Kalang kabut. Yah, hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan situasi di ruangan kamar Arbia saat ini, mana kala ada seseorang yang sudah berdiri di depan pintu bergeming menyaksikan perbuatan mereka.
"Bi, makan dulu, Nak," ucapan itu masih terniang beberapa detik yang lalu.
"Mama," Arbia seketika meloncat dari pangkuan Axelle dan berjalan memghampiri mamanya dengan wajah menunduk.
Wanita anggun itu menayap putrinya dengan tatapan tajam mengena di hati membuat Axelle yang sedetik kemudian juga menjadi sasaran tatapan itu menelan salivanya.
"Kalian segera ke meja makan, ya," ucap wanita itu dengan sikap tak acuh dan tatapan dingin.
Seketika Axelle mengangguk dan merasakan kecanggungan yang diciptakan oleh sikap mamanya Arbi. Sesaat dia memandang gadis pujaannya itu dengan tatapan yak mengerti.
"Kenapa begitu menatapku?"
"Nggak enak sama, Tante?" Jawab Axelle meraup wajahnya yang tiba-tiba keruh.
"Hem, nggak apa-apa, Sayang, yuk ke meja makan."
Axelle hanya mengangguk lalu merangkul bahu mungil gadiz kesayangannya itu.
Di sisi lain, Praditia masih menjalani pemeriksaan tentang kondisinya. Kemungkinan kalau sudah dinyatakaa sehat jasmani dan rohani akan segera jadi saksi atas sidag peryama Handoko Triwibowo yang ternyata rivalnya dalam berbisnis. Sekaligus sekarang adalah musuh dari sang ayah yang sudah mendahuli pergi.
"Bagaimana kondisinya? Masih suka merasakan pusing? Atau malah mual?" Pertanyaan itu keluar dari mulut mungil seorang gadis yang tak lain adalah Ratu Prameswari.
"Sudah membaik. Apa dengar kabar tentang Arbia, bisalah kamu menyuruhnya untuk datang kesini?"
"Ada apa, kamu ingin bicara padanya, apa ada yang penting?"
Praditia hanya mengangguk. Dia memang ingin bertemu dengan Arbia, gadis kecil yang dulu bekerja untuknya dan selalu patuh menjalankan semia titahnya. Dan ssuatu hari Praditia benar-benar terobsesi pada gadis kecil itu yang dulunya pernah menginginkan dirinya menjadi orang satu-satunya di hatinya. Namun sayang kehadiran Axelle meribah semu kehidupan gadis itu.
__________
Hari ini Arbia nekad menemui Handoko di sel penjara karena berkaitan dengan penembakan dirinya oleh seseorang yang kini masih jadi buronan polisi.
"Saya tidak akan banyak bertanya sama Anda. Hanya satu pertanyaan. Apa Anda yang menyuruh anak buah Anda menembak, Saya?"
Handoko tampak terkejut mendengar pertanyaam yang muncul dari bibir mungil Arbia. Dia berpikir keras mencerna kata-kata gadis itu. Seingat dia, tidak ada satu pun anak buah yang berpihak kepadanya setelah dia ditangkap. Bahkan anak buah paling setia sekaali pun, Christ.
"Nak, Aku nggak pernah menyuruh anak buahku menembak kamu." Dan jawaban itu sudah cukup membuat Arbi memberi kesimpulan, bahwa ada yang menginginkan kematiannya.
Huft! Sesaat Arbi menatap wajah laki-laki yang kini lebih bersahabat itu. Ada rasa penasaran luar biasa yang membuatnya ingin rasanya mencabik-cabik siapa yang sudah membuatnya hampir sakaratul maut.
Hampir 30 menit Arbia berbincang dengan Handoko, rasanya tidak ada celah untuk mencari siapa orang yang sudah bersusah payah menembak dirinya hingga hampir lewat. Ada dendam apa orang itu dengan dirinya. Hingga mau melenyapkan dirinya dari muka bumi ini. Alangkah sadisnya rupa orang itu.
Dalam kebingungan dan penasaran itu terlintas, sekilas tentang bezuk Praditia Wicaksana. Tidak ada salahnya kalau dirinya mampir sekalian melihat kondisi pria tampan itu di penjara khusus buat yang sakit.
"Silakan, Nona," ucap penjaga yang berada di lapas Praditia.
Tak lama Arbi berjalan ke arah lapas Praditia terlihat ada orang bezuk selain dirinya.
"Pak Praditia," sapanya lembut seramah mungkin.
"Arbi! Baru Aku berpesan sama Ratu, Aku ingin bertemu denganmu,"
"Oh adakah yang penting, Pak?" tanya Arbi sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi samping Ratu duduk.
"Ratu bisakah kamu tinggalkan kami berdua dulu,"
Ratu Putri Prameswari hanya mendelik lalu beranjak pergi dengan dengussn kemarahan.
Arbia duduk memghadap Praditia yang sudsh ldbih dulu duduk dan memandangnya penih dengan perasaan. Sedangkan Ratu Prameswari yang berlalu dengan perasaan dongkol dan kesal tiba-tiba mengeluarkan ultimatum mengejutkan."Kalau bisa, jangan biarkan dia keluar hidup-hidup. Dia itu hanya penyakit yang mengganggu!" ucapmya tandas dan tegas entah sama siapa dan yang pasti titahnya itu diiyakan olen si penerima nelpon."Arbi," suara itu lebih mirip orang memanggil untuk curhat."Iya, Pak," jawab Arbi polos tanpa sedikitpun menaruh curiga atau berkesan untuk tahu sebenarnya apa maksud Praditia ingin menemuinya.Praditia mrmandang ragu sejenak lantas menatap dalam-dalam perempuan muda yang pernah membuatnya mabok kepayang itu."Bapak, ada yang mau disampaokan sama, Saya?" tamyanya kemudia karena menunggu Praditia melanjutkan ucapannya begitu lama."Aku--" sejenak Praditia ragu."Lanjutkan, Pak. Apa Bapak di lapas ada masalah? Kalau memamg ada m
"Arbi, hati-hati sama Ratu," ucapan Praditia masih membekas di telinga Arbia Siquilla.Pagi ini dia pergi ke perusahaan Penerbit milik Praditia Wicaksana. Untuk sementara Arbia mengambil alih perusahaan yang tergabung dengan perusahaannya sendiri yang didirikan sendiri bersama Arka Abianta, kakak angkatnya."Arbi, dimana?" Via note dari kakaknya Arka."Di kantor penerbit, kak," balasnya dengan cepat lalu menyimpan berkas ke laci.Agak capek juga gadis itu merapikan file, karena semenjak Praditia tersandung kasus dan masuk buy, keadaan kantor berubah drastis. Banyak karyawan kantor yang keluar tanpa mempertanggung jawabkan pekerjaannya."Mbak Arbi, mau dibikinim minuman dingin?" tanya OB dengan ramah. Arbia hanya tersenyum lantas mengangguk.Hari cepat berlalu, siang sudah merambah sore. Seharian duduk di kursi panas membuat Arbia ngerasa seperti diduk menjadi pesakitan."Mbak Arbi, pulang ya?" Suara karyawan yang mas
Laki-laki itu memandang tubuh sintal Arbia Siquilla yang sudah tak sadarkan diri. Neberapa kali menelan salivanya untuk membadahi kerongkongannya yang tiba-tiba mengering saat melihat tubuh berbody goal itu dengan indahnya terhampar di hadapannya. Hatinya goyah untuk tetap setia pada satu wanita yang sudah lama ia sematkan di dalam relung jiwanya yang paling dalam.Baru saja dia mau melepas jas kebesarannya terdengar ponsel genggamnya berbunyi."Hallo," suaranya datar mengawali pembicaraan itu."Lenyapkan dia dari hadapanku, Aku nggak mau lihat lagi wajahnya muncul di depan Praditia lagi. Kalau perlu bunuh dia! Dan hilangkan mayatnya di sungai!"Wajah laki-laki itu menegang sesaat mendengar titah dari si penelpon."Sadis banget. Masa cantik dan sexy begini suruh bunuh, inikan aset. Sendainya Aku nggak punya dia, mungkin Aku tak akan pernah melakukan ini padamu, Nona Arbia." Dengus laki-laki itu sambil menjauhkan badannya dari ranjang tempat A
Sebenarnya Christ tidak tahu harus membawa Arbia kemana, harusnya memang tadi dia menyerahkan Arbia pada polisi. Kelar urusannya.Paling banter dia masuk jeruji besi"Christ kita mau kemana?" tanya wanita tua itu."Christ juga bingung, Bi," jawan Christ dari balik jok. Dia duduk di jok belakang dengan memangku separuh badan Arbia yang pingsan."Apa sebaiknya saya menyerahkan diri pada polisi, Bi. Tapi bibi langsung pergi, ya?" ucap Christ dari jok belakang."Spa kamu yakin Christ? Bagaimana dengan Felysia?""Nanti Christ minta tolong sama polisi, Bi untuk menyelamatkan Fely,"Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan. Christ menggendong tubuh kecil Arbia ke pinggir jalan. Berharap polisi yang mengejarnya segera datang."Jangan bergerak! Tangan taruh di belskang kepala, jatuhkan senjata!" Christ tersentak tapi oatuh dengan titah dari Axelle.Dengan teliti Axelle memeriksa Christ.
Misi dilakukan oleh Axelle dan Christ yang dikawal ole Gama Pramudia juga wakil kapten Kaifan. Gedung menjulang, apartemen Amanda berada di wilayah komplek elite. Ke-4 pahlawan itu turun dari mobilnya dan mengatur rencana sebaik mungki. Berada di tengah-tebgsh komple mewah, Apartement Amanda sangat strategis dan berada dekat dengsn jalan raya juga pertokoan untuk mrnjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Malsm itu, Axelle duduk di lobi dengan wajah dihalagi oleh surat media kabar. Sedabg di belakang punggungnya sezrorang yabg sedari tadi menguap terus tampak sesekali mentabdarkan kepalanya di punggung sofa. Di lain te.pat Christ sudah menyusut ke salah satu kamar apartemen. "House keeping!" serunya dari luar kamar dan tak lama kemudian ada sesrorang yang membukakan pintu intuknya. "House keeping, Pak," ucapnya sambil menunduk hormat. "Baik, jangan lama-lama, ya. Bis mau datang. Dia nggak suka kalsu tempatnya masih berantakan sewaktu b
Axelle dan Christ menjatuhkan diri ke lantai mendengar suara tembakan itu. Sedang anak buah Tiger Wong berhamburan keluar mencari si penembak jitu dengan senapan laras panjang itu.Tiger Wong terhempas ke lantai dengan oeluru menembus kulit dadanya dan hampir menyerempet pelipis kanannya. Darah seketika mencair di lantai itu."Dasar kalian para oemuda brengsek. Licik, msinnnya di belakang!" Masih bisa ngiceh aja si ketua mafia.Axelle bangun di susul Christ dan meringkus Tiger Wong yang sudah tak berdaya. Darah segar yang mengalir dari dada kirinya membuatnya gelap meski matanya masih terbuka.Gama da Kaifan si penembak jitu terlihat sigap menangani anak buah Tiger Wong. Srketika Apartemen itu riuh dan rame. Semua petugas keamanan apartemen diturunkan untuk ikut menangkap anak buah Tiger Wong. Apartemen yang mewah menjadi tempat komplotan para mafia beserta pimpinannya."Kerja bagus Kai," Axelle mengacungkan jempol kanannya sebelum berlalu tu
Dari keterangan Gamma Pramudia tentang kasus yang melanda adik tirinya, saat ini sedang dilakukan pengusutan dan penyelidikan. "Dia menginginkan perusahaanmu," siang itu ketika jam bezuk sedikit terlambat Axelle menemui Praditia Wicaksana. Pria yang umurnya terpaut beberapa tahun dengan kapten muda itu hanya mengangguk bahkan tidak kaget sama sekali. "Semenjak kapan kamu mengetahuinya?" tanya Axelle merasa salut dengan sikap pria tampan berwajsh axetik itu. "Dari awal. Hanya saja Aku belum yskin. Aku kira dia bekerja sama dengan Cathrine ternyata dia bekerja sama dengan mafia itu." "Apa kamu mengensl Tiger Wong?" Praditia Wicaksana menatap Axelle tanpa ragu. "Kekasih gelap Ratu Prameswari," jawaban itu dirasa membuat sang kapten itu terhenyak. "Jadi___ "Ratu Prameswari selama ini bekerja untuk forum mereka. Aku juga baru mengetahuinya akhir-akhir ini, itupun lewat orang-orang yang masih bisa dipercaya." Da
Arbia menatap kagum makanan yang begitu banyak di meja makan. Matanya mengerjab-ngerjab terpana dengan bawaan Axelle. Juga rangkaian bunga yang begitu indah dan begitu banyak jenisnya. "Banyak sekali makanan hari ini ,Sayang," ucapnya ceria dengan mimik muka bak bayi. Lucu dan menggemaskan. "Selamat universarry, Sayang," bisiknya mesra di telinga sang kekasih. Gadis itu menggeliat geli dan bersemu merah. Ada hasrat yang tiba-tiba menggelira di dada Arbia padahal baru beberapa menit yang lalu ranjang panasnya bederit dengan desahan dan lenguhan juga jeritan terpekik. Akhirnya Arbia pun pasrah ketika bibir tipisnya itu di lumat kembali oleh sang kekasihnya. Beberapa detik terjadi paut memagut di meja makan itu. Setelah itu Arbia membuka mata lalu dengan sendu menatap kekasihnya itu. "Kenapa, mau lagi?" tanya Axelle sambil membungkuk lagi dan membenamkan kembali bibir kokohnya. Bahkan desahan disertai lenguhan Arbia membuat pria jantan itu menang