LOGINAdelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.
Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?" "Hari ini, sebentar lagi boarding." "Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita." "Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby." "Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia. "Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ." "Iya," jawab Adelia sebelum menutup telepon dari suaminya. Ia menatap layar ponselnya hingga gelap, dihela napasnya melanggar sesak di dadanya. Dua bulan telah berlalu, namun rasa kehilangan akan calon buah hatinya masih tertinggal demikian dalam dadanya. "Del!" panggil Bu Riska, mamanya Adelia. Adelia menoleh ke arah pintu, di mana mamanya melangkah masuk untuk menemui dirinya. "Jadi, Bryan pulang hari, ini?" "Jadi, Ma ...." "Ya, sudah. Kalau begitu, mama akan bersiap-siap dulu. Sekalian temani mama mampir lihat berlian di Bu Candra. Setelah dari situ, langsung ke rumahmu. Supaya enggak kelamaan nanti mama temani kamu nungguin Bryan." "Mas Bryan sendiri yang jemput aku, Ma. Ada yang mau dibicarakan dengan papa, katanya tadi." "Oh, begitu. Ya, sudah kita keluar sebentar belanja sayur dan lauk untuk makan malam. Pastinya kalian akan makan malam di sini, kan sebelum pulang nanti." "Sepertinya begitu, Ma. Ya, sudah aku tunggu mama di teras, kalau begitu." Adelia memasukkan ponsel ke dalam tasnya, kemudian mencangklongkan ke bahu, bercermin sebentar sebelum ia keluar dari kamarnya. 🍁🍁🍁 Malamnya usai makan malam, mereka berempat bercengkrama di ruang keluarga. Bryan membicarakan secara singkat proyek pembangunan hotel yang dirinya terlibat langsung di dalamnya. "Kemungkinan nanti, saya akan sering bepergian ke luar daerah, Pa. Kalau tidak keberatan saya meminta ijin, Adelia tinggal di sini, selama saya tidak ada di rumah. Seperti saat saya pergi ke Jakarta kemarin." "Iya, Nak Bryan. Jangan khawatirkan Adelia, selama Nak Bryan pergi, biar dia tinggal di sini," jawab Pak Alby tersenyum bijak. "Ya, sudah kalian istirahatlah sudah malam. Ada yang kangen berat, itu ... dari tadi ngasih kode ke papa." Bryan menatap Adelia yang wajahnya bersemu merah karena ledekan papanya. "Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa ... Ma ...." Pamit Bryan mengangguk sopan pada kedua mertuanya. Adelia pun segera bangkit dari tempat duduknya, mengeratnya rangkulan lengan kanan di lengan kiri suaminya. . Sesampai di kamar, Adelia langsung memeluk tubuh Bryan. "Aku kangen sekali, Mas. Padahal baru dua hari saja, Mas pergi. Enggak kebayang kalau seminggu, apalagi kalau sampai sebulan." "Kalau sampai lewat seminggu, kamu ikut saja, nanti. Kita bisa sekalian bulan madu," ucap Bryan saraya menyelipkan rambut istrinya ke belakang telinga, mengikis jarak untuk mengecup kening Adelia. Keduanya melewati malam dalam temaramnya cahaya, mengungkapkan rasa rindu terpisah jarak dalam dua hari ini. Bryan memeluk Adelia yang masih satu selimut dengannya. Bayangan Nadia tiba-tiba bergelibat hadir di tengah aktivitasnya bersama Adelia tadi. Dipandangi wajah cantik sang istri, yang telah tertidur pulas dalam rengkuhannya. Teringat saat pertama ia berjumpa dengan Adelia saat acara lamaran digelar. Berselang dua bulan kemudian mereka menikah dengan resepsi yang mewah di hotel berbintang yang ada di kota Malang. Tiga bulan setelah menikahi Adelia, baru ia menyentuh istrinya. Mungkin, Adelia berpikir butuh waktu adaptasi untuk mereka berdua, saling mengenal satu sama lain, sebelum melakukan hal lazim dalam hubungan suami-istri. Tapi, sebenarnya bukan itu, alasan Bryan tak menyentuhnya selama tiga bulan menjadi suami Adelia. Bryan masih setengah hati menjalani pernikahan begitu tahu kenyataan bukan Nadia yang dinikahinya. Hendak protes, dirinya tak bisa mengungkapkan alasan yang sebenarnya, karena itu, sama saja membongkar aib yang ditutupinya selama ini. Lelaki yang dipegang ucapannya, dan dirinya tak bisa mundur karena sudah bersedia menerima perjodohan dengan Adelia. Hidup bersama selama tiga bulan, akhirnya Bryan luluh dengan kebaikan dan perhatian istrinya. Komitmen, sebuah pernikahan harus dia pegang saat memutuskan memulai menjadi suami Adelia seutuhnya. Setahun menjadi suami Adelia, tiga kali harus menyaksikan istrinya berlinang air mata karena harus kehilangan calon bayi mereka. Kehamilan pertama, dokter mengatakan janin tidak berkembang saat Adelia mengalami flek di bulan kedua kehamilan. Kehamilan kedua, tiba-tiba pendarahan ketika seminggu setelah di-testpack positif, dan diperiksa dokter ada kantung janin dalam rahim istrinya. Kehilangan ketiga, yang membuat kedua keluarga besarnya bersedih. Karena sudah banyak agenda dan persiapan untuk menyambut kelahiran calon cucu pertama dari keluarga Narendra dan Albyasa. 🍁🍁🍁 "Mas, mama mengusulkan kita menjalani bayi tabung dengan memakai ibu penganti." "Kalau mau seperti itu, kita harus ke luar negeri, Delia." Pembahasan kedua kalinya mengenai anak dengan istrinya di saat mereka duduk santai di balkon kamar sore itu. "Iya, kita memang harus ke luar negeri, Mas." "Kita masih muda, Delia. Kemarin Mas Devan mengusulkan untuk berobat dulu ke luar, siapa tahu masih ada harapan untuk kita. Tapi, maaf ... belum bisa kita lakukan saat ini." Adelia menunduk dalam, di rumah sebesar ini, ia kesepian saat suaminya berangkat kerja. Dari gadis, Adelia menginginkan jadi ibu rumah tangga dengan memiliki banyak anak, karena dia merasakan jadi anak tunggal tidak enak, kesepian. Secara akademik, nilainya standar saja karena itulah, dia malas membantu papanya di kantor. Mengikuti gaya sosialita mamanya, dirinya juga kurang suka. Hal yang paling disukainya adalah membantu Mak Sum di rumahnya memasak, itupun harus sembunyi-sembunyi ketika mamanya keluar rumah. Sebab, ketika ketahuan dirinya membantu di dapur, ART di rumahnya itu, yang dimarahi oleh mamanya. Bryan meraih tangan istrinya, menepuknya perlahan. "Percayalah rumah ini, akan ramai dengan suara anak-anak nantinya, Sayang. Sudah Mas katanya padamu, kan kita bisa adopsi anak, sebanyak yang kau mau." "Aku ingin anak kita berdua, Mas. Yang mirip denganmu." Ungkap Adelia dengan mata berkaca. Bryan menatap wajah istrinya dengan perasaan campur marut. Apa yang diungkapkan dokter kandungan sebulan yang lalu, bukan hanya mematahkan hati istrinya. Namun juga jiwanya karena setiap Adelia membahas mengenai anak, akan berujung isak tangis yang menyayat perasaannya sebagai suami yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan perasaan istrinya. . NextBryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i
Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia
Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."
Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."
"Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu
"Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga







