Keesokan harinya ....Jayamanik dan Murda kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju Lembah Naga yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh.BDiperkirakan, sore harinya mereka akan tiba di tempat tujuan. "Seharusnya kau berangkat hari ini, berhubung Jayamanik belum tiba. Sebaiknya kau berangkat esok hari saja!" kata Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan Ramandika."Baik, Guru."Alasan Ki Ageng Penggir menunggu kedatangan Jayamanik, karena menunggu kuda yang saat ini sedang dipergunakan oleh Jayamanik. Kuda tersebut akan menemani perjalanan Ramandika menuju Gurusetra. Ia sudah meminta Ki Warmala agar memilih kuda yang terbaik yang akan dibawa oleh Ramandika. Dan kuda tersebutlah yang merupakan kuda terbaik milik Ki Warmala yang akan dibawa oleh Ramandika.Sore harinya ....Jayamanik dan Murda akhirnya tiba di padepokan dengan selamat. Mereka disambut hangat oleh para murid padepokan tersebut.Ki Ageng Penggir meminta agar Jayamanik langsung menghadap dirinya, sementara Murda di
Orang tua itu memandang wajah Ramandika sejenak, kemudian berpaling ke arah pedang pusaka itu. Berkatalah ia dengan lirihnya, "Selain itu, kau harus bisa menjaga pedang pusaka yang kini sudah menjadi milikmu seutuhnya!" Ki Ageng Penggir meluruskan dua bola matanya ke wajah Ramandika, "Pedang pusaka itu pernah menjadi rebutan para pendekar tangguh di masa lalu. Untuk itu, kau harus bisa menjaganya! Aku yakin, sebagian besar dari para pendekar itu masih penasaran dan masih menginginkan pedang pusaka itu." Ramandika mengangguk pelan sambil tersenyum, kemudian meraih pedang tersebut. Ia mengamati bentuk dan ukiran di bagian selongsong dan kepala pedang pusaka itu. "Demi mendapatkan pedang ini, aku harus mengorbankan banyak hal. Mulai dari jabatan dan kepercayaan raja," kata Ki Ageng Penggir, "Raja membenciku ketika tahu aku sudah menguasai pedang pusaka ini, karena pedang pusaka tersebut diklaim sebagai warisan kerajaan yang harus selamanya ada di istana. Padahal, itu semua tidak benar,
Pria berjubah itu memang dengan sengaja berlari memisahkan diri dari kawan-kawannya, karena dirinya berniat memancing Ramandika agar mengejarnya. Dia adalah Randu Pasti, seorang pendekar pedang yang terkenal dengan kekejamannya. Randu Pati sangat ditakuti oleh para pendekar yang ada di wilayah kerajaan Dongkala. Semua pendekar tunduk dan patuh terhadap dirinya, hanya satu kelompok saja yang berani menentang keras tindakan-tindakan Randu Pati. Yakni, kelompok Lembah Naga yang dipimpin oleh Ki Ageng Penggir, yang kini sudah mendirikan sebuah padepokan besar yang tersembunyi di dalam hutan itu. Karena sikap keras Ki Ageng Penggir dan murid-muridnya, maka Randu Pati sangat berambisi untuk menghancurkan kelompok Lembah Naga, namun dirinya selalu gagal melakukan tindakan jahatnya itu, karena kelompok pendekar Lembah Naga dan juga padepokannya dilindungi oleh Ki Bayu Geni—sosok jin penguasa Lembah Naga yang sudah menurunkan kesaktiannya kepada Ramandika. "Hai pengecut! Hentikan!" teriak R
Dengan cepat, Jayamanik dan semua yang ada di tempat tersebut langsung berhamburan menjauhi arena pertarungan itu. Mereka menuruti apa yang diminta oleh Ramandika. "Sepertinya mereka akan melakukan pertarungan ini dengan sangat sengit," desis Jayamanik setelah menjauh dari tempat bertarungnya Ramandika dengan Randu Pati. Sesaat kemudian, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Tampak asap putih keluar dari tanah tepat di hadapan Randu Pati, seiring dengan demikian bermunculan sosok-sosok makhluk mengerikan, mereka berdiri mengitari Ramandika yang masih dalam kondisi tenang. Kemudian, Randu Pati menyeru kepada makhluk-makhluk itu, "Serang dia!" Demikianlah, maka belasan makhluk menyeramkan itu langsung melakukan serangan terhadap Ramandika. Mereka patuh dan tunduk kepada Randu Pati yang tiada lain adalah majikan mereka. Ramandika sedikit kewalahan menghadapi makhluk-makhluk itu. Namun, karena keyakinan dan kekuatan yang ada pada dirinya, maka dirinya mampu mengalahkan makhluk-ma
Setibanya di padepokan, Ramandika, dan para murid senior langsung menemui Ki Ageng Penggir. Mereka membawa tiga orang anak buah Randu Pati untuk menghadap guru mereka. Mereka diterima dengan baik oleh Ki Ageng Penggir dan juga Bisama selaku ketua murid-murid Padepokan Lembah Naga. Tak ada rasa benci dalam diri Ki Ageng Penggir terhadap ketiga orang pendekar itu, meskipun mereka sudah melakukan tindakan jahat. "Siapa namamu dan juga kawan-kawanmu ini?" tanya Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan ketiga pendekar itu. "Namaku Ajisa, mereka Narida dan Sangawil," jawab pria bertubuh kekar itu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya, memperkenalkan dirinya dan juga kedua kawannya. "Apa sebenarnya yang terbesit dalam pikiran kalian, sehingga kalian memusuhi kami?" tanya Ki Ageng Penggir meluruskan pandangannya ke arah Ajisa dan kedua kawannya. "Kami tidak memiliki misi apa-apa, Ki. Kami hanya mengikuti arahan dan perintah pimpinan kami saja," jawab Ajisa. "Itulah polosnya
Beberapa jam kemudian ....Ramandika, Sena, dan Jayamanik sudah tiba di perbatasan. Mereka beristirahat sejenak untuk melaksanakan makan siang, ketiga pemuda itu memakan bekal makanan yang mereka bawa dari padepokan.Setelah selesai makan, Jayamanik dan Sena langsung pamit kepada Ramandika untuk kembali ke Padepokan Lembah Naga.Sementara itu, Ramandika langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke wilayah kerajaan Gurusetra."Di mana aku harus beristirahat? Sebentar lagi malam akan segera tiba," desis Ramandika.Saat itu, ia masih berada di hutan yang jaraknya masih lumayan jauh dari pemukiman penduduk. Meskipun demikian, Ramandika kembali melanjutkan perjalanannya."Walaupun aku tidak tiba di desa, setidaknya aku tidak berada di dalam hutan untuk malam ini," kata Ramandika sambil memacu derap langkah kudanya.Tidak terasa, hari pun sudah mulai gelap. Hujan rintik-rintik mulai turun mengiringi perjalanannya, kuda yang ditungganginya mulai bergerak lambat karena penglihatan kuda terseb
Meskipun demikian, Ramandika tetap berusaha membantah apa yang ada dalam pikirannya tersebut. "Tidak mungkin mereka takut kepadaku. Aku rasa, sikapku biasa-biasa saja."Ramandika membantah semuanya, karena di sekitar desa tersebut terdapat banyak orang asing berlalu-lalang dengan membawa pedang dan golok seperti dirinya. Tapi, respon penduduk biasa-biasa saja.Sambil melangkah, Ramandika terus memperhatikan sikap orang-orang yang ia jumpai di desa tersebut.Desa Singkur terkesan tidak bersahabat lagi bagi Ramandika. Karena saat itu, ia merasa tak ada rasa nyaman lagi saat menginjakkan kakinya di desa itu. Padahal, desa Singkur merupakan tempat dilahirkannya Ramandika, dan juga tempat dirinya dibesarkan.'Aneh sekali, mereka tidak seperti dulu. Setiap kali mereka melihatku sudah dapat dipastikan mereka pasti akan mencibir dan bersikap sinis kepadaku. Tapi, saat ini mereka tampak seperti ketakutan melihatku?' batin Ramandika."Aku rasa, semua ini pasti ada sebabnya," desis Ramandika sam
Ramandika pun langsung duduk, dan segera memesan makanan kepada sang pemilik warung makan itu."Aku pesan nasi tiwul sama ikan gurame bakar, Ki!" kata Ramandika lirih, "Minumnya air putih saja!" sambungnya."Baik, Den. Mohon ditunggu," jawab sang pemilik warung makan tersebut.Setelah menerima pesanan makanan, pria bertubuh tambun itu pun langsung berlalu dari hadapan Ramandika untuk segera menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan tamunya itu.Kedatangan Ramandika ke warung makan itu, bukan sekadar untuk makan dan beristirahat saja. Namun setelah mendapat tempat duduk, Ramandika langsung mengamati gerak-gerik para pengunjung yang ada di dalam warung makan tersebut.'Ramai sekali warung makan ini,' kata Ramandika dalam hati.Di dalam warung makan itu, ternyata terdapat banyak orang. Mereka berasal dari berbagai golongan, tapi yang paling ialah seorang kakek yang mengenakan jubah putih, ia duduk saling berhadapan dengan seorang gadis cantik yang diperkirakan baru berusia belasan tahu