Share

SATE DAGING AYAH
SATE DAGING AYAH
Penulis: ANNI KARMAN

BAB 1

"Ya Allah, kamu bisa masak daging sebanyak ini punya  uang  dari mana?" tanya Bu Aminah dengan wajah heran.

"Ibu kan tahu kalau Indah kerja di pemotongan daging." jawab indah.

"Masyaallah ... kamu tahu saja kalau dari kemarin Ibu pengen sekali sate. Ibu boleh ambil satu tusuk nggak?"

Bu Aminah menatap wajah anaknya. Aroma sate dengan bumbu kacang yang sedang dipindahkan ke atas piring  begitu menggugah selera.

"Kenapa satu tusuk, Bu? Semua juga ngga apa-apa. Indah senang, kalau Ibu bisa menghabiskan semuanya."

"Tapi, kalau Ayahmu tahu Ibu makan sate bisa kena marah." Bu Aminah meletakkan kembali sate yang sudah dipegangnya.

"Itu kalau ada Ayah, Bu. Sekarang kan Ayah sedang pergi." 

"Iya, juga, ya. Mumpung Ayahmu sedang tidak ada di rumah Ibu bisa makan daging yang kamu masak. Pasti rasanya enak sekali. Kamukan  pintar masak." 

"Ibu mau makan pakai lauk yang mana dulu? Biar Indah ambilkan?" tanya Indah sambil mengambil piring dan menyendok satu  centong nasi yang masih mengepul  untuk ibunya.

"Ibu makan sama sate saja, Nak. Dari kemarin pengen sekali makan sate. Nasinya jangan banyak-banyak."

"Ibu harus makan banyak. Biar badan Ibu tidak kurus seperti ini."

"Kamu nggak ikut makan sekalian?"

"Tadi sebelum ke sini, Indah makan dulu di rumah."

Indah menahan kabut di mata yang mulai menggenang. Sejak tinggal terpisah dengan ibunya, ia tak bisa lagi memperhatikan wanita yang selalu diperlakukan kasar oleh ayahnya. 

Seperti dua hari yang lalu, langkah Indah terhenti di mulut pintu saat melihat ayahnya sedang  menjambak rambut ibunya.

"Beraninya kamu makan sate milikku! Aku membeli makanan ini bukan untuk kamu!" Tangan Pak Danang mendarat di pipi Bu Aminah.

"Ampun, Pak, ampun! Ibu cuman ambil satu tusuk saja." Tangan Bu Aminah berusaha melepaskan cengkraman tangan yang sedang mencekik lehernya.

"Dasar wanita tak berguna! Sekali lagi kamu berbuat seperti ini, akan kubuat sate lidahmu itu!" Pak Danang dengan kasar mendorong tubuh istrinya hingga membentur sudut meja makan.

Dengan dada yang terbakar api kemarahan, Indah meninggalkan rumah orangtuanya. 

Sambil mengayuh sepeda ontel warisan dari Almarhum suaminya, Indah terus berpikir keras. Bagaimana cara membebaskan ibunya dari neraka yang telah membuat menderita selama bertahun-tahun.

"Baiklah, Ayah. Aku yang akan lebih dulu membuat sate lidah yang tak bertulang itu" Indah tersenyum dingin.

***

Bila tadi siang Indah menyaksikan ibunya diseret dan disiksa di ruang makan. Malam ini giliran dirinya yang menjadi pelampiasan nafsu binatang  ayahnya.

"Tumben malam ini kamu begitu bernafsu?" racau Danang.

"Ayah ... malam ini akan kuhadiahi seratus kali tusukkan. Genap sesuai dengan hitungan bagai mana Ayah memperlakukan Indah selama ini seperti wanita penghibur," bisik Indah tepat di telinga ayahnya.

"K-kau ...!"

"Maafkan aku, Ayah!" Indah melepaskan kedua tangannya yang berada pada gagang belati.

"I-indah!"

"Kenapa, Yah? Apa perlu Indah membantu mencabut benda keramat itu?" Indah tersenyum sambil menekan gagang belati lebih dalam lagi. Cairan kental berwarna merah seketika keluar dari sela-sela jemari Danang yang berusaha mencabut benda tajam teesebut.

"Tidak, Ayah. Biarkan belati itu menahan nyawa Ayah." Indah yang sedang berada di atas tubuh ayah terseyum puas.

Setelah mengenakan kembali pakaian yang tercecer di lantai, Indah berjalan ke arah meja kecil. Sebuah bungkusan kresek hitam ia bawa ke samping ayahnya yang sedang sekarat.

"Indah makan dulu, ya!"

Sambil duduk bersila, Indah membuka bungkusan yang dibawa  ayahnya tadi. Nasi bungkus dengan  sate bumbu kacang kesukaan ibunya. Tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, wanita lugu itu mulai menikmati makan dengan lahapnya

"Indah heran, kenapa Ayah begitu suka sate? Apa karena harumnya? Tapi kenapa Ayah selalu minum banyak setelah makan sate? Dan setelah itu ..." Mata indah berkaca-kaca. Mulutnya yang penuh dengan potongan  daging berbentuk dadu seolah tak bisa ditelan.

"Indah harus makan banyak karena harus lembur semalam suntuk. Terima kasih sate kambingnya, Yah." Sambil mengunyah, Indah menatap cairan berwarna merah yang keluar dari sela-sela dada ayahnya.

"Ayah mengapa menatapku seperti itu? Jangan khawatir masih ada beberapa tusuk lagi."

"Izinkan Indah menyuapi Ayah malam ini. Malam ini saja, boleh, ya?" Sambil tersenyum, Indah mengambil satu tusuk sate dan memasukan ke dalam mulut ayahnya yang sedang menganga.

"Kenapa ayah tidak mengunyahnya? Apa sudah bosan makan sate setiap hari. Kunyah ayah, kunyah!" Tangan  Indah terus menjejali mulut ayahnya dengan daging sate. Sesekali menusukkan tusuk sate pada bagian lidah Danang hingga berdarah.

"Kenapa menangis? Oh, Ayah kepedasan, ya? Sebentar Indah ambil minum dulu. Awas jangan kemana-mana!" 

Danang yang sudah merasa semakin lemah menatap punggung Indah yang menghilang di balik pintu kamar. Mulutnya berusaha menyemburkan potongan-potongan sate yang menghalangi pernafasannya.

Mata Danang yang semakin mengecil sesekali menatap ke arah jendela kamar yang gordennya terbuka. Berharap ada seseorang yang akan menolong. Namun hanya pekat malam dan suara guyuran air hujan yang turun dari talang terbuat dari bilah bambu. 

Nyanyian sekumpulan kodok yang sedang berpesta dalam guyuran hujan terdengar bak kidung kematian.

Serangan mendadak yang dilakukan putrinya itu sungguh di luar perkiraan. Selama ini Indah anak yang penurut dan juga lugu. Hanya dengan ancaman akan membunuh ibunya ia tutup mulut sampai sekarang.

Danang berusaha menggerakkan tubuh walau semua terasa ngilu. Matanya menatap ke arah meja kecil tempat ia tadi meletakkan sate dan ponsel.

Terlihat urat leher Danang mengencang. Sambil memejamkan mata, kedua tangannya mencabut gagang belati yang menancap di dada. Walau ingin berteriak saat benda tajam itu berhasil ditarik namun pria yang wajahnya semakin pucat itu hanya bisa menggigit bibir.

Danang berusaha menelungkup sambil menahan sakit ia mulai menggerakkan tangan. Namun seluruh tubuhnya terasa kaku. Jantungnya terasa terbakar.  Apa lagi dengan posisi dada menempel di lantai.

"Aku harus bisa mengambil ponselku dan menghubungi Lilis," pikir Danang.

Beberapa kali tangan dan wajah Danang jatuh terkulai mencium lantai. Dengan nafas terputus-putus ia mengangkat kepala. Tangannya kemudian bergerak mengikuti. Maju bergantian mencengkram lantai yang keras dan dingin, mencakar dengan kuku untuk mendapat pegangan serta tenaga tambahan.

Danang terus merayap seperti binatang melata yang sedang sekarat mencari tempat yang pas untuk menghembuskan nafas terakhir. Tidak hanya menyeret tubuhnya tapi genangan darah hingga  membentuk garis lebar lurus sepanjang lantai.

Dengan susah payah akhirnya Danang semakin dekat pada meja. Namun saat tangannya terangkat hendak mengambil ponsel...

"Nak, ini apa? Kok, seperti potongan kuku?" Suara Bu Aminah membuyarkan lamunan Indah.

"Ee ... apa, Bu?" Indah menatap ibunya yang sedang memegang sesuatu. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status