Alana turun dari mobil tanpa berkata-kata. Hal itu semakin membuat Alden merasa tak enak hati. Gadis yang biasanya cerita dan banyak omong itu, kini diam tak seperti biasanya. Alden tak tahu apa yang terjadi. Jika hanya sekedar bertengkar dengan Jessica, Alana tak mungkin sampai seperti itu. Apa mungkin perutnya terlalu sakit? Terlalu banyak pikiran yang memenuhi otak Alden. Dia pun membiarkan gadis itu sendirian terlebih dulu sampai dirinya merasa tenang. Sementara itu, Alden tak yakin jika obat Alana masih ada. Makanan di dalam kulkasnya saja jarang ada, apalagi ini obat. Akhirnya Alden pergi membelikan obat untuk gadis itu. Alana merasa sediki lega saat tahu Alden tidak mengikutinya. Dia mencari obat di dalam laci, tapi tak ada satu pun sisa obatnya. Ia menghela napas kasar, dan terlalu lelah untuk keluar. Terpaksa ia menahan sedikit rasa sakit di perutnya. Ia pergi membaringkan tubuhny
Derap langkah Alden terdengar tegas. Dia muncul dengan pakaiannya yang serba hitam bergabung bersama timnya yang sudah menunggu. Di sana sudah ada Frey yang juga menunggunya. Isyarata dari tatapan matanya, diterima baik oleh Frey.Tim mereka kemudian berpencar menjadi dua kelompok. Mereka sudah merencanakan setiap detail dengan cermat. Satu per satu, mobil-mobil hitam mereka keluar dari markas menuju ke tempat yang sudah mereka tandai sebagai lokasi target.Alden duduk di bagian belakang mobil, memeriksa senjata dan peralatan yang ada di dalam tas hitamnya. Frey, yang duduk di sampingnya, tampak tenang meskipun atmosfir di sekitar mereka begitu tegang."Kau yakin rencana ini akan berhasil?" tanya Frey tanpa menoleh pada Alden.Alden menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kita sudah mempersiapkannya dengan baik. Yang penting, kita harus tetap waspada."Frey mengangguk mengerti. Mereka berdua telah bekerja bersama cukup lama untuk memahami dinamika tim. Kepercayaa
Brak! Sebuah map di terima oleh Alden. Pria itu mendongakkan kepalanya saat melihat tatapan dingin dari wanita yang selama ini berkerja sama dengannya. Alden mengerutkan dahinya. Wanita itu tiba-tiba saja bertingkah aneh saat ke kantornya. Sebelum bertanya, Alden membuka map yang berisi beberapa lembar foto seorang wanita dan beberapa orang lainnya yang berpakaia serba hitam. Wajahnya tak begitu terlihat, karena menggunakan masker. Tetapi wanita itu, jelas ditahu oleh Alden. Dia baru saja bertemu dengannya semalam, dan dia memang tak memberitahukan Alana tentang ini. Lalu, kenapa ini? “Apa kau mengenal wanita itu, Alden?” tanya Alana. Nada suara wanita itu benar-benar terdengar berbeda dari biasanya. Alden sedikit tidak mengerti. “Ada apa dengannya?” Alden bertanya balik. “Aku bertanya padamu, Alden! Apa hubunganmu dengannya?” Nada suara Alana hampir meninggi. “Kenap
Tanpa menunggu waktu yang berlalu, Alden pergi menemui Alana ke apartemennya. Dia langsung masuk begitu saja, karena mengetahui kunci kamar wanita itu. Namun, disaat ia tiba, tak ada seorang pun di dalam apartemen itu. Berulang-ulang ia memanggil nama Alana dan tak ada seorang pun yang menyahut. Alden merasa frustrasi. Ditambah teleponnya sejak tadi tak diangkat oleh Alana. Ia duduk di sofa, dengan perasaan berkecamuk. “Di mana kamu Alana?” gumamnya. Alden menyugar rambutnya ke belakang. Ia mencoba berpikir, kemana Alana akan pergi. Tapi, sebagiamanapun usahanya untuk memikirkan hal itu, ia sama sekali tidak tahu. Ia tidak tahu apa yang disukai wanita itu. Kemana tujuan favoritnya, ia benar-benar tidak tahu dan tidak peduli. Namun, disituasi sekarnag, ia malah kebingungan sendiri mencarinya. Rasanya berbeda karena wanita itu selalu bersamanya akhir-akhir ini. Cukup lama Alden berdiam diri d
Wajah Alana terasa panas. Dia terus menyentuh bibirnya, dan merasa malu. Ia benar-benar tak percaya jika Alden akan jadi orang pertama yang menyentuh bibirnya. Perasaannya yang tadi kacau menjadi tidak karuan. Di dalam kamarnya yang gelap, ia menutup wajahnya dengan bantal. Bayangan wajah Alden yang begitu dekat dengannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Harusnya ia marah dengan pria itu. Tapi kenapa Alden malah membujuknya dengan cara yang tak disangka-sangka. Alden, kau benar-benar keterlaluan! Sementara itu, Alden pergi ke markasnya setelah mengantar Alana pulang. Dia tidak menginap, karena menanti informasi tentang Isabella dari Frey. “Setelah Alana yang berbicara kau baru percaya, Alden? Selama ini kau tidak mau menganggapku,” ucap Jessica yang merasa kesal dengan sikap Alden. Alden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Selama ini, ia selalu mengabaikan yang dikatakan oleh Jess
Plak! “Alden, sialan! Siapa yang kau pikirkan?” Alden terkejut membuka matanya begitu tamparan mengenai pipinya. Dia langsung mendorong Frey yang sedang berhadapannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan berani menyentuhku!” ucap Alden sambil melindungi tubuhnya, seolah-olah Frey ingin berbuat jahat padanya. Frey memutar bola matanya dengan malas. Jika bukan Alden di depannya ini, dia pasti akan menoyor kepalanya. Tapi dia merasa bersyukur karena bisa menampar Alden meski dalam keadaan tidak sadar. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Apa kau sedang bermimpi bermain dengan wanita seksi, hah? Kau sampai ingin menciumku,” sungut Frey dengan wajah kesalnya. Alden berdeham, merapikan posisi duduknya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mana ia sadar jika orang yang datang kepadanya, ternyata Frey. Tadi ia melihat Alana yang keluar dan datang menggodanya. “Apa kau sedang h
Alden baru saja tiba di rumahnya setelah mengantar Alana. Belum sempat dirinya melangkahkan kaki untuk masuk ke rumahnya, suara seseorang memanggilnya. Alden berbalik, mendapati seorang wanita yang kemari ia usir. Ya, Isabella berdiri di hadapannya sekarang dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Benar yang dikatakan oleh Jessica, wanita kembali muncul dengan sendiri sebelum Alden melakukan rencana yang sudah diaturnya. Sepertiny Isabella tak bisa lebih lama menunggu, dan mengabaikan Alden. “Apa kau baru pulang?” tanya Isabella. Alden hanya berdeham saja sebagai jawabannya. Dia kembali melangkah masuk, dan diikuti oleh Isabbela. Kepala pelayan di sana ingin menahan Isabella yang ikut dengan Alden. Tapi tatapan Alden membuatnya mundur secara perlahan, dan kembali ke dalam. Alden ingin tahu sejauh mana wanita itu akan bertindak. Isabella tiba-tiba saja kembali ke negaranya, dan membawakan informasi yan
“Ternyata kau wanita murahan juga, cih!” Alana memandang datar wanita yang tiba-tiba saja memanggilnya itu. Dia tak merespon, dan kembali fokus pada makanannya. Melihat Alana yang mengabaikan kedatangan wanita yang tak diundang itu, membuat pria yang datang bersama Alana itu juga turut bergeming. Dia hanya menatap sekilas wanita itu, dan juga Alana. Wanita itu berdiri di depan Alana dengan senyum sinisnya. Dia melipat kedua tangannya di dada. “Hei, berhati-hatilah pada wanita seperti ini. Asal kau tahu, kau bukan pria satu-satunya bagi dia,” ucap wanita itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alana dan teman prianya. Pria itu memandang tak suka. Dia berdecih, “Siapa wanita itu?” tanyanya. “Jessica, rekan kerja Alden,” jawab Alana dengan singkat. “Apa dia sudah gila? Bagaimana mungkin aku disuruh berhati-hati pada adikku sendiri,” kata pria itu merasa tak senang. Alana terkekeh m