Share

BAB 3

London, Inggris

Sebulan kemudian,

London terlihat begitu indah pada awalnya. Saat itu musim semi, bunga warna-warni bermekaran indah di setiap sudut kota, rerumputan mulai tumbuh dan menghijau di taman, matahari begitu cerah hingga membuat banyak orang sepertinya lebih bahagia berjalan-jalan di luar.

Abigail masih ingat dengan jelas hari itu. Ketika dia akhirnya sampai di kota yang mendapatkan julukan The Smoke akibat dari revolusi Industri yang terjadi di London, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia hanya demi menyusul kekasihnya, Thomas Gratt. Meninggalkan seseorang sendirian dan perlu ratusan kali dia meyakinkan dirinya sendiri kalau adiknya akan baik-baik saja tanpa dirinya.

Nyatanya saat ini, dia yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Saat itu Abigail hanya ingin mengikuti kata hatinya. Jika dia pamit pada Shine, maka dia tidak akan pernah sampai di London.

Saat musim semi itu jugalah dia bisa menemukan Thomas dan merasa sangat bahagia. Namun hanya sesaat, hidupnya diibaratkan musim yang terus berganti. Sampai akhirnya dia mendapati dirinya terjebak di musim dingin akibat dari lelaki yang juga menjadi alasannya pergi.

Lelah memikirkan dan menyalahkan dirinya sendiri, Abigail memilih bertahan sampai dia memiliki cara untuk kembali.

Bertahan dalam artian, bersembunyi dari Thomas yang semakin gila karena hobi berjudinya yang sudah mendarah daging. Lelaki blasteran Indonesia - Jerman itu menghabiskan uang warisan keluarganya yang cukup terpandang untuk dihamburkan di kasino.

Las Vegas adalah kota Favoritnya.

Lelaki itu selalu mengatakan mencintainya tapi dirinya kalah telak dari hobi berjudinya sampai akhirnya lelaki itu semakin kehabisan uang dan tega menjualnya untuk mendapatkan uang lagi. Beruntungnya, Abigail berhasil meloloskan diri dan lari menjauh

Yang dia inginkan hanyalah pulang. Tapi itu tidak semudah yang dibayangkan.  Abigail harus memikirkan cara bagaimana dia bisa mendapatkan semua surat-surat pentingnya yang setiap tahun pasti diperbaharui oleh Thomas untuk masa tinggalnya di London. Itu sebabnya dia tidak pernah sekalipun berurusan dengan petugas imigrasi. Abigail sudah seperti warga London pada umumnya meski masih ada batas waktunya.

Menghubungi Shine juga bukan opsi yang akan dia pilih karena dia merasa malu dengan keadaannya saat ini. Jadi, dia harus memikirkan cara lain.

"Hujan di luar tidak akan berhenti begitu saja apalagi berubah cerah seperti musim semi jika kau pandangi seperti itu. Come on, Abi. Duduklah di sini dan kita pikirkan caranya sama-sama. Aku yakin kita pasti akan menemukan jalan keluarnya."

"Aku sedang memikirkan adikku." Abigail menghembuskan napas dan berbalik memandangi Thita, sahabat SMA-nya yang menetap di London, sedang menghabiskan indomie telornya. Ritual yang dia lakukan saat hujan semakin menderas dan hawa semakin dingin seperti saat ini. "Kira-kira apa yang akan dia katakan kalau tahu apa yang terjadi padaku saat ini."

"Sinting—" Suara itu menggema dari dapur. "Idiot dan tolol."

Abigail mengangguk setuju, "Melihat tabiat adikku, sepertinya memang begitu." Dia bergerak menjauh dari jendela flat, menghempaskan pantatnya di sofa, di samping Thita yang langsung menepuk pahanya.

"Tapi dengan linangan air mata. Dia pasti sedih melihatmu seperti ini."

"Aku tahu." Abigail menatap lurus ke arah televisi, tidak tahu apa yang ditontonnya karena matanya membayangkan wajah Shine. "Karena itu aku tidak mau menghubunginya."

"Kau memperumit dirimu sendiri." Letisha muncul, memberikan teh herbal yang tadi dibuatnya.

"Thanks." Abigail menerimanya lalu menyesapnya dengan mata terpejam. Merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggorokan.

Letisha duduk di sofa tunggal, "Apa kau yakin bisa mengambil surat-surat itu dari Thomas? Dia menahannya supaya kau tidak bisa pergi kemana-mana tanpa persetujuannya."

"Apa aku akan berakhir mati di london?"

Sontak saja pertanyaannya membuat kedua sahabatnya menimpuknya dengan bantal sofa. Abigail sampai harus mengangkat gelasnya agar isinya tidak tumpah.

"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!" seru Thita dengan wajah kesal.

"Aku tidak tahu bagaimana mengatakan pada Shine jika itu yang terjadi," ucap Letisha asal hingga gantian dia yang mendapat lemparan bantal dari  Thita.

Abigail tersenyum lembut, "Setidaknya aku memiliki kalian dan aku masih hidup sampai saat ini."

"Aku tidak bisa membayangkan kau yang sendirian di London meratapi nasib diduakan juga disingkirkan hanya karena judi lebih menggiurkan dari pada dirimu." Abigail tersenyum sendu mendengar perkataan Letisha. "Kau melakukan hal yang sia-sia dengan datang ke sini."

"Bukan Abigail yang pantas disalahkan. Dia hanya menuruti kata hatinya. Lelaki seperti Thomas yang brengsek. Bagaimana bisa dia melakukan ini pada kekasihnya sendiri?" ucap Thita.

"Menurutmu mana yang lebih baik, diduakan dengan perempuan atau dengan meja judi?" tanya Letisha.

"Jelas tidak keduanya."

Mereka berdua berdebat sementara Abigail mendengarkan seraya memijat pelipis.

Letisha berdecak, "Lebih sakit hati diduakan karena berjudi kalau ujung-ujungnya kau yang dijual untuk terus tetap bisa bermain. Bukankah itu gila!"

Thita mendesah, "Dan kenapa hal itu sampai bisa terjadi pada Abigail," ucapnya seraya menatapnya dengan wajah sedih.

"Aku sudah tidak peduli dengan Thomas dan judinya. Aku sudah membuka mataku lebar-lebar dan tidak mau kembali padanya. Aku hanya ingin surat-suratku," ucap Abigail.

Letisha dan Thita mengangguk bersamaan lalu tidak ada yang berbicara, masing-masing dari mereka menatap layar televisi, tidak peduli sekalipun Tom Cruise yang muncul di sana, sepertinya ketiganya sedang memikirkan sesuatu.

"Kita bisa pergi ke KBRI dan membuat ulang sementara tanda pengenal, paspor juga visamu," usul Thita.

"Dan mendapatkan berbagai macam pertanyaan dari mereka kenapa aku sampai bisa berkeliaran di London tanpa semua itu dan mempermalukan diriku  dengan menceritakan detailnya." Abigail menggelengkan kepala." Tidak!"

"Aku pikir mereka hanya akan ikut prihatin," ucap Letisha.

"Aku akan kembali kesana."

"Ke mana?" Ucap Thita dan Letisha bersama dengan kening berkerut samar.

"Aku dengar dia sedang berjudi di Las Vegas. Ini kesempatan buatku masuk ke dalam rumahnya."

"Itu berbahaya. Sebaiknya jangan." Titha menggelengkan kepala. "Aku tidak setuju."

"Kalau dia menemukanmu, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi," ujar Letisha.

Abigail diam, mencoba memikirkan opsi yang lain. Memandangi hujan yang masih juga menderas di luar. Seakan berharap ada jawabannya.

"Sebaiknya saat ini kau duduk diam saja di sini sementara aku dan Letisha memikirkan cara yang lain. Yang terpenting, dia tidak menemukanmu lagi," usul Thita, mengunyah mie terakhirnya sebelum mendesah karena kekenyangan.

Apakah hanya itu pilihan yang dia miliki saat ini? Kalau ada Shine, apa sekiranya yang akan dia katakan selain sumpah serapah.

"Thita benar. Tetaplah di dalam. Kau sudah cukup lama meninggalkan rumah itu dan tidak tahu bagaimana keadaannya. Bisa saja semuanya sudah berubah dan Thomas sudah tidak menyimpannya lagi di sana."

Abigail hanya diam. Setelah keluar, Abigail menyewa flat murah di sudut kota London yang ramai dan bekerja di toko bunga untuk memenuhi kebutuhannya sementara ini sampai dia bisa pulang. Meski dia tetap memantau Thomas lewat Riley.

Ponsel miliknya di atas meja berbunyi. Abigail mengambilnya dan langsung mengangkatnya di bawah tatapan ingin tahu kedua sahabatnya.

"Hai."

"Abi, kau harus berhati-hati."

Abigail mengatupkan bibir mendengar peringatan Riley, "Apa ada masalah? Kau bertemu dengan Thomas?"

"Bukan Thomas tapi anak buah Lucca Alonzo. Mereka mencarimu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status