Share

Aku Siap Kembali

Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.

Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.

Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.

“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.

Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan bandul huruf ‘K’.”

“Terimakasih banyak Pak, saya permisi.”

“Silahkan,” ucapnya ramah sembari membukakan pintu keluar.

Aku melenggang dengan gembira, kalungnya benar-benar cantik, sebelum pergi sengaja kupasangkan, selama menikah aku belum pernah memakai perhiasan.

[Kamu dimana?]

Pesan dari Atha, baru saja masuk.

[Baru selesai dari bank, mau mencari kontrakan rumah.]

Wajahku mengerut karena dia malah membalas pesan dengan mengirimkan lokasi, [Aku di sini datanglah segera!]

“Heum …! ya sudahlah,” aku pun menunda rencanaku untuk mencari rumah kontrakan dan pergi ke lokasi yang Atha berikan, mungkin saja dia membutuhkan mobilnya.

“Nggak salah? kenapa alamatnya berhenti di sini? dimana Atha?” aku celingukan melihat keluar, barang kali saja tuh anak nongol di dekat sini.

Dari dalam sebuah rumah Atha melambaikan tangannya, “Sedang apa dia di rumah itu?”

Dia pun berlari membukakan pintu gerbang, aku masuk dan memarkir mobil di halamannya.

“Ayo, masuk,” ucap Atha mendongak di pintu mobil.

“Rumah siapa?” tanyaku.

“Masuk saja,” tariknya.

Di dalam rumah ada seorang perempuan berpenampilan rapih tersenyum ramah, “Silahkan di lihat-lihat Ibu, rumah ini di desain oleh salah satu Arsitek terbaik di Indonesia, mengusung tema rumah minimalis yang elegant, sangat cocok untuk di tempati oleh pasangan baru,” ucapnya.

“Pasangan baru?” aku melirik Atha dan tak tahan menahan tawa.

Sesaat Atha memandang, kemudian membalikkan tubuhku untuk kembali mendengar penjelasan sales tersebut.

Kami diajak berkeliling melihat fasilitas yang telah di sediakan oleh rumah ini, semuanya hampir lengkap dengan penataan yang aku suka.

Aku menarik lengan Atha dan memintanya merendah karena akan berbisik, “Sebenarnya ini rumah buat siapa?”

“Bukannya kamu sedang mencari rumah untuk tinggal?" sahut Atha tak kalah berbisik.

“Mana cukup uangku untuk membeli rumah ini, ayo kita pergi saja,” sengaja kutekankan kata itu sebelum terlanjur pada penawaran harga, akan sangat malu kalau sudah banyak bertanya malah tidak jadi karena uangnya tidak cukup.

“Hm …!” si ibu berdehem, aku pun segera fokus kembali padanya sambil melebarkan senyum.

Pelan, tanpa memalingkan wajah dari si ibu, aku terus menarik-narik baju Atha agar kami bisa pergi. Tapi dia tidak mendengar dan malah maju semakin depan untuk mendengarkan penjelasan si ibu.

“Jadi bagaimana, apakah Bapak dan Ibu menyukainya?”

“Tidak,” jawabku cepat.

“Iya Bu, saya sangat menyukainya,” jawab Atha.

Aku kembali menarik tubuhnya, “Sudah kubilang uangku tidak cukup Atha!”

“Kamu bisa berhutang padaku selamanya, atau temani aku selama sebulan, maka hutangmu lunas,” ucapnya santai.

Apa-apaan anak ini, berhutang selamanya? atau menemaninya selama sebulan? sehari hari saja sudah kaya Tom and Jerry apalagi sebelum?

“Nggak Bu, kami tidak …,”

‘Bup’

Atha berdiri di belakang dan menutup mulutku dengan tangannya.

“Saya akan selesaikan pembayarannya di kantor, terimakasih untuk hari ini,” ucap Atha.

"Hm …, Hm …,"

Aku hanya bisa menggeram, saat sales itu berpamitan dan pergi lebih dulu.

“Athaaaaaaa!” teriakku membuatnya terhenyak, “aku tidak mau berhutang padamu selamanya, apalagi menemanimu selama sebulan!”

“Kenapa? aku sangat tampan dan bisa mengajakmu kemana saja,” ucapnya dengan bangga.

‘Bugh!’

Kupukul saja tubuhnya dengan tas yang sedari tadi kubawa.

“Kalau kerjaanmu hanya menghamburkan uang, kapan kamu bisa menikahi anak orang!” sentakku, “mana mau si Talita menikahi laki-laki boros kaya kamu!” cercaku lagi.

Atha mengerutkan wajahnya, “Siapa yang mau menikah dengan Talita,” jawabnya pelan sambil mengelus puhu lengan yang aku pukul.

“Sudah, ayo kita pergi, rapihkan dulu dirimu, kamu itu kebanyakan mikir pengeluaran makanya sampai punya penampilan kaya gini,” Atha mendorong tubuhku keluar rumah.

“Memangnya ada apa dengan penampilanku?” aku berbalik dan berdiri tegap di hadapannya.

Atha tidak menjawab dan hanya mendorongku ke samping sebelah kanan, “Lihat di kaca? siapa itu?” tanyanya.

Pertanyaan apa itu? sudah jelas ini aku.

“Kamu tidak melihat seorang perempuan penuh lemak, tidak terurus, lemah, sedang berdiri di depan cermin?” perkataan Atha membuatku memperhatikan setiap lekuk tubuhku di sana. Kemudian sekelebat tubuh perempuan langsing, rapi dan energik berdiri di sampingnya.

“Lihat dengan baik dirimu yang dulu di cermin itu, apakah kamu tidak mau seperti itu lagi? orang-orang di luar sana yang tidak tahu akan kehidupanmu, mereka tidak bisa melihat betapa cantiknya dirimu dari dalam, yang mereka lihat hanya penampilan selintas dari luar, kalau kamu ingin dihargai orang, setidaknya berpakaianlah yang rapih dan jaga penampilanmu, dengan begitu kamu bisa memperlihatkan pada mereka betapa cantiknya kamu dari dalam,” ucapan Atha menghujam dalam sanubari, hatiku meronta, karena selama ini aku tidak pernah melihat diriku secara keseluruhan lagi di cermin.

“Tanda bersyukurmu pada Allah akan tubuh ini, maka pelihara dan rawatlah sebaik-baiknya.”

Aku tertegun melihat kerendahan diriku di cermin, pantaslah orang-orang di kantor itu membully ku, aku memang pantas mendapatkannya.

“Aku ingin jadi diriku lagi,” gumamku pelan.

“Bagus, sekarang kita berangkat,” jawab Atha, langsung melangkah.

“Kemana?”

“Permak dirimu, ayo!” tangan Atha terjulur di hadapanku.

Aku tersenyum menyambut tangannya, dan kami pergi ke sebuah salon besar, dilayani dengan beberapa orang bak ratu Inggris yang sedang menikmati perawatan, tidak ada yang terlewat, semua hal dari tubuhku di bersihkannya. Namun, tidak kulihat Atha sedari tadi, kemana lagi anak itu? ya sudahlah tidak apa-apa mungkin dia merasa kesal.

“Selesai Mbak, tinggal menata rambutnya,” ucap salah satu pegawai, ia pun kembali mendudukanku di depan cermin, menyerahkanku pada pegawai lainnya, matanya terus menimbang agar bisa memberikan bentuk rambut yang cocok dengan bentuk wajah ini.

Setelahnya, aku bahkan dihias natural agar tidak terlihat pucat atau malah terlihat ketuaan karena salah pake make up, pegawai itu memberiku saran setiap jenis make up dan warna yang harus aku pakai kedepannya.

Atha datang dan menjatuhkan banyak barang dikursi, “pakai!" ucapnya sambil ngos-ngosan.

“Kamu membeli ini semua?” dahiku mengerut.

Atha mengangguk pelan.

“Athaaaaaaa!” teriakku pelan, karena banyak orang memperhatikan kami.

"Bagaimana aku bisa membayarnya?” gumamku dengan suara menggema, Atha pura-pura tidak mendengar, dan malah mendorongku ke ruangan ganti.

Setelah beberapa menit di dalam ruang ganti, aku mencoba keluar dan memperlihatkannya pada Atha.

Matanya terbelalak lebar, begitu pun dengan orang-orang yang ada di sekitar, “Ok, mari kita pulang,” ucapnya sembari membawa semua barang yang dibelinya.

“Athaaa …, Athaaa …., aku malu, kenapa semua orang malah memandangku sekarang?” ucapku lirih, mengejar dia yang sudah berjalan di depanku.

Atha berhenti, lalu memperlihatkanku lagi pada sebuah cermin besar yang ada di salon itu, “Karena mereka melihat ini,” ucapnya berbisik di telinga.

Mataku tak kalah terbelalak seperti mata Atha sebelumnya, perempuan di cermin itu sangat cantik, aku bahkan tidak percaya kalau aku masih bisa secantik dulu.

“Aku siap untuk kembali bekerja di perusaan Mas Haidar,” jawabku lantang, “Aku akan membutikan pada mereka siapa perempuan yang telah mereka hinakan sebelumnya,” tekadku bulat, memandang mata Atha yang berbinar.

Atha hanya tersenyum, melihat energikku kembali. Lalu berjalan disampingku, aku tersenyum ramah pada setiap orang yang memandang, kini kepercayaan diriku kembali, aku bukan lagi Kirana yang bisa dilecehkan karena penampilan, aku adalah Kirana yang bisa membuat semua orang bangga, dan membuat Mas Irawan menyesal telah menyisihkanku dengan sia-sia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status