Share

BAB. 2 Ternyata Keturunan Pencuri

Hati Jihan semakin sakit mendengar perkataan kedua orang tuanya. Ternyata dia terlahir karena kesalahan kedua orang tuanya.

"Jihan, kamu itu hanya anak haram! Mama tidak pernah sudi mengandungmu! Sejak kamu berada di dalam kandungan Mama. Selalu saja ada hal sial yang menimpa Mama. Jadi kamu jangan sok belagu! Beruntung kamu masih hidup sampai sekarang! Lalu Nyonya Lisda menceritakan bagaimana dulunya dia meminum pil KB agar dapat menggugurkan Jihan tapi tetap tidak bisa.

"Jadi aku anak diluar nikah, Ma?" serunya tak percaya.

"Ya! Tepat sekali! Dulu Papamu mencekoki Mama dengan obat perangsang sehingga Mama tidak tahu sama sekali apa yang dia lakukan kepada tubuh Mama!" Nyonya Lisda mengatakan semua itu sambil menatap suaminya dengan tatapan ingin membunuhnya sekarang juga.

"Hei Lisda! Jangan sok suci kamu! Justru kamu yang mengerang keenakan saat itu!" Tuan Raksa tak mau kalah. Dia juga ikut menyudutkan istrinya.

"Sudah cukup! Pa, Ma! Aku tidak mau dengar apa pun lagi dari kalian. Jika kalian memang ingin bercerai silakan! Aku memilih tidak mau ikut dengan kalian! Aku bisa mengurus diriku sendiri!" seru Jihan marah.

"Bagus kalau begitu keputusanmu, Jihan! Mama memang tidak sudi untuk mengurus anak bejat sepertimu. Pencuri ulung! Benar-benar sangat memalukan! Kamu itu kayak saudara-saudara Papamu! Tukang korupsi di kantornya, pencuri perhiasan di toko emas! Ada juga yang mencuri uang di dalam brankas! Dasar keturunan pencuri!" teriak Nyonya Lisda geram.

Tuan Raka tak dapat berkutik saat istrinya membeberkan semua perangai adik-adiknya yang memang berkelakuan toxic semuanya tanpa terkecuali.

"Papa juga tidak mau mengurusmu! Urusi saja dirimu sendiri! Dasar anak kurang ajar! Jangan-jangan kamu sudah jual diri, ya?" seru Tuan Raka menghina anaknya sendiri.

"Saya tidak pernah melakukan hal bejat itu!" teriak Jihan tak terima dengan perkataan Ayahnya.

"Kamu mau jual diri juga, Mama nggak peduli!" ketus Nyonya Lisda lalu bersiap-siap meninggalkan rumah itu.

"Hei, Lisda! Kamu mau ke mana?" tanya Tuan Raksa kepada istrinya.

"Aku mau pergilah! Mau ngapain lagi aku berada di sini? Sampai jumpa di pengadilan Raksa!" seru Nyonya Lisda lalu pergi dari rumah megah itu tanpa sedikit pun menoleh kepada putrinya, Jihan.

Tak berapa lama setelah itu, Tuan Raksa juga pergi tanpa berkata-kata kepada Jihan. Namun pelayanan yang bekerja di rumah mereka mulai berkata,

"Tuan, tunggu. Bagaimana dengan Nona Jihan?"

"Mana saya tahu, Maid! Tinggalkan saja dia sendiri di rumah ini! Atau titip dirinya di panti asuhan! Sudah-sudah, saya tidak mau tahu lagi tentang Jihan! Anak tak tahu diri! Tahunya cuma mempermalukan kami sebagai orang tuanya!" Setelah berkata seperti itu, Tuan Raksa pun meninggalkan rumah mewah itu.

Jihan memandang kepergian ayahnya dengan hati yang sangat terluka. Dia tak menyangka jika akhirnya kedua orang tuanya meninggalkannya juga.

"Nona Jihan, sabar ya ... Non?" Hanya kata-kata itu yang dapat Maid Ningsih katakan untuk menghibur anak majikannya.

Jihan bangkit dari duduknya dengan dibantu oleh Maid Ningsih.

"Anda tidak perlu membantu saya, Maid. Saya bisa sendiri," tuturnya.

"Apakah benar begitu, Nona?"

"Ya ... Maid. Anda ke dapur saja. Masaklah sesuatu aku sangat lapar," tukasnya sambil memegangi perutnya.

"Baiklah, Nona. Saya tinggal ke dapur dulu," pamit Maid Ningsih.

Sepeninggal Maid Ningsih ke dapur. Jihan mulai berpikir dari mana dirinya mendapatkan uang untuk bertahan hidup.

Gadis itu telah memutuskan untuk tidak lagi masuk ke sekolah mulai esok hari. Jihan takut menghadapi aduan dari teman-temannya karena dirinya yang telah mencuri barang-barang berharga mereka. Bahkan Jihan juga mencuri uang saku mereka.

Uang yang dicuri oleh Jihan telah habis dia pakai untuk foya-foya. Gadia itu lalu merogoh saku bajunya.

"Sial! Uangku tinggal tersisa lima ribu rupiah! Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus mencari cara untuk mendapatkan uang lagi!" seru Jihan jahat dari dalam hatinya.

Gadis itu mulai berjalan mondar-mandir di dalam rumahnya. Dia melihat-lihat barang-barang yang dapat dijual di rumahnya. Namun tidak ada satu pun barang berharga yang dirinya temukan di sana.

Lalu Jihan melihat jika kamar Maid Ningsih yang pintunya telah terbuka. Sekilas terbit senyum misterius dari sudut bibirnya. Gadis itu pun dengan santainya mulai masuk ke dalam kamar.

Jihan segera melangkah menuju lemari Maid Ningsih. Dengan sangat rapi dan terlihat lihai, Jihan mulai memeriksa setiap sudut di dalam lemari itu.

Senyumnya semakin lebar saat Jihan menemukan beberapa perhiasan milik Maid Ningsih.

Dia segera memindahkan semua perhiasan itu di dalam saku roknya. Gadis itu semakin berbinar saat beberapa lembar rupiah berwarna merah juga berhasil dirinya dapatkan.

"Yes! Akhirnya aku dapat banyak! Keren banget sih, gue?" serunya kepada dirinya sendiri.

Agar jejaknya tidak kelihatan Jihan kembali merapikan lemari itu seperti semua. Sehingga Maid Ningsih tidak akan curiga kepadanya.

Dengan langkah santai, Jihan ke luar dari kamar itu dengan wajah tanpa dosa. Dia pun lalu bersuara,

"Maid, aku mau mandi sebentar ya?"

"Oh ... baiklah, Nona. Tapi jangan lama, ya. Masakan saya sebentar lagi matang."

"Beres, Maid!" Lalu gadis jahat itu mengambil tasnya yang ada di bawah lantai dan membawanya serta ke dalam kamarnya.

Sesampai di dalam kamar, Jihan segera mengunci kamarnya dari dalam. Setelah itu dia mengeluarkan perhiasan dan uang yang baru saja dirinya curi. Jihan memindahkan semuanya ke dalam sebuah tas kecil yang dirinya telah simpan di tempat yang aman di dalam kamarnya.

Kemudian gadis itu, menyusun beberapa bajunya ke dalam ransel. Sepertinya Jihan akan kabur setelah ini.

Lalu dengan geram Jihan berkata,

"Raksa! Lisda! Mulai saat ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku akan berjuang untuk hidupku sendiri!" tuturnya dalam hati.

Jihan lalu menyembunyikan ransel itu di tempat yang aman di salah satu sudut kamarnya. Kemudian gadis itu mandi. Sekujur tubuhnya terasa sakit akibat kekerasan yang dirinya dapatkan dari kedua orang tuanya. Bahkan wajahnya sedikit memar akibat tamparan dari ayahnya.

Namun Jihan mengabaikannya, dia juga menahan perih saat luka lecet di tubuhnya terkena sabun dan air.

"Aku harus kuat! Jika bukan aku sendiri yang menolong diriku, siapa lagi?" serunya dalam hati.

Setelah selesai mandi, Jihan pun memakai pakaian baru di tubuhnya. Kemudian melangkah ke luar dari kamarnya menuju ke ruang makan.

Jihan segera duduk di kursi makan lalu memulai makan siang. Sayup-sayup Jihan dapat mendengar suara teriakan histeris dari Maid Ningsih yang berasal dari dalam kamarnya.

Jihan tidak peduli dengan suara tangisan tersebut. Dia tetap melanjutkan makan siangnya dengan sikap tenang dan damai seperti sedang tidak terjadi apa pun saat ini, di sekitarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status