Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.
Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah yang tidak terduga, aku sangat menyukainya, meskipun tinggal sendiri tetapi perumahan warga disekitarnya cukup padat, sehingga aku tidak perlu takut.Suara gaduh di lantai bawah membuatku menengok, banyak orang-orang masuk membawa berbagai furniter, siapa yang memesan itu semua?Aku segera turun dan melihat keadaan.“Sebelah sini, Pak,” suara Atha sibuk mengarahkan para pegawai di luar sana.“Astagfirullah Atha? apa lagi sekarang? kenapa dia membuatku banyak berhutang?”Sudah! malas sekali aku menghampirinya sekarang, dia tidak mungkin mendengarkanku.Aku hanya duduk di tangga yang menuju lantai dua, melihat Atha dan pegawai itu menata ruangan.“Di sini saja Pak, geser sedikit ke kanan, ya pas,” Atha masih sibuk mengatur tata letak penyimpanan semua barang.Dalam waktu 1 jam, rumahku yang lapang berubah menjadi sesak. Mulai dari ruang tamu, ruang tengah, dapur, kamar tidur dan kamar mandi, semua sudah dipenuhi furniture dan barang-barang eletronik. Jadi, dia menghilang beberapa jam yang lalu itu, hanya untuk ini?Aku tak habis pikir, sejak kapan anak itu menjadi pria yang banyak uang? dua tahun lalu dia memang bekerja, tapi jabatannya masih dibawahku, jangan-jangan dia menjadi pekerja yang nggak jujur hingga menghasilkan banyak uang?Yasalam, nggak mungkin. Aku segera menepis pikiran negatif itu.Aku menghampiri Atha yang sedang membuka banyak makanan di atas meja makan, “Jadi kamu yang pilih semua furniture rumah ini? ini rumahku loh Tha?” selorohku di sampingnya, “Kamu punya banyak uang dari mana?”“Siapa bilang ini semua aku yang bayar,” jawabnya santai.“Terus siapa?” tanyaku heran, nggak mungkin kan aku yang bayar? rumah ini saja dilunasi olehnya.“Ya kamulah, sebentar lagi kamu kan kerja, setiap bulan gajihmu kupotong 50%," jawabnya lagi tanpa beban."Gila kamu Tha, belum jelas juga kerjaanku dibagian apa? gajinya berapa? berapa tahun aku bisa bayar ini semua?” mataku melotot, tapi Atha malah fokus motong apel.“Athaaaaa …., kalau ini semua harus aku juga yang bayar, kenapa semua selera kamu?” bentakku lagi.“Karena seleramu jelek Kiran, lihat saja caramu memilih Irawan sebagai suami," ucapnya lagi.Lihat caranya berbicara, tidak ada rasa bersalah ataupun menyesal.Aku menggebrak meja, berjalan cepat ke kamar.“Bukan seleraku yang jelek, tapi gara-gara surat ini!” aku melempar surat itu ke atas meja, “gara-gara surat itu aku langsung jatuh cinta pada orangnya tanpa melihat, tanpa kukenal, hingga aku mengira Mas Irawan adalah orangnya,” emosiku membuncah.Atha terlihat memandangi surat itu, dan mencoba meraihnya, tapi secepat kilat aku mengambil dan hendak menyobeknya, “Cinta dia palsu. Harusnya, kalau benar apa yang diungkapkannya di dalam surat itu, dia harus berani menemuiku, menghalangiku untuk menikah dengan Mas Irawan. Tapi, mana? dia hanya diam ketika aku menikahi pria yang salah, kemana dia sekarang? dia menyimpan benih cintanya di hatiku dan membiarkan orang lain membunuhnya!”‘Srk …, Srk …, Srk ….’Secepat kilat surat itu menjadi sobekan kertas, dan kutinggalkan begitu saja, aku sudah tidak bisa menahan air mata dan segera masuk ke dalam kamar.Menyebalkan! kenapa aku harus mengingat betapa jahatnya Mas Irawan sekarang.‘Bugh …, Bugh …, Bugh ….'Aku memukul-mukul dada untuk menghilangkan rasa sakit dan perih atas apa yang telah dilakukan Mas Irawan padaku, semakin hari, sakitnya malah bertambah perih saja.Ponselku tiba-tiba berbunyi, aku menengok, yang memanggil nomor baru.[Hallo][Selamat sore Bu, saya Gunawan, pengacaranya Mas Irawan, beliau mengajukan gugatan perceraian kepada Ibu Kirana, di mana saya bisa menemui Ibu] tanyanya.[Saya akan mengirimkan lokasinya] jawabku pelan, lalu menutup panggilan.Mas Irawan benar-benar sudah tidak ingin berurusan denganku, cepat sekali ia mau menceraikanku, padahal aku pergi baru dua hari saja.Tiga puluh menit kemudian suara bel berbunyi, aku bersiap dan memakai sedikit riasan agar tidak terlihat sudah menangis, ternyata Atha sudah membukanya lebih dulu.“Silahkan tanda tangan surat gugata ini Bu,” ucapnya sembari menyodorkan selembar kertas yang di simpan di atas map berwana biru, “Selain itu, Mas Irawan tidak ingin ada mediasi dan gugatan yang lain di pengadilan, bagi beliau, dengan ditanda tanganinya surat ini berarti pernikahan Mas Irawan dan Ibu Kirana sudah berakhir, Ibu Kirana tidak berhak mendapatkan apapun dari harta kekayaan selama bersama Mas Irawan, karena Ibu Kirana sendiri yang memilih untuk pergi."Percaya diri sekali dia mengatakan hal itu, harta apa yang dimaksudnya tidak berhak kudapatkan? apa mungkin selama ini dia menyembunyikan kekayaannya dariku?“Tanda tangani saja?” senggol Atha yang sedari tadi memperhatikan kami.Aku berbisik di telinga Atha, “Apa mungkin dia banyak menyembunyikan harta di belakangku selama ini?”Atha menatapku sekilas, lalu kembali berbisik, “Apakah kamu mau direndahkannya lagi dengan memperebutkan harta itu? dan lagi aku tidak yakin, mungkin saja itu hanya gertakan agar kamu ragu untuk bercerai darinya, bukankah dia akan kehilangan jabatannya yang sekarang? kalau kalian tidak jadi bercerai, dia pasti akan merayumu lagi untuk berbicara pada Mas Haidar agar bertahan di posisinya sekarang, atau malah minta di naikkan jabatan karena kamu mengenal mereka.”Benar juga apa yang dikatakan Atha, “Baik, saya tanda tangan ini, bagi saya Mas Irawan dan hartanya bukan hal baik yang harus saya pertahankan,” jawabku sembari membubuhkan tanda tangan di atas materai perjanjian itu.Pengacara itu keluar dengan wajah masam, ada apa dengan dirinya? perlahan aku mengikuti dan melihat gerak-geriknya, dia sedang melakukan panggilan bersama seseorang dengan menggunakan pengeras suara.[Hallo Pak.][Ya, bagaimana?][Gagal Pak, dia menandatangi perceraian ini tanpa berpikir, dia tidak terjebak dengan rencana kita.][Ah sial!] suara Mas Irawan terdengar jelas. [Perempuan tidak berguna itu membuatku pusing! aku baru saja dipanggil oleh Pak Haidar, dia menurunkan jabatanku menjadi operator! dan kenapa rencana ini juga bisa gagaaaal! Aaaarrrg!] teriakannya semakin nyaring terdengar keluar.Aku melongo mendengar semua percakapan itu, Mas Irawan masih mau memanfaatkanku hanya untuk kepentingannya saja, cocok sekali kalau besok aku bisa mengejutkannya di kantor, aku akan segera menghubungi Mas Haidar untuk masuk kerja di kantornya“Tunggu aku Mas,” bisikku dari belakang pintu dengan senyum kemenangan.Bersambung ...Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Sepanjang perjalanan aku gelisah, sosok wajah Atha terbayang-bayang, ada apa dengannya hingga ia tidak bisa lagi mengangkat panggilanku?Sampai di depan rumah aku langsung berlari, mobil Atha sudah terparkir di halaman, “Mbak, ongkosnya belum?” teriak sopir taksi.“Astagfirullah, maaf Pak,” aku segera kembali dan mengeluarkan beberapa lembar uang, “kembaliannya Mbak?” teriaknya lagi, “Ambil saja Pak.”Di dalam rumah aku celingukan, dimana anak itu, berlari ke ruang tamu tidak ada, ruang makan sampai kamar pun tidak ada, apakah mungkin dia ada di lantai atas? aku pun segera menaiki tangga ke atas tapi tetap saja tidak ada.“Di mana kamu Tha?” aku meronggoh ponsel dan memanggil nomornya, ponselnya berdering nyaring di ruangan tengah, “tadi sudah kucek tidak ada Atha?” tanyaku dalam hati.Aku mengendap-endap mendengar bunyi ponsel itu, sebuah kaki menjulur di balik kursi, “Astagfirulllah Atha!” aku segera menghambur, dan membalikkan tubuhnya yang telungkup.Wajah Atha pucat dengan luka l
'Kriiiing …, kriiiiing …, kriiiing ….’‘Slup’Tanganku meraba jam beker yang terus berbunyi di atas nakas kecil di samping tempat tidur.“Kiran …,” lamat-lamat aku mendengar suara seperti mimpi memanggil.“Lima menit lagi,” jawabku malas.“Kiran, kamu nggak shalat subuh? ini sudah mau pukul 06.00,” suara itu lebih jelas terdengar, tapi tetap seperti sayup-sayup mimpi, suaranya lembut dan hangat.“Ah, mana mungkin jam beker baru saja berbunyi, aku menyetelnya jam 04.30, kamu jangan berbohong,” jawabku nyengir dengan mata masih sulit terbuka.“Iya, kamu nyetelnya jam segitu, tapi tiap 5 menit kamu tunda,” sekarang sudah jam 06.00," ucapnya lagi.“Mana mungkin?” aku meraba jam yang sudah dimasukkan ke dalam bawah bantal. Sekuat tenaga membuka mata yang berat agar terbuka, mungkin karena semalam aku sulit tidur dan kepikiran Atha terus.Mata terbuka perlahan, remang-remang kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06.05, “Astagfirullah,” sontak aku mendorong lelaki yang sedang duduk di samping