LOGIN"Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya.
"Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi." "Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu. Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?" "Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar." "Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..." Sharman hanya tersenyum getir mendengar ucapan adiknya. Adiknya cantik, pintar dan sekarang memiliki karier yang cemerlang. Usia sudah 26 tahun. Dirinya saja dulu menikahi istrinya saat usia 22 tahun, lulus kuliah langsung menikah. Karena keluarga Indah enggak mau mereka pacaran. "Bohong kalau kubilang enggak pernah jatuh cinta, Mas. Menjelang wisuda dulu, ada teman ingin melamarku. Kita sama-sama nyaman, dia mendapat beasiswa S2 ke luar negeri. Dia ingin mengajakku serta, saat aku jujur menceritakan keadaanku. Dirinya enggak pernah menghubungiku lagi." Nadia bercerita dengan bibir bergetar, sakit rasanya mengingat kisahnya semasa kuliah. "Di tempat kerja sekarang, juga. Kejadian hampir barengan dengan meninggalnya ibu. Dia mengajakku bersama merintis biro karena memang orangtuanya siap modal untuk itu. Dia memintaku jadi istri, sekaligus patner. Dan, Mas Sharman pasti tahu endingnya seperti apa, temanku itu, enggak pernah main kemari lagi." "Wildan? Jadi, dia pernah mengajakmu menikah, Dik?" Nadia hanya menjawab dengan senyuman getir. "Sangat wajar, Mas. Ketika menikah, dia ingin yang pertama memiliki istrinya. Sedangkan kalau menikah denganku, dia tidak mendapatkan itu." "Ingin sekali, Mas menghajar laki-laki yang telah menghancurkan hidupmu itu, Dik." Aku tadi bertemu dengannya, Mas. Dan sayangnya dunia begitu sempit, sekalinya dia adik dari sahabat baikmu, Mas Devan. 🍁🍁🍁 "Nay, ini maket proyek yang sedang kamu kerjakan?" Pertanyaan itu menyambut Nadia saat keluar dari kamar mandi. "Lho, Mas Devan kok bisa naik ke atas?" Tanya Nadia heran, karena memang kamarnya berada di lantai dua rumah kakaknya. Ada memang tangga yang dibuat di samping jalan tembus samping dan di atas dapur. Namun, Nadia sangsi sahabat kakaknya masuk lewat situ, "Tadi pas Mas datang barengan mereka keluar. Sharman sendiri yang nyuruh Mas kemari lewat tangga samping. Kenapa kaget, gitu ... takut digerebek warga sini." Devan mengerling jahil, "Itu, sebenarnya yang Mas tunggu. Diminta nikahi kamu, Nadia." "Ngaco, Mas ini! Sudah lama datang?" Nadia bertanya lagi, karena kalau datangnya berbarengan Masnya keluar, lumayan juga. Sebab pass Nadia naik ke atas tadi, kakak iparnya sudah rapi hendak pergi, kedua keponakan pun sudah anteng di teras. "Lumayanlah, asyik juga dengerin kamu nyanyi di kamar mandi tadi." "Aduh!" merah padam muka Nadia dengan jawaban Devan barusan. Memang lumayan lama Nadia tadi lama di kamar mandi, pulang dari lokasi proyek dengan debu yang menempel di sekujur tubuh, jadi ia langsung mandi untuk membersihkan diri. Nadia mendekat dan duduk di sisinya Devan ikut melihat maket di atas. "Ini proyek pribadi." "Proyek pribadi kamu?" Devan tidak melepaskan pandangan dari maket rumah berlantai dua yang belum sepenuhnya selesai dibuat oleh Nadia. "Iya, dong. Aku mau punya rumah seperti ini, Mas. Berwarna putih, halaman berumput yang luas, dan gazebo di depan dan belakang rumah. Pagarnya jangan terlalu tinggi." "Harusnya ada kolam renang di belakang," sambung Devan. "Kolam renang?" Nadia mengerutkan kening. Dalam hati ia berkata, "Itu tidak masuk akal. Aku hanya ingin rumah sederhana. Maket ini saja seperti mimpi. Entah kapan aku bisa mengumpulkan uang membeli tanah seluas itu di Jakarta. Kolam renang jelas tidak termasuk dalam paket impianku, Mas Devan." "lya, kolam renang, Sayang. Aku kan suka berenang." Devan melebarkan senyum saat melihat Nadia terpaku, ia mencoba memahami maksudnya. "Rumahmu kan berarti rumahku juga. Setelah kita menikah nanti, enggak ada lagi milikku-milikmu atau aku-kamu. Semua jadi kita. Kedengarannya bagus, ya?" Devan tersenyum sendiri dengan pikirannya. "Menikah?" Nadia mengulang kata itu. "Mas Devan, tadi manggil aku ... sa-yang." Devan menyipit menatap Nadia. "Iya, menikah. Usia kita makin bertambah, Nadia. Dan bohong, kalau kamu enggak tahu, kalau Mas menyukaimu selama ini." "Mas ...." "Kemarin sudah ketemu Papa, kan? Papa setuju Mas nikahi kamu, Nadia." "Mas Devan, maaf aku enggak bisa?" "Belum siap?" "Aku enggak bisa." Tegas Nadia pada akhirnya. "Alasannya?" "Mas Devan bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada aku ...." "Itu, bukan jawaban yang kumau, Nadia. Karena bagiku kamulah perempuan baik itu." Nadia menggelengkan kepala, "Aku mau jujur dengan Mas Devan, sebenarnya ...." PAKEEEETTTTTT! Nadia bergegas berdiri menuju balkon samping untuk menyapa kurir yang mengantar paket pesanannya. "Tunggu sebentar, Mas!" "Mas Devan turun yuk, kita lanjut ngobrol di teras saja." Nadia mengusapkan handuk ke rambutnya beberapa kali sebelum menjemurnya di pagar balkon. Tanpa menunggu jawaban Devan, Nadia bergegas menuju tangga turun ke bawah menemui kurir yang menunggu di teras rumah kakaknya. "Makasih, Mas." Nadia menerima paket dengan senyum sumringah. "Sama-sama Mbak Nadia yang senyumannya menggetarkan jiwa raga ...." jawab Kang Paket memasang senyum ala iklan peps0dent "Halaah, Mas ini, bisa saja! Makasih banyak lo, Mas!" "Siap, sama-sama!" jawab Kang Paket sembari melambai menaiki motornya. Tak lama Devan keluar dari pintu sambil menjawab telepon. "Iya, benar ... langsung masuk saja, bilang satpam mau ke blok B. Kamu lurus, gang kedua langsung besok. Rumah kedua, sebelah kanan. Kami lagi di teras, ini." Nadia mengernyit menatap Devan, "Siapa, Mas?" "Bryan, kebetulan dia lagi jalan, sekalian tak minta jemput kemari." "Tadi, Mas kemari naik apa?" "Ojol." "Lha, kok tumben?" "Tadi, mama minta tolong serviskan mobilnya. Karena dekat dari sini, mampir sekalianlah. Mau tanyain presentasimu kemarin." "Oh, begitu ... eh, sebentar tadi yang mau mampir kemari, siapa, Mas?" tanya Nadia seolah tersadar akan satu hal. "Adikku Bryan. Sekalian kalian ngobrolah, nanti kan, dia yang ngatur proyek hotel di Malang, itu." Tin! tin! tin! Yaa Tuhan, kenapa harus bertemu dengannya di rumah ini.Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i
Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia
Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."
Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."
"Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu
"Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga







