Share

BAB 4

"Iya, Kang. Indah baru tahu kalau perempuan juga boleh menyembelih hewan."

"Boleh, sayang. Selagi dia mampu dan memiliki tenaga extra."

"Tapi Indah lebih baik  bagian motong-motong daging dari pada menyembelih langsung. Ngga tega, Kang." Indah bergidik sambil melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang Faiz.

"Terus terang, dulu pertama kali berani nyembelih hewan, Akang sambil ngebayangin motong hewan apa yang kita benci."  

"Sama Kang, Indah tadi ngebayangin motong leher Ayah."

"Husss ... ngga boleh begitu, Sayang. Sejahat apapun perlakuan ayahmu tetap lah beliau orang yang harus kamu hormati."

"Tapi tetap saja Indah benci sama Ayah." Indah menyadarkan kepalanya pada punggung suaminya.

"Nak, diminum kopinya nanti keburu dingin." Bu Aminah menyentuh pundak putrinya yang sedang melamun.

"Iya, Bu, itu tinggal ampasnya. Indah mau tidur dulu, ya." Indah menutup mulutnya yang sedang menguap.

"Ya sudah, istirahat lah di kamar. Ibu mau kasih makan ayam dulu di belakang." ucap Bu Aminah.

***

Indah merebahkan tubuhnya di atas kasur kapuk. Rasa ngantuk yang tadi membuat matanya berat kini seakan menghilang. Langit-langit kamar yang terbuat dari triplek seakan sedang memutar kilasan peristiwa.  Tak terasa dua bening jatuh di sudut mata Indah.

"Maafkan aku, Ayah." 

Suara serak ayahnya yang minta tolong terus terngiang di telinga Indah.

"A-ampun!" Tangan Danang yang hampir berhasil meraih ponsel menggelepar di lantai saat kaki Indah menginjaknya.

Indah sangat marah saat kembali dari dapur melihat ayahnya yang sedang berusaha meraih ponsel. 

"Ayah mau telpon siapa? Jangan mimpi istri muda Ayah yang manja itu mau datang ke sini di saat hujan begini. Mending kita main potong-potongan."

Danang yang sedang menahan sakit membelalakkan mata saat melihat pisau jagal di tangan Indah.

Entah apa yang merasuki Indah. Wanita yang  dikenal pendiam itu hari ini mendadak jadi beringas.

Saat Indah bercerita pada Faiz tentang kelakuan bejat Danang, suaminya itu  menyarankan agar Indah melapor pada polisi. 

"Ayahmu bisa dijerat pasal berlapis KDRT terhadap Bu Aminah, pelecehan pada anak di bawah umur dan masih banyak perbuatan yang melanggar hukum." ucap Faiz.

"Terlambat, Kang. Seharusnya saat pertama kali Ayah menodaiku langsung lapor polisi." Indah merebahkan kepalanya di bahu Faiz seraya melanjutkan kembali alasan mengapa ia tak berani melapor polisi.

"Aku bisa melakukan apa di usiaku saat itu. Ibu yang memiliki penyakit jantung belum lagi Ayah yang selalu  menempelkan golok pada leherku." ucap Indah. 

Indah ingat saat ibunya bertanya tentang perubahan yang terjadi pada dirinya.

"Nak, kenapa akhir-akhir ini Ibu lihat kamu lebih betah  di kamar?" Bu Aminah menghampiri Indah yang sedang berbaring di tempat tidur.

Indah yang sedang menyembunyikan tubuhnya di balik selimut tebal berusaha menahan air mata. Entah sudah berapa kali ayahnya menyentuh dan memaksa minum obat pencegah kehamilan. 

Melihat ibunya sehat, Indah memutuskan bercerita tentang ayahnya. Namun di ambang pintu Indah melihat Danang sedang berdiri dengan mata melotot dan telunjuk disilangkan pada bibir hitamnya.  

"Bu, lihat topi Bapak, tidak? Bapak mau ke kebun cari rumput."  Danang menghampiri anak dan istrinya.

"Sebentar Ibu ambilkan dulu, ya, Pak." Bu Aminah beranjak dari sisi tempat tidur Indah.

Indah menatap takut ayahnya yang sedang berdiri. Pria yang tadi malam berhasil menjamah kembali tubuhnya  mempermainkan gagang golok yang ada di pinggangnya. Tak lama kemudian Danang mengeluarkan benda tajam itu dari sarangkanya.

"Sekali saja kamu bicara pada ibumu, maka lehermu akan terpenggal!" Danang mengarahkan benda berkilau pada leher Indah yang sedang  ketakutan.

Hari ini setelah tiga belas tahun berlalu, posisi itu terbalik. Danang lah yang berada di bawah ancaman golok.

"Ayah mengapa menatap ku seperti itu? Bukanya dulu Ayah sering mengancam ku setiap aku akan buka mulut?"  Indah yang sedang memegang golok yang sudah diasah setajam mungkin menyeringai pada ayahnya.

"Tenang, Yah. Bukan dengan ini aku akan mengakhiri hidup Ayah tapi ..." Indah berdiri dan melangkah ke arah lemari yang tak jauh dari tempat tidurnya.

Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu kembali berjalan mendekati ayahnya yang semakin tak berdaya. Di tangannya ada sebuah bungkusan yang di lilit oleh kain berwarna hitam.

"Ayah ingin tahu apa yang ada di dalam kain ini, kan? Ayo kita buka bersama-sama."

Danang membelalakkan matanya saat melihat benda mengkilap terkena sorot lampu kamar. Sudah lama sekali ia kehilangan benda tersebut. Rupanya Indah lah yang telah mengambilnya. Tapi untuk apa? Pikir Danang.

"Ayah pasti kenal ini, kan? Dulu ayah mencarinya dan aku bilang ngga tahu."

"Aku benci dengan benda ini, Yah. Karena dengan ini aku selalu pasrah di bawah ancaman Ayah.  Tapi hari ini aku sangat menyukai benda keramat Ayah. Ini akan menemani pesta kita malam ini." 

Indah menempelkan golok dengan gagang berukiran kepala ular itu ke arah perut ayahnya. Tak sampai di situ, melihat Danang memejamkan mata, Indah terus menyeret ujung benda tajam itu di sepanjang perut sampai ke bawah pusat ayahnya.

"A-ampun, Nak!" Danang berusaha mengeluarkan suaranya. Ada kristal bening di sudut mata yang kini semakin pucat.

"Apa, Yah? Ayah tadi bicara apa? indah kurang dengar?" Indah yang kini jongkok di samping ayahnya mendekatkan telinga tepat di mulut Danang. 

"A-ayah nangis?" Indah mengusap bening di sudut mata ayahnya.

"Dulu juga aku sering menangis dan minta ampun. Tapi ayah ngga pernah dengar. Malah semakin bernafsu. Begitupun aku sekarang. Melihat ayah menangis rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi aku takut, takut kang Faiz bangkit dari kubur dan memarahi aku. Katanya kalau kita tertawa kencang itu seperti  setan."

"Yah, Kang Faiz itu pria yang baik. Tapi mengapa Ayah tidak menyukainya. Apa karena Ayah cemburu? Aku ini anakmu, bukan tujuh wanita yang pernah dijadikan istri oleh Ayah."

"Yah, aku ini sudah menjadi seorang istri. Bila ada pria yang berani melecehkan, maka aku berhak membela diri. Iya, kan, Yah?"

"Ayah tidak malu masih menginginkan tubuhku setelah aku menikah. Bahkan hukuman mati pun tidak cukup.  Semoga Tuhan memaklumi perbuatanku ini dan Kang Faiz tidak marah padaku di surga sana." Indah mengusap air mata di pipinya. 

Mengingat suaminya yang telah meninggal dunia setahun yang lalu membuat  dendam pada ayahnya semakin brutal. 

Indah  meletakan golok yang sejak tadi dipegangnya. Kakinya melangkah menuju tempat tidur dan mengambil sesuatu dari bawah kasur.

"Ayah masih ingat ini?" Indah membentangkan kaos putih yang penuh dengan noda darah.

Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat  semakin kehilangan tenaga. 

BERSAMBUNG

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status