"Eergghhhh," rintihnya. Tubuhnya sakit semua. Memegangi lehernya yang nyeri, Abigail mencoba untuk bergerak.
"Abi." Suara yang dikenalnya terdengar, terlalu silau untuk memastikan. "Kau baik-baik saja?"
"Riley," ucapnya ragu dengan suara serak.
"Aku di sini." Abigail merasakan seseorang menggendongnya. "Ayo kita pergi dari sini."
Abi pasrah saat Riley membawa dan memasukkannya ke mobil, bergegas ke kursi kemudi, memundurkan mobilnya menjauh. Abi yang memegangi lehernya menatap bajingan yang tadi ingin membunuhnya sudah bangkit berdiri seraya memakai topinya lagi.
Riley memberhentikan mobilnya dengan mesin menyala, menghadap ke lelaki itu yang hanya diam di tempatnya memandangi Abigail. Tidak menyadari kalau lelaki itu sudah mengacungkan tembakan.
DORRR...DORRR...DORRR
PRAAANKKK!
"Sial!” Riley mengumpat, Abigail merundukkan kepala, kaca spion di sisi Riley pecah, ada lubang di kaca mobil atas dan entah di mana peluru yang lain meninggalkan bekas.
Riley banting setir, menginjak pedal gas dan mobil melesat pergi dari sana dengan cepat.
DORRR...DORRR...DOOORR
Bunyi tembakan masih terdengar, Abigail merunduk meski tatapannya terkunci pada lelaki itu melalui kaca spion, lelaki jelmaan Angel dengan peringai seperti Devil itu berdiri di sana.
Abigail tidak bisa mengalihkan tatapannya. Saat mobil hampir mencapai belokan menuju arah jalan raya satu tembakan dibidikkan dengan tepat.
DOORR!
PRAAANKK!
"Sial!!" Umpat Riley.
Kaca spion yang tersisa satu itu pecah berkeping-keping menghilangkan sosoknya membuat Abigail terkesiap luar biasa dengan tangan menutupi mulut.
"Sialan!!" Desis Riley, melajukan mobilnya. "Laki-laki itu memberikan peringatan keras karena kita kabur." Riley melirik Abi yang bergeming dengan tubuh kaku. "Kau tidak apa-apa,Abi?"
"Aku baik-baik saja—" suaranya begetar, pelan-pelan saat mobil semakin menjauhi dermaga, Abigail menghembuskan napasnya karena terlepas dari kemungkinan mati muda. "Kenapa lelaki itu tidak mati saja saat kau menabraknya tadi?"
"Laki-laki itu tidak bisa mati dengan mudah. Lagipula, kalau kita berhasil melakukannya, aku yakin kita tidak akan bisa hidup dengan normal lagi."
"Siapa dia? Auranya membuatku takut."
"Siapapun yang berhadapan dengannya seharusnya ketakutan. Untung saja aku datang tepat waktu menyelamatkanmu," desah Riley. "Kalau tidak, aku tidak tahu lagi."
Abigail menoleh ke Riley yang fokus dengan jalanan di depannya.
"Siapa dia?"
Riley menoleh sekilas, "Lucca Alonzo. Kau berhadapan langsung dengan pimpinan Mafia penguasa Italia." Abigail terhenyak di kursinya, kembali membayangkan wajah lelaki itu. "Kau beruntung masih hidup."
"Lucca? Lucca Alonzo?" Ujarnya heran. "Apa dia lelaki yang dimaksud Thomas?"
Riley terdiam sesaat sebelum mengangguk, "Sebaiknya kejadian ini menjadi bahan pertimbanganmu untuk segera pulang."
"Kau tahu kalau Thomas menahan semua surat-suratku."
"Minta padanya!" Riley berdecak, "Seharusnya sudah sejak lama kau kembali ke tanah kelahiranmu, bersama saudara kembarmu, bukannya bersama lelaki gila judi itu."
Abigail hanya diam, menurunkan pandangan, meremas sesuatu yang ada di tangannya. Saat kepalannya merenggang, nampak kalung berbentuk salib dengan ukirannya yang cantik, tidak sengaja dia temukan saat terjatuh tadi.
"Maaf aku harus menyelamatkanmu dengan menabraknya," ucap Riley. "Aku tidak akan menang melawannya sendirian."
Abigail menoleh, "Tidak apa-apa. Aku sangat berterima kasih. Aku akan mengganti kerusakan mobilmu."
"Oke."
Setelahnya tidak ada yang berbicara. Abigail menggenggam kalung itu dengan erat, berharap tidak lagi bertemu dengan Lucca suatu hari nanti. Meski dia meragukannya saat melihat kalung di tangannya. Karena kalau sampai iya, dia tidak yakin bisa meloloskan diri lagi. Pimpinan mafia dan dia berbahaya meski ketampannya begitu membekas diingatan.
Sebaiknya dia memang harus kembali ke Indonesia dan mencari cara untuk mengambil semua surat-suratnya yang ada pada Thomas.
"Kau tahu apa julukannya?" Abigail menggelengkan kepala. "The Black Rose. Kau pasti bisa menduga kenapa dia memiliki julukan itu. Dia bahkan memiliki kebun mawar itu di Mansionnya diambil langsung dari tempat tumbuhnya, Turki."
Abigail membayangkan sosoknya di kepala seraya berbisik, "Memikat, memiliki sisi gelap yang mematikan dan berbahaya, lambang kebencian, perlawanan, keberanian dan kekuatan."
Riley mengangguk.
Abigail mengalihkan tatapannya keluar dan bergumam sendiri, "Tapi kesetiaannya tidak perlu diragukan lagi. Mawar hitam, tidak akan pernah berubah warna meski dicampur dengan warna apapun."
Abigail duduk menyandar dan memejamkan mata. Mengabaikan bekas cengkraman di lehernya, tanda kalau dia benar-benar bertemu dengan sang Devil dari Italia yang berbahaya.
The Black Rose
Lucca Alonzo benar-benar Devil meski wujudnya sempurna seperti Angel.
***
London, InggrisSebulan kemudian,London terlihat begitu indah pada awalnya. Saat itu musim semi, bunga warna-warni bermekaran indah di setiap sudut kota, rerumputan mulai tumbuh dan menghijau di taman, matahari begitu cerah hingga membuat banyak orang sepertinya lebih bahagia berjalan-jalan di luar.Abigail masih ingat dengan jelas hari itu. Ketika dia akhirnya sampai di kota yang mendapatkan julukan The Smoke akibat dari revolusi Industri yang terjadi di London, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia hanya demi menyusul kekasihnya, Thomas Gratt. Meninggalkan seseorang sendirian dan perlu ratusan kali dia meyakinkan dirinya sendiri kalau adiknya akan baik-baik saja tanpa dirinya.Nyatanya saat ini, dia yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.Saat itu Abigail hanya ingin mengikuti kata hatinya. Jika dia pamit pada Shine, maka dia tidak akan pernah sampai di London.Saat musim semi itu jugalah dia bisa menemukan Thomas dan merasa sangat bahagia. Namun hanya sesaat, hidupny
Lucca AlonzoSaat mendengar nama itu lagi, napasnya tercekat sembari memegangi area lehernya. Bayangan lelaki itu tiba-tiba saja masuk ke dalam kepala setelah dia berusaha melupakannya. Lucca mencarinya atau mencari kalung miliknya."Aku tidak tahu kenapa dia menyuruh anak buahnya mencarimu. Aku berhasil menghindar dan saat ini sedang dalam perjalanan ke luar kota London. Kita tidak akan bertemu untuk beberapa waktu. Kau harus berhati-hati. Tapi saranku, sebaiknya kau segera urus suratmu dan pulang. Di sini sudah tidak aman bagimu. Jangan pedulikan Thomas karena dia tidak peduli padamu.""Baiklah. Terima kasih karena masih melindungiku. Aku sangat menghargainya. Kau harus berhati-hati.""Tentu." Lalu hening sesaat sebelum Riley melanjutkan. "Senang mengenalmu Abigail. Aku akan merindukanmu.""Err—ya." Abigail mengusap tengkuknya. "Sampai jumpa lagi."Abigail menurunkan ponselnya saat Riley memutuskan sambungan, memandangi kedua sahabatnya yang menatap ingin tahu. Abi menghela napas pa
Abigail duduk di dalam bus yang membawanya pulang. Secara mengejutkan, Thomas membiarkannya pergi bukannya menahannya di sana. Ditolehkannya kepalanya ke samping,melihat hujan yang belum juga reda di luar. Tidak mempedulikan keadaan bus yang tidak terlalu ramai, Abi bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencoba meyakinkan dirinya kalau Thomas memang tidak main-main.Abigail mengusap air matanya, meletakan kepalanya di kaca bus dan memandangi undangan yang tadi diberikan Thomas. Abigail membalik-baliknya berkali-kali. Sebuah undangan pesta topeng yang diadakan salah satu pengusaha London. Abi bisa membaca motif Thomas pergi ke sana."Aldrick," gumam Abigail saat melihat nama pengundang yang tertera di sana. Abi mengangkat pandangan dan menghirup aroma dinginnya malam. "Tuhan, semoga ini jalan keluarnya," ucapnya mencoba mencari keyakinan atas pilihan yang akan diambilnya.Abigail menatap London Eye di kejauhan yang nampak cantik tapi perlahan mengabur saat matanya kembali berkaca-kaca.*
Abigail merasa seperti berada di Neraka sementara Thomas yang duduk di sampingnya terlihat seperti sedang berada di Syurga. Mereka duduk di salah satu meja yang berada di tengah di antara delapan meja yang tersedia di dalam bangunan club malam mewah di London. Para lelaki memakai setelan jas hitam terbaik mereka sementara yang wanita mengenakan gaun sibuk menonton sambil sesekali mengisi gelas-gelas mereka dengan wine terbaik atau menggelayut manja menunggu kemenangan.Saat ini sedang berlangsung permainan blackjack dan Thomas sedang unggul dan merasa di atas angin. Abigail mencoba untuk duduk nyaman tapi sulit karena ada beberapa pasang mata pria paruh baya menatapnya penuh minat. "Yesss." Thomas menjatuhkan kartu remi di tangannya dengan bersemangat membuat dua pemain yang menjadi lawannya langsung mengumpat dengan wajah kesal. "I win," ucapnya seraya mengambil tumpukan uang taruhan yang ada di tengah lingkaran. "Again.""Kau hanya beruntung, anak muda," ucap lelaki paruh baya yan
"Dasar bajingan!!" Umpat Abigail akhirnya. Thomas menatapnya penuh penyesalan, Abigail seakan tidak percaya kalau dia dijual lagi seperti barang tidak berharga ke lelaki tua yang terlihat sekali begitu mesum. Abigail menantap Thomas dengan mata berkaca-kaca sampai sosoknya tidak terlihat lagi dan terpaksa mengikuti lelaki itu entah kemana. Mencoba memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. "Dia sangat bodoh. Aku beruntung sekali malam ini menemukan mangsa sepertinya yang ambisus tapi bodoh!!" Decak lelaki itu. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail. "Kekasihmu sudah menjualmu jadi kau harus ikut denganku," Ucapnya dengan senyuman miring membuat Abi diliputi kekhawatiran. Mereka sampai di parkiran basemant, Abigail di paksa masuk ke dalam mobil mewah dan mendapatkan pelecehan seksual di sana. Lelaki itu mencoba untuk menggerayangi tubuhnya. Abigail mati-matian untuk menghindar. Abigail mendorong lelaki itu menjauh. "Jauh-jauh dariku!!" Lelaki itu malah tersenyum genit, menarik gaunnya
Dirasakannya tubuhnya gemetaran karena hal mengerikan yang dilihatnya. "Lelaki tua yang cerewet," decaknya, mundur dan berbalik pergi seraya menarik Abigail bersamanya. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail, ketakutan, tetapi lelaki itu sama sekali tidak mendengarnya bahkan menoleh. "Lepaskan!!!" DOOORRRR! Abigail mengatupkan bibir, berlindung di balik bahu saat Lucca menembak seseorang di kejauhan yang tepat sasaran dan beberapa tembakan lagi ke arah lain. Sepertinya pengawal Erick masih beberapa yang bertahan. "Aaahhh—" Abigail tersentak kaget saat Lucca mendorongnya hingga menabrak mobil merah, mencekal lehernya di sana hingga punggungnya terdesak dengan Lucca yang berjarak begitu dekat dengannya. Sepertinya sudah dini hari karena malam semakin dingin dan di sekitar mereka sepi juga gelap, entah dimana. "Kau tidak seharusnya berhasil kabur malam itu" desisnya. "Kau menemukan barang milikku dan aku menyelamatkanmu dari lelaki tua itu." "Tolong lepaskan aku," pinta Abigail. "Apa k
Abigail mengangkat dagunya, mengusap air matanya, berjalan semakin ke dalam bandara di antara banyaknya orang yang berseliweran dan yang pasti Thita juga Letisha sudah tidak terlihat lagi di belakang. Sebelum mencapai bagian imigrasi, lengannya di tarik membuatnya menoleh kaget dan menemukan The Black Rose berdiri di sampingnya.Tanpa mengatakan apapun, Lucca menariknya pergi ke arah lain, setengah menyeret Abigail yang berusaha menyeimbangkan langkah seraya mempertahankan koper yang digeretnya, mencoba menguatkan hati. Sampai di landasan pesawat di mana ada pesawat pribadi yang siap terbang, Lucca melepas cekalannya dan berbalik menghadapnya."Wanita selalu saja menggunakan air mata agar terlihat lemah dan butuh dikasihani. Kau pikir, aku tidak tahu arti tatapan kesedihanmu tadi," desisnya. Abigail bergeming di tempatnya saat Lucca maju dan menghunuskan mata hijau miliknya. "Apa itu satu-satunya senjata yang kalian miliki agar dikasihani?" Abigail mengerutkan kening, tidak terlalu me
Mansion mewah bergaya Italia itu berdiri di pinggir tebing teluk Napoli. Begitu megah tapi juga menakutkan. Memiliki banyak paviliun yang berdiri di bagian barat dan selatan terpisah dari rumah utama yang tengah di pandangi Abigail setelah keluar dari mobil. Maskulin, misterius, menakutkan tapi mempesona. Seperti gambaran pemiliknya, The Black Rose. "Kau sekarang adalah budakku." Abigail menoleh saat Lucca berjalan mengampirinya. "Melakukan apapun yang aku perintahkan tanpa terkecuali dan bantahan. Jangan sekali-kali menangis di depanku untuk meminta belas kasihan. Ini adalah harga yang harus kau bayar karena telah berhasil lolos dariku dan membebaskanmu dari lelaki tua itu." "Sampai kapan?" tanya Abi. Lucca menarik sudut bibirnya, menyeringai, memandangi lekat Abi yang bergeming. "Sampai aku yang membebaskanmu." Memajukan kepalanya dan berbisik di telinganya. "Tapi itu tidak akan terjadi." Abigail memalingkan wajah, menjauhkan kepalanya dari Lucca. "Bawa dia ke tempatnya," perint