Share

BAB 2

Indah menatap  potongan kuku di tangan ibunya.

"Aduhh, maaf, Bu, Itu potongan kuku Indah." Indah mengambil potongan kuku dari tangan ibunya.

"Kok bisa potongan kukumu masuk ke dalam kuah soto?" Bu Aminah mengerutkan kening.

"Kemarin waktu Indah motongin  daging jari Indah kena pisau." jawab  Indah sambil memperlihatkan salah satu jarinya yang terbungkus kain kasa dan hansaplas.

"Astaghfirullah--- kok bisa, sih, Nak?"

"Pisaunya baru diasah, Bu,  tajam sekali."

"Lain kali hati-hati, Nak."  Bu Aminah memegang jari Indah.

"Aww, sakit, Bu!" Indah meringis.

"Maaf, Sayang. Sudah dikasih Betadine belum? Takutnya inpeksi."

"Sudah, Bu."

"Ibu sudah kenyang. Soto sama rendangnya buat lauk besok saja. Ayahmu mungkin beberapa hari ngga pulang mengurus ibumu yang sedang sakit." ucap Bu Aminah sambil menutup sayur yang tersisa dengan tudung saji.   

"Ibu tiri, Bu! Sampai kapanpun Indah hanya punya satu  Ibu!"

"Kita ngobrolnya sambil nonton telivisi, yuk. Ibu kangen. Sudah seminggu ngga ketemu kamu." Bu Aminah mengalihkan pembicaraan. Ia tahu kalau Indah sangat tidak suka dengan istri baru ayahnya. 

"Iya, Bu, Indah juga kangen sekali sama Ibu." 

"Kebetulan Ibu punya uli. Ibu goreng dulu, ya, sekalian bikin kopi." 

"Enak, tuh, Bu. Indah saja yang goreng uli sama bikin kopinya."

"Ngga usah, Nak. Kamu tunggu saja Ibu di ruang keluarga." 

Saat di ruang keluarga, Indah memindai ruangan yang nampak sepi. Begitu tenang rasanya. Tembok di rumah ini tidak akan mendengar lagi rintihan dan caci maki yang berujung dengan penyiksaan. Di ruangan ini juga pertama kali seorang gadis berumur sepuluh tahun harus kehilangan masa depan.

Tiga belas tahun yang lalu mimpi buruk itu selalu membayangi dirinya saat...

Indah kecil berlari dalam derasnya hujan. Tak perduli dengan seragam merah putih yang basah kuyup. Tujuannya  saat itu, ke rumah istri muda ayahnya.

Sambil menahan gigil serta bibir yang bergetar. Tangan pucat Indah mengetuk pintu rumah yang tampak lenggang. Sekali, dua kali, sampai ruas jarinya terasa ngilu, namun tak ada sahutan dari dalam.  

"Ayah, ini Indah, Yah!" Kali ini Indah  menggedor pintu sambil memanggil ayahnya. 

Setelah suaranya hampir hilang, akhirnya pintu rumah pun terbuka. Seorang pria yang hanya mengenakan sarung menatap Indah dengan tatapan tidak suka. 

"Kamu itu, ya. Sudah beberapa kali Ayah kasih tahu, jangan datang ke sini kalau Ayah sedang di rumah Tante Asih!.

"Ada apa, Kang?"

"Ini  si Indah, ganggu saja!" sungut Pak Danang sambil  menggeser punggungnya.  Tampak seorang wanita muda berdiri di belakangnya.

"Ehh, Neng Indah. Ayo masuk, sSayan. Ya Allah, kok sampe basah kuyup begini?" Wanita yang baru dua bulan dinikahi ayahnya itu menarik lembut tangan Indah.

"Ngga usah, Tante. Indah ke sini buru-buru ada perlu sama Ayah." Indah menatap ayahnya sambil berusaha melepaskan tangan Tante Asih.

Asih--- wanita yang baru dinikahi oleh ayahnya itu memang sangat baik.  Sopan pada ibunya dan  juga perhatian pada Indah.

"Ngomongnya di dalam, yuk. Nanti Tante bikinin teh hangat. Tuh, badan kamu sampe mengigil begitu."

Tak ada pilihan lain, Indah pun masuk ke dalam rumah. "Biarkan saja basah, nanti bisa dikeringkan pakai kain pel." Asih seolah bisa membaca pikiran Indah yang sedang menatap lantai. 

Tak lama kemudian Asih datang dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring bolu pisang. Melihat makanan yang dibawa ibu tirinya, Indah menelan ludah. Sejak pagi menahan lapar karena hanya sarapan nasi goreng. Apa lagi sekarang seluruh tubuhnya basah.

"Sekarang minum dulu  selagi hangat dan bolu pisangnya. Udah itu baru kamu cerita. Tante mau coba cari baju bekas Amara dulu di lemari. Mudah-mudahan ada yang pas di badan kamu." 

Indah hanya mengangguk. Rasa lapar di perutnya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Sejenak ia melupakan tujuan awal  menemui ayahnya. Kini teh hangat yang tinggal setengah telah menghangatkan ususnya yang tadi mengkerut karena kedinginan. Beberapa potong bolu pun telah masuk ke perut. Selain cantik dan baik, Tante Asih juga pandai membuat kue. 

Suara deheman dari arah pintu membuat Indah tersentak. Rupanya sejak tadi ayahnya memperhatikan.  Wajah bengis yang penuh dengan brewok itu terlihat menyimpan kekesalan. 

"Katakan, untuk apa kamu datang ke sini?"

"I-ibu masuk rumah sakit, Yah." Indah menunduk tak berani menatap ayahnya.

"Teh Aminah sakit apa, Kang?"  tanya Asih yang keluar dari kamar.

"Tanya saja sama anak si Aminah!" Danang mendengus.

"Ibumu kenapa bisa masuk rumah sakit?" Asih duduk di samping Indah.

"I-indah juga ngga tahu ,Tante. Pulang sekolah tetangga rumah kasih tahu kalau Ibu pingsan." 

"Ya Allah, kasihan sekali. Sekarang Indah ganti baju. Biar Tante ngomong sama ayahmu." 

Tanpa membantah, Indah menerima pakaian yang disodorkan oleh Asih.  Selanjutnya gadis bertubuh bongsor itu tak bisa mendengar obrolan antara ayah dan istri mudanya karena kamar mandi yang terletak di ujung dapur lumayan jauh. 

Setelah hujan reda, Danang mengajak Indah ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan anak dan bapak itu hanya diam.   

"Ayah, inikan jalan arah pulang ke arah rumah bukan ke rumah sakit Ibu dirawat?"  ucap Indah yang duduk di boncengan motor ayahnya.

"Sudahlah kamu menurut saja. Atau Ayah tidak akan menemui ibumu biar mati sekalian!" 

Mendengar ucapan ayahnya, Indah hanya bisa menghela nafas. Begitupun saat Danang berhenti di kedai sate. Ia berpikir mungkin sate itu untuk ibunya. 

"Ndah, ambilkan bapak nasi di mejikom." perintah Pak Danang begitu sampai di rumah.

"Kamu juga makan sini bareng Ayah." Tangan Danang melambai lembut pada Indah yang sedang duduk di sudut ruang makan.

Indah yang memang lapar dan tergoda dengan aroma sate hanya menurut saja. "Nanti setelah makan kita ke rumah sakit. Sekarang ada dokter dan perawat di sana. Jadi kamu ngga usah khawatir."

Danang menambahkan beberapa tusuk sate pada piring Indah yang sedang makan begitu lahap.

"Setelah selesai makan, minum juga ini, ya." Danang menuangkan minuman pada gelas Indah.

"Indah minum air putih saja, Yah." 

"Kamu jangan membantah! Apa susahnya menutut  sama Ayah!"

"I- iya, Ayah!" cicit Indah sambil meraih gelas yang disodorkan ayahnya.

Walau rasanya aneh, Indah tak berani bertanya. Susah payah ia menghabiskan minum sampai tandas.

Mata Danang menatap lekat wajah Indah yang sedang memegangi pelipisnya. Ada seringai iblis tersungging dari bibirnya yang berwana gelap.

Selain kepala tersat pening, Indah juga merasakan panas seperti terbakar di sekujur tubuhnya. Walau begitu  ia masih ingat saat tubuhnya dibawa ke kamar. Namun Indah tak punya tenaga saat pria yang sudah dikuasai Ibis itu ... 

BERSAMBUNG

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status