“Nei!”
Sebuah suara terdengar di kepala Luna. Gadis tersebut membuka matanya. Tinggal satu sentimeter lagi mata pisau menyentuh kulitnya. Luna melangkah mundur dilemparkan gagang cutter tersebut. Dia langsung duduk bersimpuh. “Apa yang aku pikirkan!”
Setelah cukup tenang, Luna menengok ke arah samping kanannya. Hantu gadis kecil itu sudah berdiri di sana, dia memandang Luna dengan tatapan datar. Kemudian jari jemarinya menyentuh pipi Luna. Sebuah sentuhan dingin bagai es terasa di kulitnya. “Nei!” sekali lagi gadis itu mengatakan hal serupa.
“Kamu tidak ingin aku mengakhiri hidup?” tanya Luna.
Gadis itu tetap diam. Namun Luna bisa mengerti bahwa dia tak ingin Luna menyakiti dirinya sendiri. Sosok menyeramkan gadis itu perlahan menghilang. Mungkinkah hantu tidak semua jahat? Begitulah yang dipikirkan oleh Luna.
Luna menatap dalam-dalam gadis di depannya. ‘Bagaimana bisa seorang hantu bisa secantik ini?’ Begitulah yang dipikirkan Luna. “Namamu Jenny bukan.”
Hening. Gadis itu tetap tidak menjawab. Dia hanya mengangguk sedikit.
“Namaku Luna,” ucap Luna memperkenalkan diri. “Nanny bilang aku harus berdamai. Aku akan mencobanya. Tapi bisakah kamu tidak menggangguku?”
Gadis itu tetap diam.
“Seperti misalnya tidak mengagetkanku,” jelas Luna. “Selebihnya aku akan menerima bahwa kita berada di tempat yang sama.”
Tidak ada respon apapun. Keheningan membuat perasaan Luna kalut. Dia masih takut menatap hantu di depannya. Namun sepertinya hantu tersebut tidak jahat. Bukankah dia yang menolong Luna?
“Sudah kuduga kamu aneh!” Sebuah ucapan tajam terlontar dari gadis berkacamata. “Berbicara sendiri? Apa bedanya dengan orang gila!”
Rupanya Chriestie sudah berdiri cukup lama di pintu kamar Luna. Dia melihat dengan tatapan sinis. Perasaan kalut muncul lagi. Namun kali ini Luna tidak mampu untuk mencari alasan. “Aku-.”
Chriestie masih diam saja di pintu kamarnya. Tidak lama kemudian Galang datang menghampiri. “Ada apa ini?” tanyanya. “Sarah baru saja sadar. Dan kalian berdua seperti sedang bertengkar.”
“Dia gila!” Chriestie mengacungkan telunjuknya ke arah Luna. “Kamu percaya dia berbicara sendiri?”
Galang langsung menatap Luna. Dia mencari jawaban. “Benarkah?”
Luna menggigit bibirnya. “Ini tidak seperti yang kalian pikirkan.”
“Jangan bohong!” Chriestie berteriak lantang. “Aku melihatmu beberapa kali berbicara sendiri. Dengan siapa kamu berbicara? Kalau kamu ga gila kamu pasti-.”
Chriestie tidak melanjutkan perkatannya. Dia terlihat seolah ragu. Luna mengenali pandangan itu. Pandangan yang sama dengan semua orang di sekolahnya yang dulu. Pandangan takut, resah dan khawatir. Pandangan yang menganggap Luna adalah manusia berbeda yang tidak pantas ada di sana.
“Sudah!” tiba-tiba saja Nanny berada di belakang mereka. “Luna ada baiknya kamu menjelaskan tentang dirimu kepada penghuni lain di sini.”
Luna terlihat ragu. “Tetapi bagaimana kalau-,” ucapannya berhenti. Dia melihat ke arah Chriestie dan Galang. Benar dia harus menjelaskan keadaannya kepada mereka. Terlebih Jenny yang terkadang mengganggunya.
***
Semua penghuni kosan Belanda berada di ruang tengah terkecuali Bayu. Mereka menunggu Luna menjelaskan semuanya. Luna hanya bisa menatap satu persatu dari mereka. Tidak tertebak apa yang ada di kepala masing-masing personil di sana. Terakhir Luna menatap Nanny. Senyum Nanny membuat kepercayaan Luna tumbuh.
“Aku minta maaf sebelumnya,” Luna menyampaikan prolog. “Bukan maksud aku untuk menyembunyikan ini. Hanya saja aku takut disangka berbeda.”
Galang tersenyum. Kemudian berbicara dengan nada yang lembut, “Kami akan mencoba untuk mengerti.”
Glek...
Luna menelan ludahnya. Bibirnya kelu, namun dia harus mencoba. Dia pasrah dengan apa yang akan dikatakan penghuni kosan nantinya. “Aku adalah seorang indigo.”
Hening. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Galang terlihat serius menatap Luna. Sarah hanya diam saja. Danny mengangguk-angguk. Sementara Chriestie dia menatap tajam Luna. “Pembohong!”
“Chriestie!” Nanny menegurnya.
“Bener kan yang aku bilang!” Chriestie meninggikan suaranya. “Dia hanya ingin mencari perhatian kita saja.”
Mata Luna menciut. Ucapan Chriestie terasa menamparnya. Namun apa yang bisa dia lakukan selain diam.
“Terserah kalian!” teriaknya. “Aku tidak akan percaya dengan ucapannya. Tolong anggap saja kita tidak saling kenal!” ucapnya sambil melangkah pergi.
Luna menahan tangisnya. Air matanya sudah hampir tumpah. Dia pasrah jika mengalami pembulian serupa seperti masa sekolah. Bahkan Luna sudah berfikir untuk pindah kosan. Mana ada orang yang mau menerimanya,
“Jangan menangis,” pinta Galang. “Aku tidak masalah kok. Malah menurutku itu spesial.”
Dengan mata penuh rasa tidak percaya, Luna melihat Galang. “Benarkah?” tanya Luna. Galang membalasnya dengan tersenyum. Membuat hati Luna tentram. Sarah melihat mereka bergantian. Namun dia tidak bekata apapun.
“Betul.” Ucap Danny. “Itu membuktikan dirimu spesial.”
“Syukurlah semua mendukungmu,” Nanny menambahkan.
Luna menatap mereka secara bergantian. Dia teringat kepada Chriestie. “Tapi-.”
“Tidak perlu kamu pikirkan Chriestie,” ucap Sarah. “Kami semua mendukungmu ko!”
***
Esok paginya Luna terbangun. Pikirannya bercabang banyak. Mulai dari kasus kesurupan hingga respon teman-temannya secara bergantian. Kemudian pandangan Luna terfokus pada secarik kertas di bawah pintunya.
Luna bangkit dari ranjang. Kemudian memungut kertas tersebut. Matanya terbuka lebar. Secarik kertas tersebut diisi dengan tinta merah hitam. Luna mengendus baunya “darah”. Namun yang lebih parah adalah tulisan di atas kertas tersebut. “Pergi sana dasar dukun!”
“Pergi sana dasar dukun!”Secarik kertas tersebut berhasil membuat mental Luna jatuh. Sejak kemarin dia sudah mencoba mempersiapkan diri jika ada orang yang tidak menyukainya. Namun ternyata tidak semudah itu.Luna teringat akan peristiwa di sekolahnya dahulu. Ketika itu Luna memasuki kelas di pagi hari. Tetapi atmosfir teman-teman sekelas serasa berbeda. Luna bisa merasakan beberapa siswa mencibir dan membicarakannya. Namun dia terus menerus menguatkan hatinya. Hingga ketika...“Pergi kau anak setan!”“Pembawa sial!”“Mati saja kau sana!”“Segeralah mati!”Mata Luna terbuka lebar. Tepat di atas mejanya berbagai macam vandalisme berisi kutukan dan hinaan terpampang di sana. Luna langsung menengok ke kanan dan kirinya. Dia memperhatikan sekeliling. Saat itulah Luna melihat sesuatu yan
“Chriestie!” teriak Nanny. Akhirnya Nanny berbicara. Wajahnya tetap tenang namun auranya terlihat menyeramkan. “Mari kita berbicara!” Gadis berkacamata itu hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Jelas sekali dia tidak terima diperlakukan seperti itu. Namun caranya menatap Nanny menunjukan bentuk penghormatannya. Luna melihat hal tersebut dengan jelas. Batinnya pun berkata bukan Chriestie yang melakukannya, namun dari semua perkataan yang dilontarkannya kemarin tentu saja membuat dia menjadi tersangka utama. Setelah Nanny pergi membawa Chriestie, Galang mendekatinya. “Kenapa kamu ga bilang kamu dapet surat kaya gini?” Luna menunduk takut. “Aku tidak ingin kalian bertengkar seperti tadi.” “Justru kamu harus ngomong!” ucap Galang. “Kenapa?” tanya Luna. “Karena aku sudah berjanji akan menjagamu!” Galang berkata dengan tegas. Deg.... Jantung Luna berdebar kencang. Namun ini bukanlah perasaan takut, melainkan rasa senang. Perk
“Kamu penganut ilmu hitam bukan?”Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Luna. Dia pun masih dalam posisi terkejut. Meskipun sebelumnya dia merasa tidak terima dengan perlakuan Chriestie selama ini, namun dia menolak untuk berdebat. Dia merasa percuma karena dia tahu Chriestie pasti tidak akan mempercayai apapun yang dikatakannya.“Akan kulaporkan kepada yang lain!” ucapnya. Tidak lama kemudian dia pergi dari tempat tersebut.Luna tidak mengubis perkataannya. Dia melanjutkan penyelidikannya. Baru kali ini dia melihat ayam hitam yang tercabik dengan darah masih mengucur. Luna menyimpulkan bahwa benda-benda tersebut belum lama diletakan.Serrrr...Punggung Luna merinding. Dia merasakan ada sosok yang menatapnya dari jauh. Tidak lama kemudian dia mencium sebuah bau yang tidak asing. Bau bunga yang sangat wangi sekali dicampur dengan pandan. Hawa dingin menusuk ke kulit Luna. Dia diam tidak bergerak.“
Glek...Luna menelan ludah. Hal yang dia khawatirkan ternyata terbukti. Chriestie benar-benar mengadu kepada Nanny. Luna sendiri heran, mengapa Chriestie seakan membencinya sangat. Padahal dia tidak pernah mengusiknya sama sekali.“Sebelum itu aku ingin kalian berdua duduk juga.” Perintah Nanny kepada Danny dan Galang.Mereka berdua menurut. Segera mereka mencari posisi yang nyaman untuk duduk. “Silahkan dimulai Nanny,” ucap Galang.“Baiklah,” prolog Nanny. “Chriestie bercerita bahwa dia menemukan hal yang aneh di pinggir rumah.”Semua penghuni kosan Belanda mendengarkan. Chriestie sendiri menyeringai puas. Dia berkali-kali mendongkak ketika melihat Luna. Membuat nyali Luna menciut sedikit.“Yang ditemukan oleh Chriestie adalah sesajen,” lanjut Nanny.Atmosfer semua orang mendadak berubah. Seakan mereka mengetahui apa yang terjadi. Ada raut muka khawatir dari semuanya. Membua
Kediaman Galang.Blam...“Renatta?” Bella, ibunda Galang memanggil putri bungsunya tersebut. Dia mendengar sebuah pintu yang terbanting dari lantai dua. Hening tidak ada satupun suara. “Kamu sudah pulang kan?”Sunyi. Tidak ada suara apapun dari lantai dua. Bella mengangkat alisnya. Mendadak suasana terasa berbeda. “Mama ke atas ya!” ucapnya lagi.Bella berjalan menyusuri tangga kayu. Kayu itu terdengar berdecit ketika diinjak. Menandakan usianya yang sudah tua. Di ujung langkahnya terhenti. Dia merasakan ada sesuatu yang menatapnya dari belakang.Sret...Punduk Bella menegang. Jelas sekali dia merasakan sesuatu lewat di belakangnya. Dengan ragu-ragu dia menengok memutar. Namun tidak ada seorang pun di belakangnya.Glek...Wanita itu menelan ludah. Memang dia merasakan rumahnya aneh sekali akhir-akhir ini. Setiap kali dia sendirian dia merasa seakan diawasi. Namun dia menepis segala pemikiran
“Maukah kamu membantuku menyelidiki boneka tersebut?”Luna terdiam lama mendengar permintaan Galang. Hatinya bingung. Belum lama ini berbagai peristiwa mistis dan kurang menyenangkan mengitarinya. Membuat Luna tidak ingin kembali berurusan dengan hal demikian. Karena masalah di kosan pun belum selesai. Namun dihadapannya adalah orang yang menolongnya. Bagaimana mungkin Luna bisa menolaknya.“Aku-,” Luna tidak meneruskan kata-katanya. Matanya menunjukan kebingungan. “Kenapa aku?”Galang tersenyum mendengarnya. “Karena kamu spesial.”Mendengar kata spesial membuat sedikit debaran di dada Luna. Selama ini orang-orang selalu berkata aneh tentangnya. Baru kali ini ada seseorang yang berkata bahwa dirinya spesial. Namun Luna kembali menunduk. “Sepertinya aku tidak bisa.”“Kenapa?” tanya Galang.“Aku takut Ka,” ucap Luna. “Ada trauma yang tidak bisa digambarka
“Huh!” Luna membuka matanya. Dia langsung bangkit dari posisi tidur. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. “Ka Galang!” Air mata Luna menetes di pipi. Dia teringat kepada mimpinya tadi. Gadis itu melirik jam dinding. Masih jam tiga pagi, hatinya serasa tidak tenang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan ke lantai satu. Menenangkan hatinya. Kreeettttt Pintu kamar Luna dibuka. Dia melangkahkan kakinya keluar. Lorong kamar gelap gulita. Semua penghuni kamar masih berada di mimpinya masing-masing. Dia kemudian berjalan menuju lantai satu. Mencoba menenangkan diri dengan menonton tv. Tuk.. tuk.. tukkk... Luna terdiam. Dia merasa ada yang mengikutinya. Hawa dingin mulai menyelimutinya. Namun dia mencoba untuk menepis rasa takutnya. ‘Jadilah berani Luna!’ batinnya. Dengan langkah pelan, dia mencoba maju kembali. Suara itu tetap mengikutinya dari belakang. Haruskah Luna menengok? Atau dia harus tetap maju. Rasa ragu mulai menyelimutinya.
“Kakek?” seru Luna. Kakek Luna, Raden Rangga Wijaya terlihat menampakan dirinya. Luna menghampiri Rangga. Raut muka pria tua itu masih sama bijaknya dengan saat Luna masih kecil. “Aku rindu kakek.” Luna berlari memeluknya. “Bagaimana kabarmu cucuku?” Air mata jatuh ke pipi Luna. Dia tahu ini mimpi, karena sesungguhnya orang yang ada di depannya ini sudah meninggal. “Baik.” “Kamu pasti mengalami banyak hal berat,” ucap Rangga. “Tetaplah kuat na. Aku minta maaf karena harus menurunkan kemampuanku padamu, cucuku.” Luna terdiam. Dia paham maksudnya. Ternyata kemampuan indigo yang dimilikinya adalah pemberian kakeknya. “Aku ingin kemampuan ini pergi. Aku Lelah!” terdengar nada emosi saat Luna mengatakannya. “Aku tahu,” jawab Rangga. “Tapi Tuhan tidak akan menurunkan kemampuan ini kepada sembarang orang.” Gadis itu tidak menjawab apapun. “Hanya orang-orang tertentu yang mendapatkannya,” lanjut Rangga. “Meskipun demikian dia h