Share

6. TERBONGKAR

Nei!”

Sebuah suara terdengar di kepala Luna. Gadis tersebut membuka matanya. Tinggal satu sentimeter lagi mata pisau menyentuh kulitnya. Luna melangkah mundur dilemparkan gagang cutter tersebut. Dia langsung duduk bersimpuh. “Apa yang aku pikirkan!”

Setelah cukup tenang, Luna menengok ke arah samping kanannya. Hantu gadis kecil itu sudah berdiri di sana, dia memandang Luna dengan tatapan datar. Kemudian jari jemarinya menyentuh pipi Luna. Sebuah sentuhan dingin bagai es terasa di kulitnya. “Nei!” sekali lagi gadis itu mengatakan hal serupa.

“Kamu tidak ingin aku mengakhiri hidup?” tanya Luna.

Gadis itu tetap diam. Namun Luna bisa mengerti bahwa dia tak ingin Luna menyakiti dirinya sendiri. Sosok menyeramkan gadis itu perlahan menghilang. Mungkinkah hantu tidak semua jahat? Begitulah yang dipikirkan oleh Luna.

Luna menatap dalam-dalam gadis di depannya. ‘Bagaimana bisa seorang hantu bisa secantik ini?’ Begitulah yang dipikirkan Luna. “Namamu Jenny bukan.”

Hening. Gadis itu tetap tidak menjawab. Dia hanya mengangguk sedikit.

“Namaku Luna,” ucap Luna memperkenalkan diri. “Nanny bilang aku harus berdamai. Aku akan mencobanya. Tapi bisakah kamu tidak menggangguku?”

Gadis itu tetap diam.

“Seperti misalnya tidak mengagetkanku,” jelas Luna. “Selebihnya aku akan menerima bahwa kita berada di tempat yang sama.”

Tidak ada respon apapun. Keheningan membuat perasaan Luna kalut. Dia masih takut menatap hantu di depannya. Namun sepertinya hantu tersebut tidak jahat. Bukankah dia yang menolong Luna?

“Sudah kuduga kamu aneh!” Sebuah ucapan tajam terlontar dari gadis berkacamata. “Berbicara sendiri? Apa bedanya dengan orang gila!”

Rupanya Chriestie sudah berdiri cukup lama di pintu kamar Luna. Dia melihat dengan tatapan sinis. Perasaan kalut muncul lagi. Namun kali ini Luna tidak mampu untuk mencari alasan. “Aku-.”

Chriestie masih diam saja di pintu kamarnya. Tidak lama kemudian Galang datang menghampiri. “Ada apa ini?” tanyanya. “Sarah baru saja sadar. Dan kalian berdua seperti sedang bertengkar.”

“Dia gila!” Chriestie mengacungkan telunjuknya ke arah Luna. “Kamu percaya dia berbicara sendiri?”

Galang langsung menatap Luna. Dia mencari jawaban. “Benarkah?”

Luna menggigit bibirnya. “Ini tidak seperti yang kalian pikirkan.”

“Jangan bohong!” Chriestie berteriak lantang. “Aku melihatmu beberapa kali berbicara sendiri. Dengan siapa kamu berbicara? Kalau kamu ga gila kamu pasti-.”

Chriestie tidak melanjutkan perkatannya. Dia terlihat seolah ragu. Luna mengenali pandangan itu. Pandangan yang sama dengan semua orang di sekolahnya yang dulu. Pandangan takut, resah dan khawatir. Pandangan yang menganggap Luna adalah manusia berbeda yang tidak pantas ada di sana.

“Sudah!” tiba-tiba saja Nanny berada di belakang mereka. “Luna ada baiknya kamu menjelaskan tentang dirimu kepada penghuni lain di sini.”

Luna terlihat ragu. “Tetapi bagaimana kalau-,” ucapannya berhenti. Dia melihat ke arah Chriestie dan Galang. Benar dia harus menjelaskan keadaannya kepada mereka. Terlebih Jenny yang terkadang mengganggunya.

***

Semua penghuni kosan Belanda berada di ruang tengah terkecuali Bayu. Mereka menunggu Luna menjelaskan semuanya. Luna hanya bisa menatap satu persatu dari mereka. Tidak tertebak apa yang ada di kepala masing-masing personil di sana. Terakhir Luna menatap Nanny. Senyum Nanny membuat kepercayaan Luna tumbuh.

“Aku minta maaf sebelumnya,” Luna menyampaikan prolog. “Bukan maksud aku untuk menyembunyikan ini. Hanya saja aku takut disangka berbeda.”

Galang tersenyum. Kemudian berbicara dengan nada yang lembut, “Kami akan mencoba untuk mengerti.”

Glek...

Luna menelan ludahnya. Bibirnya kelu, namun dia harus mencoba. Dia pasrah dengan apa yang akan dikatakan penghuni kosan nantinya. “Aku adalah seorang indigo.”

Hening. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Galang terlihat serius menatap Luna. Sarah hanya diam saja. Danny mengangguk-angguk. Sementara Chriestie dia menatap tajam Luna. “Pembohong!”

“Chriestie!” Nanny menegurnya.

“Bener kan yang aku bilang!” Chriestie meninggikan suaranya. “Dia hanya ingin mencari perhatian kita saja.”

Mata Luna menciut. Ucapan Chriestie terasa menamparnya. Namun apa yang bisa dia lakukan selain diam.

“Terserah kalian!” teriaknya. “Aku tidak akan percaya dengan ucapannya. Tolong anggap saja kita tidak saling kenal!” ucapnya sambil melangkah pergi.

Luna menahan tangisnya. Air matanya sudah hampir tumpah. Dia pasrah jika mengalami pembulian serupa seperti masa sekolah. Bahkan Luna sudah berfikir untuk pindah kosan. Mana ada orang yang mau menerimanya,

“Jangan menangis,” pinta Galang. “Aku tidak masalah kok. Malah menurutku itu spesial.”

Dengan mata penuh rasa tidak percaya, Luna melihat Galang. “Benarkah?” tanya Luna. Galang membalasnya dengan tersenyum. Membuat hati Luna tentram. Sarah melihat mereka bergantian. Namun dia tidak bekata apapun.

“Betul.” Ucap Danny. “Itu membuktikan dirimu spesial.”

“Syukurlah semua mendukungmu,” Nanny menambahkan.

Luna menatap mereka secara bergantian. Dia teringat kepada Chriestie. “Tapi-.”

“Tidak perlu kamu pikirkan Chriestie,” ucap Sarah. “Kami semua mendukungmu ko!”

***

Esok paginya Luna terbangun. Pikirannya bercabang banyak. Mulai dari kasus kesurupan hingga respon teman-temannya secara bergantian. Kemudian pandangan Luna terfokus pada secarik kertas di bawah pintunya.

Luna bangkit dari ranjang. Kemudian memungut kertas tersebut. Matanya terbuka lebar. Secarik kertas tersebut diisi dengan tinta merah hitam. Luna mengendus baunya “darah”. Namun yang lebih parah adalah tulisan di atas kertas tersebut. “Pergi sana dasar dukun!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status