuma, setahun lalu mas belum siap untuk berumah tangga."

"Oh, awalnya ... keluarga Atmaja ingin mengambil Mas Devan jadi mantu," sahut Bryan menatap kakaknya.

"Enggak gitu, juga. Intinya ingin menjalin hubungan kekeluargaan setelah papa membantu Petra yang nyaris bangkrut."

"Pernikahan bisnis," gumam Bryan.

"Sepulangnya menghadiri resepsi pernikahanmu di Malang waktu itu, tanpa sengaja aku duduk satu pesawat dengan Sharman.

"Sharman itu, kakak Nadia sahabat mas waktu di sekolah kejuruan dulu. Saat bermain ke rumahnya, di sana mas bertemu dengan Nadia. Entah, kenapa senang saja lihat itu, anak. Padahal waktu remaja lihatnya biasa saja. Setelah besar, bikin hati berdebar." Gelak tawa Devan dengan wajah sumringah mengiringi cerita tentang kisahnya dengan Nadia.

Andai waktu bisa diulang, Bryan juga memilih tak jadi menikahi Adelia. Dulu, ia berpikir yang dijodohkan dengannya adalah Nadia. Hatinya sudah gembira saat papanya memperlihatkan foto perempuan cantik yang dijodohkan padanya. Saat melihat foto itu, Bryan menyangka Adelia adalah Nadia, karena wajah mereka sangat mirip. Bryan langsung menyetujui pembicaraan lewat video call tersebut, tanpa mencaritahu kebenaran siapa gadis yang dijodohkan dengannya.

Ketika pertemuan keluarga tengah berlangsung, saat Bryan menjejakkan kaki di tanah air. Baru dia tahu gadis yang dijodohkan dengannya bernama Adelia Cintami Atmaja bukan Nadia Maheswari Setiawan. Calon istrinya mirip karena Nadia, karena memang ada hubungan keluarga antara mereka. Adelia putri dari adik kandung ibunya Nadia.

Ya, Bryan telah menikahi sepupu dari cinta pertamanya. Kini, saat ia sudah bisa membuka hati untuk Adelia. Takdir mempertemukan dirinya dengan Nadia setelah delapan tahun tak berjumpa.

Kenapa kita dipertemukan, saat aku sudah tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku padamu Nadia. Padahal aku melakukan hal keji itu, supaya kamu memintaku untuk menikahimu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SAHAM 50 PERSEN    Sahabat

    Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i

  • SAHAM 50 PERSEN    Pengecut

    Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia

  • SAHAM 50 PERSEN    Jujur

    Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."

  • SAHAM 50 PERSEN    Komitmen

    Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."

  • SAHAM 50 PERSEN    Adelia

    "Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu

  • SAHAM 50 PERSEN    Masa Lalu

    "Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status