"Memilikimu memang bukan sesuatu yang menjadi kenyataan bagiku. Namun hari ini, bersama sisa-sisa cintaku yang masih belum berubah sedikitpun aku ingin dirimu tetap tinggal walau tanganmu tak dapat kujamah."
Di meja makan ayah dan ibu Tania sudah ada, Bimo pun sudah menunggu kapan ibunya akan mengambilkannya nasi. Satu per satu wajah ayah dan ibunya ia pandangi.
"Ada apa? Mengapa Ayah dan Ibu kelihatan sedih?"
Ayah dan ibu terkejut mendengar pertanyaan Bimo yang seketika langsung membuyarkan lamunan mereka. Sang ibu lalu terburu-buru menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuk putranya.
"Apakah Ayah dan Ibu memikirkan Ka Nia?"
Tak satu pun dari ayah ataupun ibunya yang merespon pertanyaannya. Ayahnya menunduk, ibunya berusaha menyembunyikan raut wajah sedihnya.
"Setelah makan kita telpon Ka Nia. Sekarang makan dulu, Nak," kata ibu mengalihkan pembicaraan. Bimo mengangguk lalu mengajak ayah dan ibunya berdoa.
Tanpa disuruh, Bimo tahu tugasnya sebelum dan sesudah makan. Ayah dan ibunya memang memberinya tugas untuk memimpin doa sebelum dan sesudah makan agar ia terbiasa sejak dari rumah.
"Tuhan, terima kasih untuk segala berkat-Mu sepanjang hari ini. Berkatilah makanan ini agar berguna bagi kesehatan jiwa dan raga kami. Lindungi juga ka Nia yang sudah pergi jauh dari kami. Semoga Engkau selalu melindunginya di tempat orang. Nama-Mu kami puji, kini dan sepanjang masa,,, ."
"Amin," jawab kedua orangtuanya.
Seusia kelas empat SD, Bimo telah diberi kepercayaan untuk mengasah kemampuan doanya di rumah. Wajar jika susunan doanya sudah mulai teratur dan sudah jelas maknanya karena sejak masih berusah Taman Kanak-Kanak ia sudah diajari cara berdoa sebelum dan sesudah makan oleh ayah dan ibu, juga kakaknya Tania.
* * * * *
Mega meraih kertas putih itu dengan wajah penuh tanda tanya. Ia melirik ke arah Kevin, seolah-olah bertanya pada Kevin kertas apa yang ia pegang saat ini. Di sana, Tania duduk dan melayangkan pandangannya pada bingkai foto pada dinding kamar.
"Dia ada disini, Mega."
Raut wajah Tania kini berubah. Jelas tampak kelopak matanya membendung begitu banyak air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
Mega memberikan kertas itu kepada Kevin lalu dengan cepat bergerak mendekati Tania. Dengan penuh rasa iba, Mega memeluk erat sahabatnya itu.
"Kami turut berduka, Tania. Maaf kami gak bisa temenin kamu waktu nganterin jenazah Mike."
Tania tak menjawab apapun. Pipinya kini sudah mulai dibasahi oleh air mata.
"Mike masih disini. Ia akan selalu menemaniku."
Untuk kedua kalinya Tania menyebutkan kalimat itu. Di sana Kevin serius membaca dan berusaha memahami satu per satu setiap kalimat yang tertulis di kertas putih itu.
"Ini tulisan Mike sendiri gak sih?" Tanya Kevin heran.
"Kok bisa, Tania?"
Mega mengelus pundak sahabatnya sama seperti yang sering dilakukan oleh ibu Tania.
"Kertas itu aku dapet di tasku, Vin. Aku gak tahu itu tulisan Mike sejak kapan."
Tania memiringkan kepalanya lalu membiarkan Mega memeluknya.
"Kertas itu ada di tasku pas aku udah tiba di Ambon, di rumahku minggu kemarin."
Kevin mengembalikan kertas itu ke tangan Tania. Seluruh tubuhnya merinding mendengar apa yang dikatakan Tania.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi sedangkan Mike telah tiada? Isi tulisan itu jelas seperti sebuah penyesalan karena harus meninggalkan Tania seorang diri. Itu artinya puisi itu ditulis oleh Mike setelah kepergiannya. Setelah ia sudah meninggal.
"Pas tiba di rumah aku keluarin semua pakaian kotorku selama di kampung Mike. Terus aku dapet kertas itu dalam tasku, di antara pakaian-pakaian kotorku."
Tania menangis. Air matanya bebas mengalir membasahi pipinya. Mega tak sanggup berkata-kata, ia hanya memeluk dengan erat sahabatnya itu. Begitu juga Kevin. Rasa tak percaya masih jelas menghiasi wajahnya.
"Kok bisa kayak gitu ya? Bukannya itu berarti...." Berulang kali Kevin bergumam dalam hatinya. bertanta-tanya tentang keanehan yang dialami Tania.
"Dia masih disini, Mega. Dia masih disini bersamaku. Dia mencintaiku. Dia tak akan meninggalkanku."
"Terus, kamu mau sendirian terus? Gak mau nyari lagi pasangan baru buat gantiin Mike?" Tanya Mega spontan.
Mega ingat betul kejadian di kamar mayat waktu itu. Tania bersih tegang untuk tetap menikahi Mike meski kekasihnya itu sudah terbujur kaku dalam raga tak bernyawa. Andai saja ibunya tak mencegahnya, apa yang dikatakan Tania benar adanya. Ikatan yang telah mereka lakukan pasti akan terus membuat arwah Mike terus mengikuti Tania.
"Aku gak tau sih harus gimana. Pintu hatiku tuh seolah tertutup untuk cinta yang lain. Aku cuma menginginkan Mike. Dia satu-satunya lelaki yang berhasil membuat aku percaya dan merasakan kehadiran cinta dalam hidup aku. Perjuangan dia buat dapetin cinta aku aja gak mudah."
Mega dan Kevin hanya diam dan mengangguk. Sejenak terlintas peristiwa dimana Mike mengungkapkan perasaannya pada Tania waktu itu.
"Aku emang sering ngecewain dia, mengabaikan dia namun dia gak pernah nyerah. Aku ngerasa aku gak akan bisa dapetin cinta yang lain seperti cinta Mike ke aku."
"Semuanya terserah kamu aja Tania gimana baiknya. Yang jelas kami bakal selalu dukung sama semua keputusanmu."
Tania mengusap air matanya lalu tersenyum, meskipun senyumnya sama sekali tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Terima kasih, Mega. Aku bangga punya sahabat kek kalian. Aku akan baik-baik aja. Mike selalu temenin aku."
Seketika suasan kamar Tania kembali hening. Tania masih menyeka air matanya.
"Eh, terus gimana sama kalian? Kapan Kevin akan bawa kamu ke Flores?" Sambil setengah tertawa Tania mengalihkan pembicaraan.
"Hehehe, kalau itu sih tanya aja langsung ke si pangeran. Aku sih udah siap lahir dan batin," sahut Mega cepat sambil melirik ke Kevin.
"Tunggu aja kabar baiknya, Tania. Tabunganku belum cukup. Aku gak mau bebanin semua ke orangtua aku. Aku harus biayain sendiri pernikahan aku sama Mega. Mike yang udah ngajari aku semua ini," timpal Kevin sambil merekahkan senyum manis di bibirnya.
"Baiklah. Aku nunggu kabar baiknya. Sukses untuk kalian berdua, Bu Guru Muda dan Pengusaha Muda, hehehehe," Tania mengajak kedua sahabatnya untuk tertawa.
Sejenak mereka melupakan kesedihan yang masih mereka rasakan. Entah sudah berapa jam mereka terlarut dalam kesedihan. Mereka bertukar cerita tentang kesibukan mereka masing-masing.
"Sesekali mampir ke cafe dong. Aku nunggu kamu di sana ya."
* * * * *
"Ayah dan Ibu hanya khawatirkan keadaan Ka Nia. Kalau Bimo sudah tumbuh dewasa, Bimo yang akan gantikan Ayah dan Ibu untuk menjaga Ka Nia," kata ibunya memulai percakapan. Bimo hanya tersenyum dan mengangguk.
"Apakah kamu bisa, Bimo?" Tanya ibunya lagi.
"Tentu saja, Bu. Ka Nia akan aman."
Ayah dan ibu tertawa kecil mendengar jawaban spontan dari putra semata wayang mereka.
"Pacar ka Nia mengapa meninggal, Bu?"
Bagai disambar geledek, ayah dan ibu mematung dan saling memandang satu per satu. Apa yang harus mereka katakan untuk menjawab pertanyaan anak yang masih berusia sepuluh tahun ini?
"Bimo, hidup dan mati kita itu Tuhan sudah mengaturnya. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan meninggal."
Dengan penuh hati-hati sang ibu dengan sabar berusaha menjelaskan kepada Bimo.
"Pacar ka Nia meninggal karena kecelakaan," lanjut sang ibu.
"Kasihan a Nia, Bu. Bimo sering lihat ka Nia memandang dan berbicara sendiri dengan foto pacarnya."
Ayah dan ibu menarik napas panjang mendengar apa yang baru saja dikatakan Bimo, putra mereka.
"Karena itulah Ayah dan Ibu khawatir,,, ."
"Khawatir itu apa, Bu?" Potong Bimo.
"Khawatir itu seperti takut, ragu, tidak percaya kalau ka Nia bisa menghadapi ini sendirian."
"Kata ka Nia, ka Nia bisa, Bu."
"Hehehe, iya Nak. Ka Nia bisa menghadapi ini. Kita doakan yang terbaik untuk ka Nia. Semoga ka Nia baik-baik saja,"
"Amin."
"Dan aku merindukan keluargaku: merindukan ibu, ayah dan juga adikku yang berada di kampung"Suasana rumah ibu Icha begitu ramai siang ini. Banyak pekerja pabrik yang mampir untuk makan siang. Tania sudah kembali dari tugas penelitiannya—sedang duduk bersama ibu Icha, pak Ujad dan juga si Hari yang baru pulang sekolah. Mereka sudah siap untuk makan bersama siang—inimenikmati nasi kuning buatan ibu Icha dan merayakan ulang tahun Tania.Tania mengatupkan tangan, membuat tanda salib lalu berdoa sebelum makan. Handphonenya tiba-tiba berdering sesaat, menandakan sebuah pesan masuk.Tania meraih dengan cepat setelah berdoa, membaca dan langsung memencet item bergambar video pada layar. Tetapi orang yang ia video call tak menjawab teleponnya. Ia meletakann kembali handphonenya. Mungkin Mike sedang sibuk, pikirnya."Sok eneng, diambil nasinya. Maaf yah eneng, ibu cuman bisa masak nasi kuning doang," kata ibu Icha menawarkan Tania untuk mengambil nasi."Terima kasih, Bu. Ini sudah sangat istim
"Aku ingin menjadi yang paling hangat bagimu. Aku ingin menjadi yang paling tenang di telingamu"Seperti biasa Tania bangun dan membantu ibu Icha di dapur—menyediakan sarapan bagi mereka sendiri dan juga untuk jualan ibu Icha hari ini. Hari ini ibu Icha menyediakan sebuah menu spesial. Ibu Icha memasak nasi kuning untuk makan siang mereka.Tadi malam ketika sedang duduk menonton televisi, Tania sudah mengatakan pada ibu Icha bahwa ia akan berulang tahun besok. Tania memberikan selembar uang seratus ribu kepada ibu Icha untuk membeli keperluan masak. "Tania gak bisa bantuin ibu ya, Tania mau siap-siap pergi dulu bu," kata Tania setelah selesai mengupas bawang."Iya eneng, ibu mah teu nanaon. Enang pergi aja. Nanti siang baru kita makannya rame-rame ya," jawab ibu Icha.Tania lalu bergegas ke kamar, menyediakan buku-buku dan beberapa lembar kuisioner untuk penelitiannya. Ia akan melanjutkan penelitiannya ke beberapa rumah yang belum ia singgahi kemarin.Baru saja Tania melangkahkan kaki
"Mendoakanmu adalah caraku memelukmu dari kejauhan"Mike tengah duduk di meja piketnya. Ia meraih handphonenya dan membaca sebuah pesan dari Kevin - sebuah foto selfie dirinya dan Mega sedang duduk di meja makan.Mike tersenyum membaca caption yang ditulis sahabatnya itu. Pikirannya menerawang jauh ketika memandang bangunan tinggi lainnya di seberang jalan.Sebentar lagi Tania berulang tahun. Hanya tersisa hitungan jam saja namun gadis itu sedang tak berada di Jakarta. Mereka dipisahkan oleh jarak dan waktu."Apa kabarmu hari ini, Tania? Semoga harimu menyenangkan. Semangat, kamu tidak sendiri. Doaku selalu bersamamu. Aku merindukanmu."Mike memainkan jarinya pada layar lalu mengirimi Tania sebuah pesan. Dengan begitu percaya dirinya ia mengungkapkan kerinduannya padahalnya, gadis itu masih belum resmi menjadi kekasihnya. Sebentar lagi. Tunggu saja.Mike lalu menelepon Kevin, sahabatnya yang sedang berdua bersama kekasihnya, Mega. "Halo, bro. Jangan iri ya. Kami tidak bisa mengajakmu,
"Genggam erat tanganku dan jangan kau lepas. Aku akan semakin mencintaimu setelah ini. Percayalah."Pagi-pagi sekali Tania sudah bangun, membantu Ibu Icha memasak di dapur. Selain menyiapkan sarapan untuk pak Ujad suami ibu Icha dan Adhari anaknya, mereka juga masak untuk para pelanggan bu Icha yang bekerja di pabrik.Rasanya sudah lama sekali Tania tidak melakukan aktivitas itu lagi. Selama hidup di Jakarta, ia tak pernah memasak sebanyak ini. Makan pun selalu dibeli dari warung, sesekali memasak sendiri di kost tapi itu juga hanya sayur dan ikan.Tania tak lupa juga mengabari Novy, temannya bahwa hari ini ia akan melakukan penelitiannya. Semalam setelah sampai, ia lupa mengabari Novy karena saking seriusnya mengobrol dengan keluarga barunya."Eneng, hampura ibu teh teu bisa temanin eneng," kata bu Icha di sela-sela menyediakan sarapan ke atas meja.Tania hanya mengangguk kecil. Ia memang tak harus mem
Setelah melewati perjalanan yang panjang dan melelahkan, Tania akhirnya tiba di tempat tujuannya, Desa Margaluyu. Waktu kira-kira pukul 16.37 WIB.Berkat bantuan salah seorang teman kampusnya yang merupakan putri kelahiran Desa Margaluyu, Tania akhirnya bertemu dengan Kepala Desa setempat dan dia akhirnya diantar oleh istri bapak Kepala Desa menuju rumah Ibu Icha Nur Aida, salah satu tetangga dari Novi, temannya.Perjalanan yang melelahkan namun terbayar lunas dengan sambutan hangat dari keluarga Ibu Icha. Ibu Icha adalah seorang ibu rumah tangga, usianya 56 tahun. Ia tinggal bersama suami dan seorang anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMA. Suaminya bernama pak Ujad Sudrajad.Mereka memiliki sebuah warung nasi yang menjadi tempat langganan para karyawan pabrik susu, PT. Nusantara Agri Sejati Dairy Farm. Jarak pabrik susu itu tak jauh dari rumah ibu Icha - hanya melangkahkan kaki sekitar tujuh langkah, kita sudah menginjakkan kaki di area pabrik s
Mike PoVMike telah siap di meja piketnya dan akan menjalankan tugasnya seperti biasa sebagai seorang security. Wajahnya tak menunjukan sama sekali ada keceriaan disana - ia masih memikirkan rencananya yang sudah gagal dan juga tantangan yang Tania berikan padanya.Tak berpikir panjang lebar, ia merogohkan tangan ke dalam sakunya lalu mengeluarkan handphonenya. Ia mencari nama Mega pada kontak lalu menelepon Mega."Halo, Mike. Ada apa?" Tanya Mega setelah menjawab telepon dari Mike.Mega tak menunggu waktu lama untuk menjawab telepon dari Mike karena handphonenya sedang berada di tangannya."Mega, apakah aku mengganggumu?" Tanya Mike cepat."Tidak, Mike. Ada apa?" Tanya Mega balik."Sepertinya rencana kita telah gagal, Mega. Tania akan pergi ke Sukabumi beberapa hari ke depan," kata Mike dengan suara datar."Berarti ulang tahunnya dia tidak di Jakarta?" Tanya Mega sambil mengernyitkan dahinya."Ya, Mega. Aku tak tahu lagi harus bagaimana," jawab Mike masih dengan suara datar."Apakah