00:30, Dermaga Greenwich, London, Inggris
Aku buta,
Aku tidak bisa melihat apapun dengan jelas. Aku terjebak.Mungkin, semuanya sudah terlambat.Kalimat itu terus terulang di kepala Abigail. Kakinya bergerak lebih cepat dari yang dia rasakan. Pikirannya memerintahkan untuk terus berlari.
Sesekali kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan enam lelaki yang mengejarnya masih jauh. Berharap bisa meloloskan diri meskipun Abigail sadar di sela napasnya yang semakin terasa berat, kemungkinan besarnya, dia akan tertangkap.
Semua ini karena kebodohannya sendiri yang terlalu ingin tahu. Tidak sengaja melihat apa yang seharusnya tidak dia lihat.
Hosh..Hoshh..Hoshh..Hoshh..
Napasnya pendek-pendek, kakinya mulai letih, air matanya mendesak keluar. Apakah ada yang akan menolongnya saat ini?Abigail memilih untuk terus berlari.Membiarkan saja rambut hitamnya berkibar tertiup angin laut yang berhembus. Berlari di antara kontainer yang tersebar di sekitar dermaga. Sialnya, dia malah menjauhi keramaian di sisi lain bar.
Saat napasnya mulai terasa sesak, Abigail melihat ada celah tertutup di antara kontainer dengan bangunan di sampingnya tidak jauh di depan dan bergegas masuk untuk berlindung.
"Please, pergilah. Please," gumamnya berkali-kali seraya memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. "Aku tidak melihat apapun."
Bunyi langkah kaki di kejauhan terdengar semakin mendekat. Abigail menutup mulutnya sendiri dengan tangan agar tidak mengeluarkan suara apapun. Menahan napasnya saat para lelaki berpakaian hitam itu lewat.
Beberapa saat dia hanya diam, memastikan mereka tidak kembali agar dia bisa pergi dan mencari bantuan."Tuhan, lindungi aku," ucapnya dengan penuh keyakinan, keluar dari persembunyian saat dirasa cukup aman ke arah yang berlawanan. Gerombolan lelaki itu sudah tidak terdengar lagi dan inilah kesempatannya untuk kabur.
Hanya tinggal beberapa belokan seperti yang diingatnya tadi, dia akan lolos. Sesaat Abigail menoleh ke belakang memastikan tidak ada yang mengikuti dan ketika kembali menghadap depan, kakinya langsung berhenti berlari sebelum menabrak seorang lelaki yang menghadang jalannya dengan wajah tertutupi topi hitam bundar. Coat hitam panjangnya berkibar tertiup angin laut.
Dengan napas naik turun, Abigail berdiri di sana didera ketakutan yang amat nyata. Laki-laki itu hanya diam, tidak melakukan apapun tapi Abigail seperti tidak bisa bergerak. Padahal kesempatan satu-satunya hanyalah berbalik dan lari menjauh tapi dia seakan membeku di tempatnya memandangi lelaki yang merupakan pimpinan semua orang-orang menakutkan itu. Dia melihatnya membunuh beberapa orang di dalam sana.
Aku akan mati!
Laki-laki itu bergerak maju, Abigail menahan napasnya. Saat mereka berdiri berhadapan, dia mengangkat sedikit kepalanya dan Abigail seakan melihat malaikat. Angel yang turun dari langit karena ketampanannya.
Abigail terkesiap saat lelaki itu dengan gerak cepat mengulurkan tangan berbalut sarung tangan hitam, mencengkram lehernya kuat mengabaikan kenyataan kalau dia seorang wanita."Please—" Abi menahan lengan kuat itu dengan kedua tangannya sendiri, mencoba berbicara. "A-ku tida-k me-lihat apa-pun."
Cengkramannya menguat, Abigail berdesis merasakan sakit.
Biasanya Devil serupa dengan Angel."Ya aku percaya." Laki-laki itu berbicara Bahasa inggris dengan aksen yang terdengar sedikit aneh. "Namun, aku harus mencongkel kedua bola mata indahmu itu lebih dulu."
"To-long, le-paskan a-ku." Abigail semakin tidak bisa bernapas dengan benar. "Ak-u tid-ak ak-an meng-atakannya p-ada siapa-pun."
Lelaki itu menarik sedikit sudut bibirnya ke samping. Abigail melirik sekilas ke bawah, melihat kalung putih bentuk salib yang melingkari lehernya tapi buru-buru dialihkannya lagi tatapannya ke wajah lelaki itu.
"Aku sering mendengar kalimat itu dari orang-orang yang bertemu denganku sebelumnya." Abigail memejamkan mata saat lehernya semakin dicengkram. "Sayang sekali, wanita secantik dirimu berada di tempat dan waktu yang salah. Siapa yang harus disalahkan? Hmm?"
Abigail kembali membuka mata, "Am-puni ak-u."
"Pengampunan." Nada suaranya terdengar meremehkan. "Apa setiap orang hanya bisa mengatakan hal itu padahal mereka sadar, ada konsekuensi disetiap tindakan dan aku sama sekali tidak menyukai orang-orang yang terlalu ingin tahu sepertimu," tambahnya penuh penekanan.
"Ap-a yang bis-a aku lak-ukan ag-ar men-dapat pen-gampunanmu?"
"Apa yang bisa kau tawarkan?" Lelaki itu bertanya balik. "Jangan katakan tubuhmu karena aku sama sekali tidak tertarik."
"Aku juga tidak sudi—ssshhh," desis Abigail, semakin merasakan sesak. "Ap-a yang ka-u ingin-kan se-lain hal it-u?"
Senyuman smirknya semakin membuat Abigail takut. Lelaki tampan itu memiliki pandangan yang membuat siapapun teepesona tapi juga takut di saat yang bersamaan.
"Kematianmu," bibirnya menyunggingkan senyuman menakutkan.
Abigail membenamkan kukunya di lengan lelaki itu dengan rasa takut yang menjalar.
"Siapa namamu?" Abigail diam, cengkramannya menguat, dia berdesis, "Siapa namamu?"
"Abi. Na-maku Abi."
"Halo Abi," sapanya. "Sepertinya malam ini bukan malam keberuntunganmu karena bertemu denganku."
Laki-laki itu semakin mencengkram lehernya erat membuatnya tidak lagi mendapatkan asupan udara hingga dadanya sesak. Seperti ikan yang dilempar ke daratan tanpa peringatan. Kepalanya terasa sakit dan dia tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan diri.
Aku akan mati. Siapapun, help me.BRUUMMMMMM!!
Tiba-tiba suara mobil yang datang mengagetkan keduanya. Sorot lampunya membuat pandangan silau, tanpa benar-benar sadar, mobil itu melaju mendekat dengan suara mesinnya yang menggelegar ke tempat di mana mereka berada.
BRAAAAKKK!!
Setelah hantaman itu, Abi merasakan tubuhnya terlempar bersama dengan lelaki itu dan terjatuh di aspal dingin dengan rasa nyeri yang tidak terelakkan.
***
"Eergghhhh," rintihnya. Tubuhnya sakit semua. Memegangi lehernya yang nyeri, Abigail mencoba untuk bergerak."Abi." Suara yang dikenalnya terdengar, terlalu silau untuk memastikan. "Kau baik-baik saja?""Riley," ucapnya ragu dengan suara serak."Aku di sini." Abigail merasakan seseorang menggendongnya. "Ayo kita pergi dari sini."Abi pasrah saat Riley membawa dan memasukkannya ke mobil, bergegas ke kursi kemudi, memundurkan mobilnya menjauh. Abi yang memegangi lehernya menatap bajingan yang tadi ingin membunuhnya sudah bangkit berdiri seraya memakai topinya lagi.Riley memberhentikan mobilnya dengan mesin menyala, menghadap ke lelaki itu yang hanya diam di tempatnya memandangi Abigail. Tidak menyadari kalau lelaki itu sudah mengacungkan tembakan.DORRR...DORRR...DORRRPRAAANKKK!"Sial!” Riley mengumpat, Abigail merundukkan kepala, kaca spion di sisi Riley pecah, ada lubang di kaca mobil atas dan entah di mana peluru yang lain meninggalkan bekas.Riley banting setir, menginjak pedal ga
London, InggrisSebulan kemudian,London terlihat begitu indah pada awalnya. Saat itu musim semi, bunga warna-warni bermekaran indah di setiap sudut kota, rerumputan mulai tumbuh dan menghijau di taman, matahari begitu cerah hingga membuat banyak orang sepertinya lebih bahagia berjalan-jalan di luar.Abigail masih ingat dengan jelas hari itu. Ketika dia akhirnya sampai di kota yang mendapatkan julukan The Smoke akibat dari revolusi Industri yang terjadi di London, setelah menempuh perjalanan panjang dari Indonesia hanya demi menyusul kekasihnya, Thomas Gratt. Meninggalkan seseorang sendirian dan perlu ratusan kali dia meyakinkan dirinya sendiri kalau adiknya akan baik-baik saja tanpa dirinya.Nyatanya saat ini, dia yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.Saat itu Abigail hanya ingin mengikuti kata hatinya. Jika dia pamit pada Shine, maka dia tidak akan pernah sampai di London.Saat musim semi itu jugalah dia bisa menemukan Thomas dan merasa sangat bahagia. Namun hanya sesaat, hidupny
Lucca AlonzoSaat mendengar nama itu lagi, napasnya tercekat sembari memegangi area lehernya. Bayangan lelaki itu tiba-tiba saja masuk ke dalam kepala setelah dia berusaha melupakannya. Lucca mencarinya atau mencari kalung miliknya."Aku tidak tahu kenapa dia menyuruh anak buahnya mencarimu. Aku berhasil menghindar dan saat ini sedang dalam perjalanan ke luar kota London. Kita tidak akan bertemu untuk beberapa waktu. Kau harus berhati-hati. Tapi saranku, sebaiknya kau segera urus suratmu dan pulang. Di sini sudah tidak aman bagimu. Jangan pedulikan Thomas karena dia tidak peduli padamu.""Baiklah. Terima kasih karena masih melindungiku. Aku sangat menghargainya. Kau harus berhati-hati.""Tentu." Lalu hening sesaat sebelum Riley melanjutkan. "Senang mengenalmu Abigail. Aku akan merindukanmu.""Err—ya." Abigail mengusap tengkuknya. "Sampai jumpa lagi."Abigail menurunkan ponselnya saat Riley memutuskan sambungan, memandangi kedua sahabatnya yang menatap ingin tahu. Abi menghela napas pa
Abigail duduk di dalam bus yang membawanya pulang. Secara mengejutkan, Thomas membiarkannya pergi bukannya menahannya di sana. Ditolehkannya kepalanya ke samping,melihat hujan yang belum juga reda di luar. Tidak mempedulikan keadaan bus yang tidak terlalu ramai, Abi bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencoba meyakinkan dirinya kalau Thomas memang tidak main-main.Abigail mengusap air matanya, meletakan kepalanya di kaca bus dan memandangi undangan yang tadi diberikan Thomas. Abigail membalik-baliknya berkali-kali. Sebuah undangan pesta topeng yang diadakan salah satu pengusaha London. Abi bisa membaca motif Thomas pergi ke sana."Aldrick," gumam Abigail saat melihat nama pengundang yang tertera di sana. Abi mengangkat pandangan dan menghirup aroma dinginnya malam. "Tuhan, semoga ini jalan keluarnya," ucapnya mencoba mencari keyakinan atas pilihan yang akan diambilnya.Abigail menatap London Eye di kejauhan yang nampak cantik tapi perlahan mengabur saat matanya kembali berkaca-kaca.*
Abigail merasa seperti berada di Neraka sementara Thomas yang duduk di sampingnya terlihat seperti sedang berada di Syurga. Mereka duduk di salah satu meja yang berada di tengah di antara delapan meja yang tersedia di dalam bangunan club malam mewah di London. Para lelaki memakai setelan jas hitam terbaik mereka sementara yang wanita mengenakan gaun sibuk menonton sambil sesekali mengisi gelas-gelas mereka dengan wine terbaik atau menggelayut manja menunggu kemenangan.Saat ini sedang berlangsung permainan blackjack dan Thomas sedang unggul dan merasa di atas angin. Abigail mencoba untuk duduk nyaman tapi sulit karena ada beberapa pasang mata pria paruh baya menatapnya penuh minat. "Yesss." Thomas menjatuhkan kartu remi di tangannya dengan bersemangat membuat dua pemain yang menjadi lawannya langsung mengumpat dengan wajah kesal. "I win," ucapnya seraya mengambil tumpukan uang taruhan yang ada di tengah lingkaran. "Again.""Kau hanya beruntung, anak muda," ucap lelaki paruh baya yan
"Dasar bajingan!!" Umpat Abigail akhirnya. Thomas menatapnya penuh penyesalan, Abigail seakan tidak percaya kalau dia dijual lagi seperti barang tidak berharga ke lelaki tua yang terlihat sekali begitu mesum. Abigail menantap Thomas dengan mata berkaca-kaca sampai sosoknya tidak terlihat lagi dan terpaksa mengikuti lelaki itu entah kemana. Mencoba memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. "Dia sangat bodoh. Aku beruntung sekali malam ini menemukan mangsa sepertinya yang ambisus tapi bodoh!!" Decak lelaki itu. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail. "Kekasihmu sudah menjualmu jadi kau harus ikut denganku," Ucapnya dengan senyuman miring membuat Abi diliputi kekhawatiran. Mereka sampai di parkiran basemant, Abigail di paksa masuk ke dalam mobil mewah dan mendapatkan pelecehan seksual di sana. Lelaki itu mencoba untuk menggerayangi tubuhnya. Abigail mati-matian untuk menghindar. Abigail mendorong lelaki itu menjauh. "Jauh-jauh dariku!!" Lelaki itu malah tersenyum genit, menarik gaunnya
Dirasakannya tubuhnya gemetaran karena hal mengerikan yang dilihatnya. "Lelaki tua yang cerewet," decaknya, mundur dan berbalik pergi seraya menarik Abigail bersamanya. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail, ketakutan, tetapi lelaki itu sama sekali tidak mendengarnya bahkan menoleh. "Lepaskan!!!" DOOORRRR! Abigail mengatupkan bibir, berlindung di balik bahu saat Lucca menembak seseorang di kejauhan yang tepat sasaran dan beberapa tembakan lagi ke arah lain. Sepertinya pengawal Erick masih beberapa yang bertahan. "Aaahhh—" Abigail tersentak kaget saat Lucca mendorongnya hingga menabrak mobil merah, mencekal lehernya di sana hingga punggungnya terdesak dengan Lucca yang berjarak begitu dekat dengannya. Sepertinya sudah dini hari karena malam semakin dingin dan di sekitar mereka sepi juga gelap, entah dimana. "Kau tidak seharusnya berhasil kabur malam itu" desisnya. "Kau menemukan barang milikku dan aku menyelamatkanmu dari lelaki tua itu." "Tolong lepaskan aku," pinta Abigail. "Apa k
Abigail mengangkat dagunya, mengusap air matanya, berjalan semakin ke dalam bandara di antara banyaknya orang yang berseliweran dan yang pasti Thita juga Letisha sudah tidak terlihat lagi di belakang. Sebelum mencapai bagian imigrasi, lengannya di tarik membuatnya menoleh kaget dan menemukan The Black Rose berdiri di sampingnya.Tanpa mengatakan apapun, Lucca menariknya pergi ke arah lain, setengah menyeret Abigail yang berusaha menyeimbangkan langkah seraya mempertahankan koper yang digeretnya, mencoba menguatkan hati. Sampai di landasan pesawat di mana ada pesawat pribadi yang siap terbang, Lucca melepas cekalannya dan berbalik menghadapnya."Wanita selalu saja menggunakan air mata agar terlihat lemah dan butuh dikasihani. Kau pikir, aku tidak tahu arti tatapan kesedihanmu tadi," desisnya. Abigail bergeming di tempatnya saat Lucca maju dan menghunuskan mata hijau miliknya. "Apa itu satu-satunya senjata yang kalian miliki agar dikasihani?" Abigail mengerutkan kening, tidak terlalu me