Share

Aplikasi Pasangan

Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa.

 

[Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini]

 

Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini.

 

Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh?

 

"Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. 

 

Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. 

 

"Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur.

 

"Pesan dari siapa? Rentenir?"

 

"Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir WA aku segala. Aku kan bukan tukang utang."

 

"Yah, siapa tau kan ... jaman sekarang banyak, cewek cakep, dandanan selalu cetar kaya Syharini, tapi ... di belakang suami ngutang rentenir. Eh, giliran ...."

 

"Udah-udah, Mas. Ah, jadi ngelantur ke mana-mana." Aku mencebik kesal. "Herman deh, di mana-mana yang banyak omong nya itu wanita."

 

"Kan aku coba ngimbangin. Karena jodoh itu kalo satunya pendiem. Satunya cerewet."

 

"Hilih, pake bawa jodoh. Kita nikah bukan karena jodoh! Tapi karena terpaksa kan? Mas juga terpaksa kan nikahin aku, entah apa alasannya."

 

"Ck. Kamu kan cewek berhijab, La. Masa nggak tahu kalau jodoh itu sudah ada namanya di lauhul Mahfuz. Mau sedetik kemudian Dewa akan ngucap akad, kalau kamu jodohku. Kamu bisa apa? Heh." 

 

"Iya, udah ah. Terserah! Tapi suatu saat Mas juga harus jelasin, kenapa sampai mau nikahin aku! Mas kan juga punya masa dep ...."

 

"Sttth .... udah bahas itu, kamu bilang. Siapa yang barusan kirim pesan?"

 

"Harus kasih tau nih?"

 

"Harusnya. Mana boleh seorang istri menyembunyikan sesuatu dari suaminya?"

 

"Hemh. Benar juga. Apalagi aku istri sholihah."

 

"Nah ...."

 

"Eum, kalau Mas jadi aku ... kira-kira, bakal kasih kesempatan Mas Dewa buat bicara nggak?" tanyaku begitu saja. 

 

Mendadak aku membutuhkan pendapatnya. Ah, cepat sekali berubah pikiranku ini.

 

"Ouh, jadi itu pesan dari Dewa?" tebak Mas Dareen manggut-manggut. "Dan dia minta kesempatan kamu untuk menjelaskan semuanya?"

 

Aku mengangguk lemah.

 

"Heh." Kali ini Mas Dareen tersenyum masam. Dia mengusap bibir merahnya, seperti tengah menahan kesal. 

 

Aku belum pernah melihat wajahnya semarah sekarang. Atau hanya aku saja yang berlebihan menilainya. Bisa jadi dia tidak sedang marah. Tapi hanya menrertawakan kebodohan Mas Dewa? Entah.

 

Yang jelas aku tak berani mengungkit itu lagi. Aneh. Kenapa juga aku begini? Seperti ada sesuatu yang aku dan Mas Dareen ucapkan tapi seolah kami tahu hati masing-masing kami.

 

Sepanjang jalan jadi hening.

 

"Kita sudah sampai." Pria itu tersenyum ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah parkiran. Wah, apa dia sama sepertiku? Setelah marah dan diam, tiba-tiba tersenyum begini.

 

"Hah? Beneran hotel?" Aku celingukan menatap gedung megah di luar sana.

 

"Yah. Sayang aja kalau gak digunakan, aku punya tiket gratis karena jadi tamu istimewa mereka."

 

"Kebetulan sekali." Mataku menyipit ke arahnya.

 

"Hem. Perlu kamu tahu, aku tak pernah menginap di hotel dengan siapa pun."

 

"Cih. Masaaaa," ledekku pada pria yang duduk membeku di depan setir kemudi.

 

"Benar. Jadi kamu harus siap-siap karena menjadi wanita yang pertama." Mata pria itu kembali menyorot serius.

 

"Ish! Gak cocok sama Mas!" Kutimpuk pria itu dengan tas di pangkuan.

 

"Auh!"

 

"Ayok, ah. Cepat keluar!" ucapku sembari membuka pintu mobil, dan keluar lebih dulu meninggalkannya yang masih mangaduh kesakitan. Lagian dari tadi mukanya udah kaya musang nahan pipis. Ngeselin!

 

Namun, baru saja keluar langkahku terhenti oleh kehadiran seseorang di depan.

 

"Kamu kenapa malah bengong di si ...." Sama halnya denganku, Mas Dareen menghentikan langkahnya.

 

"Sorry, Dareen. Aku bukannya bermaksud membuntuti kalian, tapi rupanya Kalila belum menghapus aplikasi pasangan kami." Mas Dewa menyapa Mas Dareen lagi. Menyebut aplikasi pasangan yang pernah kami buat bersama. 

 

Ya, Tuhan. Kenapa aku tak kepikiran menghapusnya. Jelas saja dia bisa menemukan keberadaanku selama aku membawa ponsel.

 

"Boleh aku meminjam Kalila sebentar? Mumpung kita ada di luar rumah, tentunya tak ada pihak keluarga yang bisa jadi alasan." Mas Dareen menyambung kata-katanya.

 

"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?

 

Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?

 

Bersambung

 

Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa.

 

[Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini]

 

Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini.

 

Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh?

 

"Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. 

 

Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. 

 

"Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur.

 

"Pesan dari siapa? Rentenir?"

 

"Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir WA aku segala. Aku kan bukan tukang utang."

 

"Yah, siapa tau kan ... jaman sekarang banyak, cewek cakep, dandanan selalu cetar kaya Syharini, tapi ... di belakang suami ngutang rentenir. Eh, giliran ...."

 

"Udah-udah, Mas. Ah, jadi ngelantur ke mana-mana." Aku mencebik kesal. "Herman deh, di mana-mana yang banyak omong nya itu wanita."

 

"Kan aku coba ngimbangin. Karena jodoh itu kalo satunya pendiem. Satunya cerewet."

 

"Hilih, pake bawa jodoh. Kita nikah bukan karena jodoh! Tapi karena terpaksa kan? Mas juga terpaksa kan nikahin aku, entah apa alasannya."

 

"Ck. Kamu kan cewek berhijab, La. Masa nggak tahu kalau jodoh itu sudah ada namanya di lauhul Mahfuz. Mau sedetik kemudian Dewa akan ngucap akad, kalau kamu jodohku. Kamu bisa apa? Heh." 

 

"Iya, udah ah. Terserah! Tapi suatu saat Mas juga harus jelasin, kenapa sampai mau nikahin aku! Mas kan juga punya masa dep ...."

 

"Sttth .... udah bahas itu, kamu bilang. Siapa yang barusan kirim pesan?"

 

"Harus kasih tau nih?"

 

"Harusnya. Mana boleh seorang istri menyembunyikan sesuatu dari suaminya?"

 

"Hemh. Benar juga. Apalagi aku istri sholihah."

 

"Nah ...."

 

"Eum, kalau Mas jadi aku ... kira-kira, bakal kasih kesempatan Mas Dewa buat bicara nggak?" tanyaku begitu saja. 

 

Mendadak aku membutuhkan pendapatnya. Ah, cepat sekali berubah pikiranku ini.

 

"Ouh, jadi itu pesan dari Dewa?" tebak Mas Dareen manggut-manggut. "Dan dia minta kesempatan kamu untuk menjelaskan semuanya?"

 

Aku mengangguk lemah.

 

"Heh." Kali ini Mas Dareen tersenyum masam. Dia mengusap bibir merahnya, seperti tengah menahan kesal. 

 

Aku belum pernah melihat wajahnya semarah sekarang. Atau hanya aku saja yang berlebihan menilainya. Bisa jadi dia tidak sedang marah. Tapi hanya menrertawakan kebodohan Mas Dewa? Entah.

 

Yang jelas aku tak berani mengungkit itu lagi. Aneh. Kenapa juga aku begini? Seperti ada sesuatu yang aku dan Mas Dareen ucapkan tapi seolah kami tahu hati masing-masing kami.

 

Sepanjang jalan jadi hening.

 

"Kita sudah sampai." Pria itu tersenyum ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah parkiran. Wah, apa dia sama sepertiku? Setelah marah dan diam, tiba-tiba tersenyum begini.

 

"Hah? Beneran hotel?" Aku celingukan menatap gedung megah di luar sana.

 

"Yah. Sayang aja kalau gak digunakan, aku punya tiket gratis karena jadi tamu istimewa mereka."

 

"Kebetulan sekali." Mataku menyipit ke arahnya.

 

"Hem. Perlu kamu tahu, aku tak pernah menginap di hotel dengan siapa pun."

 

"Cih. Masaaaa," ledekku pada pria yang duduk membeku di depan setir kemudi.

 

"Benar. Jadi kamu harus siap-siap karena menjadi wanita yang pertama." Mata pria itu kembali menyorot serius.

 

"Ish! Gak cocok sama Mas!" Kutimpuk pria itu dengan tas di pangkuan.

 

"Auh!"

 

"Ayok, ah. Cepat keluar!" ucapku sembari membuka pintu mobil, dan keluar lebih dulu meninggalkannya yang masih mangaduh kesakitan. Lagian dari tadi mukanya udah kaya musang nahan pipis. Ngeselin!

 

Namun, baru saja keluar langkahku terhenti oleh kehadiran seseorang di depan.

 

"Kamu kenapa malah bengong di si ...." Sama halnya denganku, Mas Dareen menghentikan langkahnya.

 

"Sorry, Dareen. Aku bukannya bermaksud membuntuti kalian, tapi rupanya Kalila belum menghapus aplikasi pasangan kami." Mas Dewa menyapa Mas Dareen lagi. Menyebut aplikasi pasangan yang pernah kami buat bersama. 

 

Ya, Tuhan. Kenapa aku tak kepikiran menghapusnya. Jelas saja dia bisa menemukan keberadaanku selama aku membawa ponsel.

 

"Boleh aku meminjam Kalila sebentar? Mumpung kita ada di luar rumah, tentunya tak ada pihak keluarga yang bisa jadi alasan." Mas Dareen menyambung kata-katanya.

 

"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?

 

Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?

 

Bersambung

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Fyra
biasa saja
goodnovel comment avatar
Yulia Fatma
Alur ceritax bikin penasaran
goodnovel comment avatar
R. Saban
cerita berulang² ,bikin abis koin sj
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status