"Boleh, sayang. Selagi dia mampu dan memiliki tenaga extra."
"Tapi Indah lebih baik bagian motong-motong daging dari pada menyembelih langsung. Ngga tega, Kang." Indah bergidik sambil melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang Faiz.
"Terus terang, dulu pertama kali berani nyembelih hewan, Akang sambil ngebayangin motong hewan apa yang kita benci."
"Sama Kang, Indah tadi ngebayangin motong leher Ayah."
"Husss ... ngga boleh begitu, Sayang. Sejahat apapun perlakuan ayahmu tetap lah beliau orang yang harus kamu hormati."
"Tapi tetap saja Indah benci sama Ayah." Indah menyadarkan kepalanya pada punggung suaminya.
"Nak, diminum kopinya nanti keburu dingin." Bu Aminah menyentuh pundak putrinya yang sedang melamun.
"Iya, Bu, itu tinggal ampasnya. Indah mau tidur dulu, ya." Indah menutup mulutnya yang sedang menguap.
"Ya sudah, istirahat lah di kamar. Ibu mau kasih makan ayam dulu di belakang." ucap Bu Aminah.
***
Indah merebahkan tubuhnya di atas kasur kapuk. Rasa ngantuk yang tadi membuat matanya berat kini seakan menghilang. Langit-langit kamar yang terbuat dari triplek seakan sedang memutar kilasan peristiwa. Tak terasa dua bening jatuh di sudut mata Indah.
"Maafkan aku, Ayah."
Suara serak ayahnya yang minta tolong terus terngiang di telinga Indah.
"A-ampun!" Tangan Danang yang hampir berhasil meraih ponsel menggelepar di lantai saat kaki Indah menginjaknya.
Indah sangat marah saat kembali dari dapur melihat ayahnya yang sedang berusaha meraih ponsel.
"Ayah mau telpon siapa? Jangan mimpi istri muda Ayah yang manja itu mau datang ke sini di saat hujan begini. Mending kita main potong-potongan."
Danang yang sedang menahan sakit membelalakkan mata saat melihat pisau jagal di tangan Indah.
Entah apa yang merasuki Indah. Wanita yang dikenal pendiam itu hari ini mendadak jadi beringas.
Saat Indah bercerita pada Faiz tentang kelakuan bejat Danang, suaminya itu menyarankan agar Indah melapor pada polisi.
"Ayahmu bisa dijerat pasal berlapis KDRT terhadap Bu Aminah, pelecehan pada anak di bawah umur dan masih banyak perbuatan yang melanggar hukum." ucap Faiz.
"Terlambat, Kang. Seharusnya saat pertama kali Ayah menodaiku langsung lapor polisi." Indah merebahkan kepalanya di bahu Faiz seraya melanjutkan kembali alasan mengapa ia tak berani melapor polisi.
"Aku bisa melakukan apa di usiaku saat itu. Ibu yang memiliki penyakit jantung belum lagi Ayah yang selalu menempelkan golok pada leherku." ucap Indah.
Indah ingat saat ibunya bertanya tentang perubahan yang terjadi pada dirinya.
"Nak, kenapa akhir-akhir ini Ibu lihat kamu lebih betah di kamar?" Bu Aminah menghampiri Indah yang sedang berbaring di tempat tidur.
Indah yang sedang menyembunyikan tubuhnya di balik selimut tebal berusaha menahan air mata. Entah sudah berapa kali ayahnya menyentuh dan memaksa minum obat pencegah kehamilan.
Melihat ibunya sehat, Indah memutuskan bercerita tentang ayahnya. Namun di ambang pintu Indah melihat Danang sedang berdiri dengan mata melotot dan telunjuk disilangkan pada bibir hitamnya.
"Bu, lihat topi Bapak, tidak? Bapak mau ke kebun cari rumput." Danang menghampiri anak dan istrinya.
"Sebentar Ibu ambilkan dulu, ya, Pak." Bu Aminah beranjak dari sisi tempat tidur Indah.
Indah menatap takut ayahnya yang sedang berdiri. Pria yang tadi malam berhasil menjamah kembali tubuhnya mempermainkan gagang golok yang ada di pinggangnya. Tak lama kemudian Danang mengeluarkan benda tajam itu dari sarangkanya.
"Sekali saja kamu bicara pada ibumu, maka lehermu akan terpenggal!" Danang mengarahkan benda berkilau pada leher Indah yang sedang ketakutan.
Hari ini setelah tiga belas tahun berlalu, posisi itu terbalik. Danang lah yang berada di bawah ancaman golok.
"Ayah mengapa menatap ku seperti itu? Bukanya dulu Ayah sering mengancam ku setiap aku akan buka mulut?" Indah yang sedang memegang golok yang sudah diasah setajam mungkin menyeringai pada ayahnya.
"Tenang, Yah. Bukan dengan ini aku akan mengakhiri hidup Ayah tapi ..." Indah berdiri dan melangkah ke arah lemari yang tak jauh dari tempat tidurnya.
Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu kembali berjalan mendekati ayahnya yang semakin tak berdaya. Di tangannya ada sebuah bungkusan yang di lilit oleh kain berwarna hitam.
"Ayah ingin tahu apa yang ada di dalam kain ini, kan? Ayo kita buka bersama-sama."
Danang membelalakkan matanya saat melihat benda mengkilap terkena sorot lampu kamar. Sudah lama sekali ia kehilangan benda tersebut. Rupanya Indah lah yang telah mengambilnya. Tapi untuk apa? Pikir Danang.
"Ayah pasti kenal ini, kan? Dulu ayah mencarinya dan aku bilang ngga tahu."
"Aku benci dengan benda ini, Yah. Karena dengan ini aku selalu pasrah di bawah ancaman Ayah. Tapi hari ini aku sangat menyukai benda keramat Ayah. Ini akan menemani pesta kita malam ini."
Indah menempelkan golok dengan gagang berukiran kepala ular itu ke arah perut ayahnya. Tak sampai di situ, melihat Danang memejamkan mata, Indah terus menyeret ujung benda tajam itu di sepanjang perut sampai ke bawah pusat ayahnya.
"A-ampun, Nak!" Danang berusaha mengeluarkan suaranya. Ada kristal bening di sudut mata yang kini semakin pucat.
"Apa, Yah? Ayah tadi bicara apa? indah kurang dengar?" Indah yang kini jongkok di samping ayahnya mendekatkan telinga tepat di mulut Danang.
"A-ayah nangis?" Indah mengusap bening di sudut mata ayahnya.
"Dulu juga aku sering menangis dan minta ampun. Tapi ayah ngga pernah dengar. Malah semakin bernafsu. Begitupun aku sekarang. Melihat ayah menangis rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi aku takut, takut kang Faiz bangkit dari kubur dan memarahi aku. Katanya kalau kita tertawa kencang itu seperti setan."
"Yah, Kang Faiz itu pria yang baik. Tapi mengapa Ayah tidak menyukainya. Apa karena Ayah cemburu? Aku ini anakmu, bukan tujuh wanita yang pernah dijadikan istri oleh Ayah."
"Yah, aku ini sudah menjadi seorang istri. Bila ada pria yang berani melecehkan, maka aku berhak membela diri. Iya, kan, Yah?"
"Ayah tidak malu masih menginginkan tubuhku setelah aku menikah. Bahkan hukuman mati pun tidak cukup. Semoga Tuhan memaklumi perbuatanku ini dan Kang Faiz tidak marah padaku di surga sana." Indah mengusap air mata di pipinya.
Mengingat suaminya yang telah meninggal dunia setahun yang lalu membuat dendam pada ayahnya semakin brutal.
Indah meletakan golok yang sejak tadi dipegangnya. Kakinya melangkah menuju tempat tidur dan mengambil sesuatu dari bawah kasur.
"Ayah masih ingat ini?" Indah membentangkan kaos putih yang penuh dengan noda darah.
Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat semakin kehilangan tenaga.
BERSAMBUNG
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men