Share

BAB 3

last update Last Updated: 2023-02-25 16:58:58

London, Inggris

Sebulan kemudian,

London terlihat begitu indah pada awalnya. Saat itu musim semi, bunga warna-warni bermekaran indah di setiap sudut kota, rerumputan mulai tumbuh dan menghijau di taman, matahari begitu cerah hingga membuat banyak orang sepertinya lebih bahagia berjalan-jalan di luar.

Abigail masih ingat dengan jelas hari itu. Ketika dia akhirnya sampai di kota yang mendapatkan julukan The Smoke akibat dari revolusi Industri yang terjadi di London, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia hanya demi menyusul kekasihnya, Thomas Gratt. Meninggalkan seseorang sendirian dan perlu ratusan kali dia meyakinkan dirinya sendiri kalau adiknya akan baik-baik saja tanpa dirinya.

Nyatanya saat ini, dia yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Saat itu Abigail hanya ingin mengikuti kata hatinya. Jika dia pamit pada Shine, maka dia tidak akan pernah sampai di London.

Saat musim semi itu jugalah dia bisa menemukan Thomas dan merasa sangat bahagia. Namun hanya sesaat, hidupnya diibaratkan musim yang terus berganti. Sampai akhirnya dia mendapati dirinya terjebak di musim dingin akibat dari lelaki yang juga menjadi alasannya pergi.

Lelah memikirkan dan menyalahkan dirinya sendiri, Abigail memilih bertahan sampai dia memiliki cara untuk kembali.

Bertahan dalam artian, bersembunyi dari Thomas yang semakin gila karena hobi berjudinya yang sudah mendarah daging. Lelaki blasteran Indonesia - Jerman itu menghabiskan uang warisan keluarganya yang cukup terpandang untuk dihamburkan di kasino.

Las Vegas adalah kota Favoritnya.

Lelaki itu selalu mengatakan mencintainya tapi dirinya kalah telak dari hobi berjudinya sampai akhirnya lelaki itu semakin kehabisan uang dan tega menjualnya untuk mendapatkan uang lagi. Beruntungnya, Abigail berhasil meloloskan diri dan lari menjauh

Yang dia inginkan hanyalah pulang. Tapi itu tidak semudah yang dibayangkan.  Abigail harus memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan semua surat-surat pentingnya yang setiap tahun pasti diperbaharui oleh Thomas untuk masa tinggalnya di London. Itu sebabnya dia tidak pernah sekalipun berurusan dengan petugas imigrasi. Abigail sudah seperti warga London pada umumnya meski masih ada batas waktunya.

Menghubungi Shine juga bukan opsi yang akan dia pilih karena dia merasa malu dengan keadaannya saat ini. Jadi, dia harus memikirkan cara lain.

"Hujan di luar tidak akan berhenti begitu saja apalagi berubah cerah seperti musim semi jika kau pandangi seperti itu. Come on, Abi. Duduklah di sini dan kita pikirkan caranya sama-sama. Aku yakin kita pasti akan menemukan jalan keluarnya."

"Aku sedang memikirkan adikku." Abigail menghembuskan napas dan berbalik memandangi Thita, sahabat SMA-nya yang menetap di London, sedang menghabiskan indomie telornya. Ritual yang dia lakukan saat hujan semakin menderas dan hawa semakin dingin seperti saat ini. "Kira-kira apa yang akan dia katakan kalau tahu apa yang terjadi padaku saat ini."

"Sinting—" Suara itu menggema dari dapur. "Idiot dan tolol."

Abigail mengangguk setuju, "Melihat tabiat adikku, sepertinya memang begitu." Dia bergerak menjauh dari jendela flat, menghempaskan pantatnya di sofa, di samping Thita yang langsung menepuk pahanya.

"Tapi dengan linangan air mata. Dia pasti sedih melihatmu seperti ini."

"Aku tahu." Abigail menatap lurus ke arah televisi, tidak tahu apa yang ditontonnya karena matanya membayangkan wajah Shine. "Karena itu aku tidak mau menghubunginya."

"Kau memperumit dirimu sendiri." Letisha muncul, memberikan teh herbal yang tadi dibuatnya.

"Thanks." Abigail menerimanya lalu menyesapnya dengan mata terpejam. Merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggorokan.

Letisha duduk di sofa tunggal, "Apa kau yakin bisa mengambil surat-surat itu dari Thomas? Dia menahannya supaya kau tidak bisa pergi kemana-mana tanpa persetujuannya."

"Apa aku akan berakhir mati di london?"

Sontak saja pertanyaannya membuat kedua sahabatnya menimpuknya dengan bantal sofa. Abigail sampai harus mengangkat gelasnya agar isinya tidak tumpah.

"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!" seru Thita dengan wajah kesal.

"Aku tidak tahu bagaimana mengatakan pada Shine jika itu yang terjadi," ucap Letisha asal hingga gantian dia yang mendapat lemparan bantal dari  Thita.

Abigail tersenyum lembut, "Setidaknya aku memiliki kalian dan aku masih hidup sampai saat ini."

"Aku tidak bisa membayangkan kau yang sendirian di London meratapi nasib diduakan juga disingkirkan hanya karena judi lebih menggiurkan dari pada dirimu." Abigail tersenyum sendu mendengar perkataan Letisha. "Kau melakukan hal yang sia-sia dengan datang ke sini."

"Bukan Abigail yang pantas disalahkan. Dia hanya menuruti kata hatinya. Lelaki seperti Thomas yang brengsek. Bagaimana bisa dia melakukan ini pada kekasihnya sendiri?" ucap Thita.

"Menurutmu mana yang lebih baik, diduakan dengan perempuan atau dengan meja judi?" tanya Letisha.

"Jelas tidak keduanya."

Mereka berdua berdebat sementara Abigail mendengarkan seraya memijat pelipis.

Letisha berdecak, "Lebih sakit hati diduakan karena berjudi kalau ujung-ujungnya kau yang dijual untuk terus tetap bisa bermain. Bukankah itu gila!"

Thita mendesah, "Dan kenapa hal itu sampai bisa terjadi pada Abigail," ucapnya seraya menatapnya dengan wajah sedih.

"Aku sudah tidak peduli dengan Thomas dan judinya. Aku sudah membuka mataku lebar-lebar dan tidak mau kembali padanya. Aku hanya ingin surat-suratku," ucap Abigail.

Letisha dan Thita mengangguk bersamaan lalu tidak ada yang berbicara, masing-masing dari mereka menatap layar televisi, tidak peduli sekalipun Tom Cruise yang muncul di sana, sepertinya ketiganya sedang memikirkan sesuatu.

"Kita bisa pergi ke KBRI dan membuat ulang sementara tanda pengenal, paspor juga visamu," usul Thita.

"Dan mendapatkan berbagai macam pertanyaan dari mereka kenapa aku sampai bisa berkeliaran di London tanpa semua itu dan mempermalukan diriku  dengan menceritakan detailnya." Abigail menggelengkan kepala." Tidak!"

"Aku pikir mereka hanya akan ikut prihatin," ucap Letisha.

"Aku akan kembali kesana."

"Ke mana?" Ucap Thita dan Letisha bersama dengan kening berkerut samar.

"Aku dengar dia sedang berjudi di Las Vegas. Ini kesempatan buatku masuk ke dalam rumahnya."

"Itu berbahaya. Sebaiknya jangan." Titha menggelengkan kepala. "Aku tidak setuju."

"Kalau dia menemukanmu, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi," ujar Letisha.

Abigail diam, mencoba memikirkan opsi yang lain. Memandangi hujan yang masih juga menderas di luar. Seakan berharap ada jawabannya.

"Sebaiknya saat ini kau duduk diam saja di sini sementara aku dan Letisha memikirkan cara yang lain. Yang terpenting, dia tidak menemukanmu lagi," usul Thita, mengunyah mie terakhirnya sebelum mendesah karena kekenyangan.

Apakah hanya itu pilihan yang dia miliki saat ini? Kalau ada Shine, apa sekiranya yang akan dia katakan selain sumpah serapah.

"Thita benar. Tetaplah di dalam. Kau sudah cukup lama meninggalkan rumah itu dan tidak tahu bagaimana keadaannya. Bisa saja semuanya sudah berubah dan Thomas sudah tidak menyimpannya lagi di sana."

Abigail hanya diam. Setelah keluar, Abigail menyewa flat murah di sudut kota London yang ramai dan bekerja di toko bunga untuk memenuhi kebutuhannya sementara ini sampai dia bisa pulang. Meski dia tetap memantau Thomas lewat Riley.

Ponsel miliknya di atas meja berbunyi. Abigail mengambilnya dan langsung mengangkatnya di bawah tatapan ingin tahu kedua sahabatnya.

"Hai."

"Abi, kau harus berhati-hati."

Abigail mengatupkan bibir mendengar peringatan Riley, "Apa ada masalah? Kau bertemu dengan Thomas?"

"Bukan Thomas tapi anak buah Lucca Alonzo. Mereka mencarimu."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 190

    Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 189

    Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 188

    Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 187

    "Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 186

    "Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 185

    Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 184

    "Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 183

    Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya

  • SANG PENAKLUK MAFIA   BAB 182

    Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status