London, Inggris
Sebulan kemudian,
London terlihat begitu indah pada awalnya. Saat itu musim semi, bunga warna-warni bermekaran indah di setiap sudut kota, rerumputan mulai tumbuh dan menghijau di taman, matahari begitu cerah hingga membuat banyak orang sepertinya lebih bahagia berjalan-jalan di luar.
Abigail masih ingat dengan jelas hari itu. Ketika dia akhirnya sampai di kota yang mendapatkan julukan The Smoke akibat dari revolusi Industri yang terjadi di London, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia hanya demi menyusul kekasihnya, Thomas Gratt. Meninggalkan seseorang sendirian dan perlu ratusan kali dia meyakinkan dirinya sendiri kalau adiknya akan baik-baik saja tanpa dirinya.
Nyatanya saat ini, dia yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Saat itu Abigail hanya ingin mengikuti kata hatinya. Jika dia pamit pada Shine, maka dia tidak akan pernah sampai di London.
Saat musim semi itu jugalah dia bisa menemukan Thomas dan merasa sangat bahagia. Namun hanya sesaat, hidupnya diibaratkan musim yang terus berganti. Sampai akhirnya dia mendapati dirinya terjebak di musim dingin akibat dari lelaki yang juga menjadi alasannya pergi.
Lelah memikirkan dan menyalahkan dirinya sendiri, Abigail memilih bertahan sampai dia memiliki cara untuk kembali.
Bertahan dalam artian, bersembunyi dari Thomas yang semakin gila karena hobi berjudinya yang sudah mendarah daging. Lelaki blasteran Indonesia - Jerman itu menghabiskan uang warisan keluarganya yang cukup terpandang untuk dihamburkan di kasino.
Las Vegas adalah kota Favoritnya.
Lelaki itu selalu mengatakan mencintainya tapi dirinya kalah telak dari hobi berjudinya sampai akhirnya lelaki itu semakin kehabisan uang dan tega menjualnya untuk mendapatkan uang lagi. Beruntungnya, Abigail berhasil meloloskan diri dan lari menjauh
Yang dia inginkan hanyalah pulang. Tapi itu tidak semudah yang dibayangkan. Abigail harus memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan semua surat-surat pentingnya yang setiap tahun pasti diperbaharui oleh Thomas untuk masa tinggalnya di London. Itu sebabnya dia tidak pernah sekalipun berurusan dengan petugas imigrasi. Abigail sudah seperti warga London pada umumnya meski masih ada batas waktunya.
Menghubungi Shine juga bukan opsi yang akan dia pilih karena dia merasa malu dengan keadaannya saat ini. Jadi, dia harus memikirkan cara lain.
"Hujan di luar tidak akan berhenti begitu saja apalagi berubah cerah seperti musim semi jika kau pandangi seperti itu. Come on, Abi. Duduklah di sini dan kita pikirkan caranya sama-sama. Aku yakin kita pasti akan menemukan jalan keluarnya."
"Aku sedang memikirkan adikku." Abigail menghembuskan napas dan berbalik memandangi Thita, sahabat SMA-nya yang menetap di London, sedang menghabiskan indomie telornya. Ritual yang dia lakukan saat hujan semakin menderas dan hawa semakin dingin seperti saat ini. "Kira-kira apa yang akan dia katakan kalau tahu apa yang terjadi padaku saat ini."
"Sinting—" Suara itu menggema dari dapur. "Idiot dan tolol."
Abigail mengangguk setuju, "Melihat tabiat adikku, sepertinya memang begitu." Dia bergerak menjauh dari jendela flat, menghempaskan pantatnya di sofa, di samping Thita yang langsung menepuk pahanya.
"Tapi dengan linangan air mata. Dia pasti sedih melihatmu seperti ini."
"Aku tahu." Abigail menatap lurus ke arah televisi, tidak tahu apa yang ditontonnya karena matanya membayangkan wajah Shine. "Karena itu aku tidak mau menghubunginya."
"Kau memperumit dirimu sendiri." Letisha muncul, memberikan teh herbal yang tadi dibuatnya.
"Thanks." Abigail menerimanya lalu menyesapnya dengan mata terpejam. Merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggorokan.
Letisha duduk di sofa tunggal, "Apa kau yakin bisa mengambil surat-surat itu dari Thomas? Dia menahannya supaya kau tidak bisa pergi kemana-mana tanpa persetujuannya."
"Apa aku akan berakhir mati di london?"
Sontak saja pertanyaannya membuat kedua sahabatnya menimpuknya dengan bantal sofa. Abigail sampai harus mengangkat gelasnya agar isinya tidak tumpah.
"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!" seru Thita dengan wajah kesal.
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakan pada Shine jika itu yang terjadi," ucap Letisha asal hingga gantian dia yang mendapat lemparan bantal dari Thita.
Abigail tersenyum lembut, "Setidaknya aku memiliki kalian dan aku masih hidup sampai saat ini."
"Aku tidak bisa membayangkan kau yang sendirian di London meratapi nasib diduakan juga disingkirkan hanya karena judi lebih menggiurkan dari pada dirimu." Abigail tersenyum sendu mendengar perkataan Letisha. "Kau melakukan hal yang sia-sia dengan datang ke sini."
"Bukan Abigail yang pantas disalahkan. Dia hanya menuruti kata hatinya. Lelaki seperti Thomas yang brengsek. Bagaimana bisa dia melakukan ini pada kekasihnya sendiri?" ucap Thita.
"Menurutmu mana yang lebih baik, diduakan dengan perempuan atau dengan meja judi?" tanya Letisha.
"Jelas tidak keduanya."
Mereka berdua berdebat sementara Abigail mendengarkan seraya memijat pelipis.
Letisha berdecak, "Lebih sakit hati diduakan karena berjudi kalau ujung-ujungnya kau yang dijual untuk terus tetap bisa bermain. Bukankah itu gila!"
Thita mendesah, "Dan kenapa hal itu sampai bisa terjadi pada Abigail," ucapnya seraya menatapnya dengan wajah sedih.
"Aku sudah tidak peduli dengan Thomas dan judinya. Aku sudah membuka mataku lebar-lebar dan tidak mau kembali padanya. Aku hanya ingin surat-suratku," ucap Abigail.
Letisha dan Thita mengangguk bersamaan lalu tidak ada yang berbicara, masing-masing dari mereka menatap layar televisi, tidak peduli sekalipun Tom Cruise yang muncul di sana, sepertinya ketiganya sedang memikirkan sesuatu.
"Kita bisa pergi ke KBRI dan membuat ulang sementara tanda pengenal, paspor juga visamu," usul Thita.
"Dan mendapatkan berbagai macam pertanyaan dari mereka kenapa aku sampai bisa berkeliaran di London tanpa semua itu dan mempermalukan diriku dengan menceritakan detailnya." Abigail menggelengkan kepala." Tidak!"
"Aku pikir mereka hanya akan ikut prihatin," ucap Letisha.
"Aku akan kembali kesana."
"Ke mana?" Ucap Thita dan Letisha bersama dengan kening berkerut samar.
"Aku dengar dia sedang berjudi di Las Vegas. Ini kesempatan buatku masuk ke dalam rumahnya."
"Itu berbahaya. Sebaiknya jangan." Titha menggelengkan kepala. "Aku tidak setuju."
"Kalau dia menemukanmu, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi," ujar Letisha.
Abigail diam, mencoba memikirkan opsi yang lain. Memandangi hujan yang masih juga menderas di luar. Seakan berharap ada jawabannya.
"Sebaiknya saat ini kau duduk diam saja di sini sementara aku dan Letisha memikirkan cara yang lain. Yang terpenting, dia tidak menemukanmu lagi," usul Thita, mengunyah mie terakhirnya sebelum mendesah karena kekenyangan.
Apakah hanya itu pilihan yang dia miliki saat ini? Kalau ada Shine, apa sekiranya yang akan dia katakan selain sumpah serapah.
"Thita benar. Tetaplah di dalam. Kau sudah cukup lama meninggalkan rumah itu dan tidak tahu bagaimana keadaannya. Bisa saja semuanya sudah berubah dan Thomas sudah tidak menyimpannya lagi di sana."
Abigail hanya diam. Setelah keluar, Abigail menyewa flat murah di sudut kota London yang ramai dan bekerja di toko bunga untuk memenuhi kebutuhannya sementara ini sampai dia bisa pulang. Meski dia tetap memantau Thomas lewat Riley.
Ponsel miliknya di atas meja berbunyi. Abigail mengambilnya dan langsung mengangkatnya di bawah tatapan ingin tahu kedua sahabatnya.
"Hai."
"Abi, kau harus berhati-hati."
Abigail mengatupkan bibir mendengar peringatan Riley, "Apa ada masalah? Kau bertemu dengan Thomas?"
"Bukan Thomas tapi anak buah Lucca Alonzo. Mereka mencarimu."
***
Lucca AlonzoSaat mendengar nama itu lagi, napasnya tercekat sembari memegangi area lehernya. Bayangan lelaki itu tiba-tiba saja masuk ke dalam kepala setelah dia berusaha melupakannya. Lucca mencarinya atau mencari kalung miliknya."Aku tidak tahu kenapa dia menyuruh anak buahnya mencarimu. Aku berhasil menghindar dan saat ini sedang dalam perjalanan ke luar kota London. Kita tidak akan bertemu untuk beberapa waktu. Kau harus berhati-hati. Tapi saranku, sebaiknya kau segera urus suratmu dan pulang. Di sini sudah tidak aman bagimu. Jangan pedulikan Thomas karena dia tidak peduli padamu.""Baiklah. Terima kasih karena masih melindungiku. Aku sangat menghargainya. Kau harus berhati-hati.""Tentu." Lalu hening sesaat sebelum Riley melanjutkan. "Senang mengenalmu Abigail. Aku akan merindukanmu.""Err—ya." Abigail mengusap tengkuknya. "Sampai jumpa lagi."Abigail menurunkan ponselnya saat Riley memutuskan sambungan, memandangi kedua sahabatnya yang menatap ingin tahu. Abi menghela napas pa
Abigail duduk di dalam bus yang membawanya pulang. Secara mengejutkan, Thomas membiarkannya pergi bukannya menahannya di sana. Ditolehkannya kepalanya ke samping,melihat hujan yang belum juga reda di luar. Tidak mempedulikan keadaan bus yang tidak terlalu ramai, Abi bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencoba meyakinkan dirinya kalau Thomas memang tidak main-main.Abigail mengusap air matanya, meletakan kepalanya di kaca bus dan memandangi undangan yang tadi diberikan Thomas. Abigail membalik-baliknya berkali-kali. Sebuah undangan pesta topeng yang diadakan salah satu pengusaha London. Abi bisa membaca motif Thomas pergi ke sana."Aldrick," gumam Abigail saat melihat nama pengundang yang tertera di sana. Abi mengangkat pandangan dan menghirup aroma dinginnya malam. "Tuhan, semoga ini jalan keluarnya," ucapnya mencoba mencari keyakinan atas pilihan yang akan diambilnya.Abigail menatap London Eye di kejauhan yang nampak cantik tapi perlahan mengabur saat matanya kembali berkaca-kaca.*
Abigail merasa seperti berada di Neraka sementara Thomas yang duduk di sampingnya terlihat seperti sedang berada di Syurga. Mereka duduk di salah satu meja yang berada di tengah di antara delapan meja yang tersedia di dalam bangunan club malam mewah di London. Para lelaki memakai setelan jas hitam terbaik mereka sementara yang wanita mengenakan gaun sibuk menonton sambil sesekali mengisi gelas-gelas mereka dengan wine terbaik atau menggelayut manja menunggu kemenangan.Saat ini sedang berlangsung permainan blackjack dan Thomas sedang unggul dan merasa di atas angin. Abigail mencoba untuk duduk nyaman tapi sulit karena ada beberapa pasang mata pria paruh baya menatapnya penuh minat. "Yesss." Thomas menjatuhkan kartu remi di tangannya dengan bersemangat membuat dua pemain yang menjadi lawannya langsung mengumpat dengan wajah kesal. "I win," ucapnya seraya mengambil tumpukan uang taruhan yang ada di tengah lingkaran. "Again.""Kau hanya beruntung, anak muda," ucap lelaki paruh baya yan
"Dasar bajingan!!" Umpat Abigail akhirnya. Thomas menatapnya penuh penyesalan, Abigail seakan tidak percaya kalau dia dijual lagi seperti barang tidak berharga ke lelaki tua yang terlihat sekali begitu mesum. Abigail menantap Thomas dengan mata berkaca-kaca sampai sosoknya tidak terlihat lagi dan terpaksa mengikuti lelaki itu entah kemana. Mencoba memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. "Dia sangat bodoh. Aku beruntung sekali malam ini menemukan mangsa sepertinya yang ambisus tapi bodoh!!" Decak lelaki itu. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail. "Kekasihmu sudah menjualmu jadi kau harus ikut denganku," Ucapnya dengan senyuman miring membuat Abi diliputi kekhawatiran. Mereka sampai di parkiran basemant, Abigail di paksa masuk ke dalam mobil mewah dan mendapatkan pelecehan seksual di sana. Lelaki itu mencoba untuk menggerayangi tubuhnya. Abigail mati-matian untuk menghindar. Abigail mendorong lelaki itu menjauh. "Jauh-jauh dariku!!" Lelaki itu malah tersenyum genit, menarik gaunnya
Dirasakannya tubuhnya gemetaran karena hal mengerikan yang dilihatnya. "Lelaki tua yang cerewet," decaknya, mundur dan berbalik pergi seraya menarik Abigail bersamanya. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail, ketakutan, tetapi lelaki itu sama sekali tidak mendengarnya bahkan menoleh. "Lepaskan!!!" DOOORRRR! Abigail mengatupkan bibir, berlindung di balik bahu saat Lucca menembak seseorang di kejauhan yang tepat sasaran dan beberapa tembakan lagi ke arah lain. Sepertinya pengawal Erick masih beberapa yang bertahan. "Aaahhh—" Abigail tersentak kaget saat Lucca mendorongnya hingga menabrak mobil merah, mencekal lehernya di sana hingga punggungnya terdesak dengan Lucca yang berjarak begitu dekat dengannya. Sepertinya sudah dini hari karena malam semakin dingin dan di sekitar mereka sepi juga gelap, entah dimana. "Kau tidak seharusnya berhasil kabur malam itu" desisnya. "Kau menemukan barang milikku dan aku menyelamatkanmu dari lelaki tua itu." "Tolong lepaskan aku," pinta Abigail. "Apa k
Abigail mengangkat dagunya, mengusap air matanya, berjalan semakin ke dalam bandara di antara banyaknya orang yang berseliweran dan yang pasti Thita juga Letisha sudah tidak terlihat lagi di belakang. Sebelum mencapai bagian imigrasi, lengannya di tarik membuatnya menoleh kaget dan menemukan The Black Rose berdiri di sampingnya.Tanpa mengatakan apapun, Lucca menariknya pergi ke arah lain, setengah menyeret Abigail yang berusaha menyeimbangkan langkah seraya mempertahankan koper yang digeretnya, mencoba menguatkan hati. Sampai di landasan pesawat di mana ada pesawat pribadi yang siap terbang, Lucca melepas cekalannya dan berbalik menghadapnya."Wanita selalu saja menggunakan air mata agar terlihat lemah dan butuh dikasihani. Kau pikir, aku tidak tahu arti tatapan kesedihanmu tadi," desisnya. Abigail bergeming di tempatnya saat Lucca maju dan menghunuskan mata hijau miliknya. "Apa itu satu-satunya senjata yang kalian miliki agar dikasihani?" Abigail mengerutkan kening, tidak terlalu me
Mansion mewah bergaya Italia itu berdiri di pinggir tebing teluk Napoli. Begitu megah tapi juga menakutkan. Memiliki banyak paviliun yang berdiri di bagian barat dan selatan terpisah dari rumah utama yang tengah di pandangi Abigail setelah keluar dari mobil. Maskulin, misterius, menakutkan tapi mempesona. Seperti gambaran pemiliknya, The Black Rose. "Kau sekarang adalah budakku." Abigail menoleh saat Lucca berjalan mengampirinya. "Melakukan apapun yang aku perintahkan tanpa terkecuali dan bantahan. Jangan sekali-kali menangis di depanku untuk meminta belas kasihan. Ini adalah harga yang harus kau bayar karena telah berhasil lolos dariku dan membebaskanmu dari lelaki tua itu." "Sampai kapan?" tanya Abi. Lucca menarik sudut bibirnya, menyeringai, memandangi lekat Abi yang bergeming. "Sampai aku yang membebaskanmu." Memajukan kepalanya dan berbisik di telinganya. "Tapi itu tidak akan terjadi." Abigail memalingkan wajah, menjauhkan kepalanya dari Lucca. "Bawa dia ke tempatnya," perint
Abigail memang bukan wanita perawan lagi. Thomas mendapatkan kesempatan emas itu setelah berusaha meyakinkannya kalau mereka akan selalu bersama dan saling mencintai. Betapa picik dan bodohnya keputusan itu saat ini. Menyerahkan sesuatu yang begitu berharga untuk lelaki yang tidak pantas menerimanya. Namun, di luar dari pada itu, Abigail akan berpikir ratusan kali untuk menjadi budak nafsu seperti Bellatrix dan empat wanita lainnya. Terjebak di mansion mewah, meski mendapatkan apapun yang mereka inginkan tapi harus memuaskan napsu tuannya yang memiliki perangai mengerikan. Sampai mati, Abi tidak akan menukar harga dirinya untuk diberikan ke Lucca. Tidak peduli dia akan menjadi pembantu di mansion seumur hidupnya. Meskipun dari ekspresi Bellatrix, menjadi pemuas nafsu The Black Rose seperti sebuah kebanggaan. Dilihat dari betapa congkaknya dia bisa mengalahkan empat wanita lainnya malam ini. Abigail tidak bisa menemukan di mana bagusnya menjadi pelacur ketua mafia yang tidak perlu d