"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.
Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!
Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga.
"Hahaha."
Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.
Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka.
"Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang.
"Wokeh! Ayo kita lanjutkan misi kita!" ucapnya membuang napas berat. Lalu melompat persis anak kecil.
Ya Tuhan pecicilan sekali dia, aku sampai terkejut dan berhenti tertawa, karena posisinya persis di sampingku.
"Kenapa kamu tak menangkapku?" What? Apalagi itu. "Maksudnya biar romantis gitu kaya di filem-filem, hehe."
Ck. Sudahlah cengengesan. Ada-ada saja pikirannya.
Tak lama, Mas Dareen menunjuk pintu dengan satu tangan, sedang tangan lain terlipat di dada. Posisinya sedikit membungkuk. Sudah persis seperti seorang pangeran yang mempersilahkan seorang puteri.
"Silakan duluan Tuan Puteri." Senyum Mas Dareen sangat lebar. Ia seperti tak memiliki beban dalam hidup. Ah, berapa kali aku mengulang kalimat ini.
Aku hanya geleng-geleng berjalan mendahuluinya ke arah pintu.
"Apa semua gadis Mas perlakukan seperti ini?" tanyaku, yang sadar dia sudah berjalan dekat di belakangku. Meninggalkan kamar kami.
"Hah?"
Tuh kan. Pasti banyak gadis yang pernah diperlakukan semanis ini. Yah, namanya juga bad boy. Pake pura-pura terkejut.
"Apa kamu ingin tahu? Atau sangat ingin tahu?" tanyanya terkesan mengejek pertanyaanku.
"Hiss. Ya, sudahlah. Tak usah dijawab. Lagian tak penting-penting amat untuk aku tahu," sahutku ketus.
"Yah, oke. Baiklah." Lagi-lagi, pria itu meraih tanganku dan menggenggamnya. Seketika mataku melebar.
"Stt. Ada Dewa yang sedang mengintip," bisiknya tak membiarkan aku melepas tangannya.
Ucapannya membuatku sontak mengerutkan dahi. Saat menoleh ke arah kamar Qinara, benar saja pintu kamarnya terbuka separuh, tampak bayangan dada bidang yang menjauh berjalan ke dalam sana.
Apa itu artinya dia memang melihatku tadi? Baguslah. Semakin kecemburuan membakar hati, semakin kami saling membenci semakin cepat pula saling melepaskan diri.
Sakit rasanya mencintai tapi tak bisa berdekatan begini.
Namun, apa iya aku bisa? Mana ada yang bisa menggantikan sosok sempurna Mas Dewa di mataku? Dia terlalu sempurna. Aku bahkan tak yakin dia yang salah dalam hal ini. Namun, kecemburuan memaksaku membencinya.
"Oya, kita akan ke mana?" tanya Mas Dareen di sela langkah kami.
"Hemh? Ke mana?" Aku balik bertanya. Bukannya dia tadi bilang akan mengajakku ke Mall untuk berburu lin ... oh, tidak! Sebentar.
Ini tak bisa dibiarkan. Membeli lingerie, sama saja dengan menyetujui aku tampil di depannya dengan .... ah, tidak. Aku menggeleng menepis pikiran kotorku sendiri.
"Ke Mall? Beli Lingerie?" ceplosnya.
"Ish, nggak. Kita jalan aja. Entah, ke mana. Yang penting orang rumah taunya kita jalan dan gak curiga," sahutku panjang lebar.
"Ke hotel?" bisiknya lagi.
"Ngapain?" tanyaku sambil menarik kepala.
"Hahaha. Kutraktir makanlah. Emang kamu mikir mesum lagi?"
"Hiss!" Aku mencebik. Menarik tanganku kasar.
Bukannya merasa bersalah, pria itu malah kembali tertawa.
"Hahaha."
Sampai di depan mobil, Mas Dareen membukakan pintu lebih dulu, sebelum aku meraih gagang pintu mobil itu.
"Makasih." Aku tersenyum masa ke arahnya.
Ah, banyak hal yang dia lakukan dengan manis. Tapi kenapa hatiku sama sekali belum tergerak untuk menganggapnya sebuah kebaikan.
Mobil terus melaju, suasana dalam mobil yang seharusnya hening karena kecanggungan dua manusia, terasa ramai karena Mas Dareen. Ada saja hal yang dibahas. Ia kemudian terpingkal sendiri karena itu. Sementara aku, hanya mengulum senyum melihat tingkahnya.
"Aku akan membawamu ke tempat yang jauh, Kalila. Sampai tak ada yang mengenali aku dan kamu," racau Mas Dareen kemudian.
"Hah?" Aku melebarkan mata ke arahnya.
Pria itu menyempatkan menoleh padaku, sambil mengerling mata. Menggoda.
"Aku akan menculikmu dan tak akan membiarkan siapa pun mengambilnya kembali!" Apa maksudnya? Apa dia bercanda?
Kutatap sepasang manik hitam milik pria itu. Sejenak. Karena ia kembali melihat ke jalanan setelahnya. Namun, meski hanya sekilas aku bisa melihat keseriusan di matanya.
Di waktu yang sama, suara notif ponselku terdengar. Dengan cepat aku membukannya.
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa.
[Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini]
Dahiku mengerut? Menjelaskan semuanya? Benar juga, kalau dipikir aku belum memberinya kesempatan untuk bicara dan menjelaskan semua dari posisinya.
Bersambung
Bicara jangan? 😁
Enakan diculik Dareen wkwk
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"
"Ap-apa yang ...?" Ucapanku bahkan tertahan sambil memegangi bibir bekas Mas Dareen menciumnya.Ingin marah, tapi ada Mas Dewa di sini. Sangat aneh kalau aku marah dicium oleh pria yang dari kemarin sengaja kubuat tameng untuk memanas-manasi mantanku.Aku juga tak mau pernikahanku dianggap pura-pura olehnya.Tapi ....Kalau nggak marah, Mas Dareen akan merasa besar kepala karena aku membiarkannya menciumku begitu saja. Dan besok-besok pasti diulangi. Oh tidak!Ish, kenapa juga harus menciumku? Sikapnya membuatku bingung!"Pandai sekali kamu mencuri start, Dareen. Cuih!" Mas Dewa mengucap sinis. Aku tahu kini dia benar-benar terbakar!Pria itu pasti tak menyangka kalau aku akan berciuman di depannya. Sesuatu yang mematahkan pikiran Mas Dewa, bahwa aku tak mungkin bermesraan dengan suamiku karena pernikahan kami hanya pura-pura."Ah, sudahlah. Terserah kalian mau ngapain apa pedulik
"Dareen ....""Ya, Nek?""Kamu tahu kan aku tak pernah minta apa pun pada keluargamu?" Wanita yang matanya tengah dipenuhi kaca-kaca itu, tiba-tiba mengungkit masalah pengorbanan.Sesuatu masalah yang besar sedang menimpa keluarga ini. Puteri sulung mereka harusnya menikah. Namun, adiknya tiba-tiba datang mengatakan hamil anak mempelai pria. Tentu saja orang tua mereka bukan hanya malu, tapi juga syok berat.Setelah tadi Nenek terjatuh di depan semua orang, aku segera membopongnya ke mari. Ke kamarnya.Benar yang Nenek katakan, banyak hal yang Papi tawarkan. Namun, Nenek selalu saja menolaknya."Nenek tahu kamu pria baik, karena selama ini kita dekat," katanya lagi.Aku tak menjawab. Entah, apa kemauan Nenek kali ini?"Setahu Nenek kamu tak pernah menjalin hubungan dengan gadis, Dareen." Wanita mengingatkanku pada kebiasaan.Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan para gadis?Aku terlalu sibuk mengurus perusah
Papi mengerlingkan mata. Seolah tengah mengingatkanku sesuatu, sebuah perjanjian dengannya ... bahwa aku harus memberinya seorang anak tahun ini. Kalau tidak ... bukan hanya dipekerjakan jadi Office Boy perusahaan atau dibuang di kali Ciliwung.Ah, itu mah bukan hukuman, masih terlalu mudah untuk kulalui. Yang terburuk adalah ketika Papi akan menikahkanku dengan gadis pilihannya dan memintaku menyerah pada Kalila.Sebenarnya orang tua itu tidak tahu, siapa gadis yang selama ini aku incar. Namun, dia tahu bahwa aku menunggu seseorang. Ah, andai Papi tahu ... Kalila adalah cinta pertamaku.Seseorang yang seringkali mengusik hati ini kala kali pertama menjejakkan kaki di Indonesia. Dan ... perasaanku justru terjaga karena kesibukan.Rasa yang tetap terjaga, karena aku intens melihatnya setiap kali mengunjungi Nenek. Bisa kurasakan debar cinta, meski hanya menatap Kalila dari kejauhan.Lalu keputusanku kemarin, yang mengatakan akan menikahi Kalila dan
"Lagi pula, kamu bilang aku ini buaya bukan? Jadi untuk apa aku menahan diri dan berpura-pura baik di depanmu?" ucapku tenang."Apa?" Mata wanita melebar sempurna."Aku memutuskan untuk mengikuti semua ucapanmu Kalila."Gadis itu benar-benar tampak ketakutan. Melihatnya demikian, justru membuatku semakin tertantang untuk menyentuhnya."Padahal sebelum ini, aku ingin jadi pria baik-baik untukmu. Tapi ... kamu malah memintaku jadi buaya. Sayang sekali." Kuusap pelan kerudung perempuan cantik yang tampak tak berkutik di sisi ranjang."Mas aku ...." Raut protes terlihat jelas di wajah wanita yang kini wajahnya begitu dekat.Ya Tuhan, Kalila benar-benar cantik dari jarak sedekat ini. Sesuatu yang awalnya kuniatkan menggodanya dan tak serius, kini berubah menjadi keinginan menggebu yang datangnya nyaris tanpa kusadari. Aku menginginkannya."Sttt ... bukankah kits sudah menikah, Kalila? Aku dan kamu sudah cukup dewasa untuk melakukan ini," u