Share

BAB 2

Author: ANNI KARMAN
last update Last Updated: 2023-05-02 01:00:31

Indah menatap  potongan kuku di tangan ibunya.

"Aduhh, maaf, Bu, Itu potongan kuku Indah." Indah mengambil potongan kuku dari tangan ibunya.

"Kok bisa potongan kukumu masuk ke dalam kuah soto?" Bu Aminah mengerutkan kening.

"Kemarin waktu Indah motongin  daging jari Indah kena pisau." jawab  Indah sambil memperlihatkan salah satu jarinya yang terbungkus kain kasa dan hansaplas.

"Astaghfirullah--- kok bisa, sih, Nak?"

"Pisaunya baru diasah, Bu,  tajam sekali."

"Lain kali hati-hati, Nak."  Bu Aminah memegang jari Indah.

"Aww, sakit, Bu!" Indah meringis.

"Maaf, Sayang. Sudah dikasih Betadine belum? Takutnya inpeksi."

"Sudah, Bu."

"Ibu sudah kenyang. Soto sama rendangnya buat lauk besok saja. Ayahmu mungkin beberapa hari ngga pulang mengurus ibumu yang sedang sakit." ucap Bu Aminah sambil menutup sayur yang tersisa dengan tudung saji.   

"Ibu tiri, Bu! Sampai kapanpun Indah hanya punya satu  Ibu!"

"Kita ngobrolnya sambil nonton telivisi, yuk. Ibu kangen. Sudah seminggu ngga ketemu kamu." Bu Aminah mengalihkan pembicaraan. Ia tahu kalau Indah sangat tidak suka dengan istri baru ayahnya. 

"Iya, Bu, Indah juga kangen sekali sama Ibu." 

"Kebetulan Ibu punya uli. Ibu goreng dulu, ya, sekalian bikin kopi." 

"Enak, tuh, Bu. Indah saja yang goreng uli sama bikin kopinya."

"Ngga usah, Nak. Kamu tunggu saja Ibu di ruang keluarga." 

Saat di ruang keluarga, Indah memindai ruangan yang nampak sepi. Begitu tenang rasanya. Tembok di rumah ini tidak akan mendengar lagi rintihan dan caci maki yang berujung dengan penyiksaan. Di ruangan ini juga pertama kali seorang gadis berumur sepuluh tahun harus kehilangan masa depan.

Tiga belas tahun yang lalu mimpi buruk itu selalu membayangi dirinya saat...

Indah kecil berlari dalam derasnya hujan. Tak perduli dengan seragam merah putih yang basah kuyup. Tujuannya  saat itu, ke rumah istri muda ayahnya.

Sambil menahan gigil serta bibir yang bergetar. Tangan pucat Indah mengetuk pintu rumah yang tampak lenggang. Sekali, dua kali, sampai ruas jarinya terasa ngilu, namun tak ada sahutan dari dalam.  

"Ayah, ini Indah, Yah!" Kali ini Indah  menggedor pintu sambil memanggil ayahnya. 

Setelah suaranya hampir hilang, akhirnya pintu rumah pun terbuka. Seorang pria yang hanya mengenakan sarung menatap Indah dengan tatapan tidak suka. 

"Kamu itu, ya. Sudah beberapa kali Ayah kasih tahu, jangan datang ke sini kalau Ayah sedang di rumah Tante Asih!.

"Ada apa, Kang?"

"Ini  si Indah, ganggu saja!" sungut Pak Danang sambil  menggeser punggungnya.  Tampak seorang wanita muda berdiri di belakangnya.

"Ehh, Neng Indah. Ayo masuk, sSayan. Ya Allah, kok sampe basah kuyup begini?" Wanita yang baru dua bulan dinikahi ayahnya itu menarik lembut tangan Indah.

"Ngga usah, Tante. Indah ke sini buru-buru ada perlu sama Ayah." Indah menatap ayahnya sambil berusaha melepaskan tangan Tante Asih.

Asih--- wanita yang baru dinikahi oleh ayahnya itu memang sangat baik.  Sopan pada ibunya dan  juga perhatian pada Indah.

"Ngomongnya di dalam, yuk. Nanti Tante bikinin teh hangat. Tuh, badan kamu sampe mengigil begitu."

Tak ada pilihan lain, Indah pun masuk ke dalam rumah. "Biarkan saja basah, nanti bisa dikeringkan pakai kain pel." Asih seolah bisa membaca pikiran Indah yang sedang menatap lantai. 

Tak lama kemudian Asih datang dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring bolu pisang. Melihat makanan yang dibawa ibu tirinya, Indah menelan ludah. Sejak pagi menahan lapar karena hanya sarapan nasi goreng. Apa lagi sekarang seluruh tubuhnya basah.

"Sekarang minum dulu  selagi hangat dan bolu pisangnya. Udah itu baru kamu cerita. Tante mau coba cari baju bekas Amara dulu di lemari. Mudah-mudahan ada yang pas di badan kamu." 

Indah hanya mengangguk. Rasa lapar di perutnya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Sejenak ia melupakan tujuan awal  menemui ayahnya. Kini teh hangat yang tinggal setengah telah menghangatkan ususnya yang tadi mengkerut karena kedinginan. Beberapa potong bolu pun telah masuk ke perut. Selain cantik dan baik, Tante Asih juga pandai membuat kue. 

Suara deheman dari arah pintu membuat Indah tersentak. Rupanya sejak tadi ayahnya memperhatikan.  Wajah bengis yang penuh dengan brewok itu terlihat menyimpan kekesalan. 

"Katakan, untuk apa kamu datang ke sini?"

"I-ibu masuk rumah sakit, Yah." Indah menunduk tak berani menatap ayahnya.

"Teh Aminah sakit apa, Kang?"  tanya Asih yang keluar dari kamar.

"Tanya saja sama anak si Aminah!" Danang mendengus.

"Ibumu kenapa bisa masuk rumah sakit?" Asih duduk di samping Indah.

"I-indah juga ngga tahu ,Tante. Pulang sekolah tetangga rumah kasih tahu kalau Ibu pingsan." 

"Ya Allah, kasihan sekali. Sekarang Indah ganti baju. Biar Tante ngomong sama ayahmu." 

Tanpa membantah, Indah menerima pakaian yang disodorkan oleh Asih.  Selanjutnya gadis bertubuh bongsor itu tak bisa mendengar obrolan antara ayah dan istri mudanya karena kamar mandi yang terletak di ujung dapur lumayan jauh. 

Setelah hujan reda, Danang mengajak Indah ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan anak dan bapak itu hanya diam.   

"Ayah, inikan jalan arah pulang ke arah rumah bukan ke rumah sakit Ibu dirawat?"  ucap Indah yang duduk di boncengan motor ayahnya.

"Sudahlah kamu menurut saja. Atau Ayah tidak akan menemui ibumu biar mati sekalian!" 

Mendengar ucapan ayahnya, Indah hanya bisa menghela nafas. Begitupun saat Danang berhenti di kedai sate. Ia berpikir mungkin sate itu untuk ibunya. 

"Ndah, ambilkan bapak nasi di mejikom." perintah Pak Danang begitu sampai di rumah.

"Kamu juga makan sini bareng Ayah." Tangan Danang melambai lembut pada Indah yang sedang duduk di sudut ruang makan.

Indah yang memang lapar dan tergoda dengan aroma sate hanya menurut saja. "Nanti setelah makan kita ke rumah sakit. Sekarang ada dokter dan perawat di sana. Jadi kamu ngga usah khawatir."

Danang menambahkan beberapa tusuk sate pada piring Indah yang sedang makan begitu lahap.

"Setelah selesai makan, minum juga ini, ya." Danang menuangkan minuman pada gelas Indah.

"Indah minum air putih saja, Yah." 

"Kamu jangan membantah! Apa susahnya menutut  sama Ayah!"

"I- iya, Ayah!" cicit Indah sambil meraih gelas yang disodorkan ayahnya.

Walau rasanya aneh, Indah tak berani bertanya. Susah payah ia menghabiskan minum sampai tandas.

Mata Danang menatap lekat wajah Indah yang sedang memegangi pelipisnya. Ada seringai iblis tersungging dari bibirnya yang berwana gelap.

Selain kepala tersat pening, Indah juga merasakan panas seperti terbakar di sekujur tubuhnya. Walau begitu  ia masih ingat saat tubuhnya dibawa ke kamar. Namun Indah tak punya tenaga saat pria yang sudah dikuasai Ibis itu ... 

BERSAMBUNG

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SATE DAGING AYAH   BAB 38

    "Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng

  • SATE DAGING AYAH   BAB 37

    "Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 36

    Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 35

    Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e

  • SATE DAGING AYAH   BAB 34

    Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut

  • SATE DAGING AYAH   BAB 33

    Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status