Share

BAB 5

Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat  semakin kehilangan tenaga. Tapi ia masih bisa mengenali baju yang di maksud oleh putrinya. Indah benar-benar telah mempersiapkan semua dengan sangat matang termasuk baju terakhir yang digunakan oleh Faiz saat ...

"M-maaf ..." Danang berusaha mengeluarkan suaranya. 

"Maaf? Ayah bilang maaf? Apa dengan kata maaf Kang Faiz bisa hidup kembali?"

"Ayah jahat! Gara-gara janda murahan itu Ayah tega menjual ginjal menantu sendiri." 

"Ayah heran mengapa Indah tahu semuanya?"

Indah mengguncang bahu Danang  yang  semakin lemah. Andai belati itu menikam tepat di bagian jantungnya mungkin ia tak akan merasakan rasa sakit yang menyiksa. Putrinya itu seperti sengaja ingin membuat ia mati perlahan dengan rasa sakit.

"Ayah tahu, gara-gara sejak kecil aku dipaksa minum obat pencegah kehamilan, kini rahimku kering. Padahal Ibu ingin sekali punya cucu," bisik Indah di telinga ayahnya.  

"Mengapa Ayah jahat sama Indah? Apa Indah ini bukan anak Ayah?" tanya Indah berteriak di telinga Danang.

"Setelah Ayah merenggut kesucian ku, Ayah juga merenggut nyawa suamiku." 

"Apa salah Kang Faiz? Dia itu sama seperti Indah, diam walau tahu kelakuan Ayah. Tapi mengapa Ayah tega membunuhnya, hah!" Jawab Ayah, jawab!"

"Lihat ini, noda darah di baju Kang Faiz. Itu tanda berapa banyak darah yang keluar dari ginjalnya yang dirobek paksa. Kasihan sekali Akang." Indah memeluk baju yang penuh noda darah sambil sesekali menciuminya.

Melihat Indah begitu terpukul, air mata di sudut mata Danang semakin deras. Penyesalan itu seakan baru datang di saat hidupnya berada di tangan putrinya. 

Danang yang merasa punggungnya semakin kaku menatap langit-langit kamar yang terlihat semakin kabur. Ingatannya kembali pada peristiwa satu tahun yang lalu.

"Bro, ada job kakap, nih!" Wawan menepuk bahu Danang yang sedang berada di warkop. 

"Job apaan? Jangan bilang nyuruh antar barang lagi? Patroli lagi ketat,  gue kapok."

"Ini lain, Bos.  Ada orang lagi cari ginjal. Lumayan komisinya."   Wawan nyomot goreng pisang yang masih panas. Matanya terus menatap wanita pemilik Warkop.

"Eh, itu mata jangan ngeliatin Lilis seperti itu!" Danang mengusap wajah Wawan.

"Emang kagak boleh? Kan Ceu Lilis belum ada yang punya, bebas dong. Beuhhh, itu body Ceu Lilis bikin ngiler." Wawan malah semakin sengaja.

"Lilis itu punya gue!"

"Emang Bos punya duit buat ngawin itu janda? Semua buaya di sini pada mundur setelah tahu mahar yang Ceu Lilis tawarkan." 

"Berapa gitu maharnya?"

"Seratus juta. Emang Bos mampu?"

"Ahh, segitu mah kecil. Terus gimana soal job tadi?"

"Kalau Bos tertarik, nanti malam kita temui orangnya. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Ini kerjaan ilegal."

"Justru gue demen yang ilegal. Soal ginjal  nanti  gue kasih yang spesial."

"Ginjal siapa? Jangan bilang Bos mau jual ginjal sendiri. Mana laku, ginjal kotor begitu."

"Husss, kalau gue jual ginjal sendiri. Gue kaga bisa ngawin si Lilis?"

"Iye juga. Terus ginjal siapa, Bos?"

Sore itu, saat Faiz sedang mengantar Indah menemui Bu Aminah yang kurang enak badan. Danang menarik menantunya ke teras rumah. 

"Iz, Bapak bisa minta tolong, nggak?"

"Minta tolong apa, Pak?" 

"Antar ke rumah teman. Bapak mau ambil barang pesanan orang. Ngga ada yang pegangin soalnya barang anti pecah."  

"Boleh Pak. Kebetulan kami juga mau menginap di sini."

"Kalau begitu sekarang saja. Mumpung belum keburu hujan. Ngga usah pamit sama Indah. Sebentar ini."

Tanpa curiga Faiz pun mengikuti mertuanya. Duduk di belakang boncengan Danang. 

"Ayah, mengapa diam saja? Apa Ayah sedang mengingat bagaimana terakhir Kang Faiz meregang nyawa?" Indah mengarahkan ujung golok ke leher ayahnya.

"Ceritakan pada Indah, Yah, bagaimana cara kalian mengambil ginjal kang Faiz? Apa dengan cara seperti ini?" Indah menarik ujung golok dari leher turun ke bawah.

Mata Danang mengikuti kemana ujung golok itu. Ingin rasanya ia bangun dan memohon ampun pada Indah. Namun seluruh tubuhnya semakin kaku. Beberapa jam di atas lantai tanpa sehelai benang yang menutupi tubuhnya membuat pria bertato itu semakin putus asa.  

"Mungkin seperti ini, ya, Yah?" Tangan Indah berhenti di bagian kiri perut Danang. Sedikit  menekan ujung golok yang lancip itu hingga permukaan kulitnya berdarah.

"Indah tandai dulu, ya." Sambil tersenyum, Indah membentuk garis panjang di permukaan sebelah kiri perut Danang.

Terbayang saat kantong jenazah itu dibuka petugas rumah sakit. Tubuh Indah langsung limbung di pelukkan ibunya.  Wajah pias dengan bagian perut yang terluka itu masih terus berdarah. Kaos putih yang terakhir kali dipakai suaminya itu sudah berubah warna. 

"Sebulan setelah Kang Faiz meninggal, Ayah menikah dengan janda gatal itu. Ayah punya uang dari mana? Jawab, Yah, jawab!"

"Apa Ayah kurang cukup dengan wanita-wanita yang sebelumnya? Termasuk aku?" teriak Indah. 

"Berapa Ayah menjual ginjal Kang Faiz? Pasti mahal?" 

"Kalau Ayah dibiarkan hidup, Indah takut ginjal Ibu juga lama-lama akan Ayah jual."

Indah berdiri, mundur beberapa langkah sambil  matanya menatap sosok yang tergeletak di lantai. Genangan darah yang sebagian sudah mengering membuat hati Indah pedih. Bagi sebagian anak perempuan, ayah adalah cinta pertama yang tak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Tapi tidak dengan dirinya.

Hidup di pinggiran kota yang di kelilingi gunung membuat Indah tak banyak tahu tentang dunia luar. Sejak kecil setiap pulang sekolah dirinya harus membantu ibunya mencari rumput untuk pakan ternak. Bahkan hingga tamat SMA dia yang seharusnya mengisi masa remaja dengan cinta. Atau seperti teman-temannya yang lain lulus sekolah pergi ke kota sekedar menjadi buruh pabrik.

"Ndah, ikut aku kerja di pabrik, yuk." Ajak Dewi teman sekolahnya yang sudah bekerja di kota.

"Wi, aku sih pengen banget kaya kamu. Kerja di kota, bisa punya uang sendiri. Tapi--,"

"Ayahmu aneh, orang lain pengen punya anak yang bisa cari duit, ini malah melarang." Dewi menatap sahabatnya.

Begitulah masa remaja Indah. Danang bukan hanya melarang putrinya bekerja tapi setiap ada pemuda yang yang mendekatinya selalu berakhir dengan ancaman.

Setelah lulus sekolah, Indah menghabiskan hari-harinya di kebun untuk mencari rumput. Ketika ternaknya sudah besar seenaknya Danang menjual tanpa membagi hasil yang setimpal pada anak dan istrinya.

"Pak, itu kambing kenapa dijual tanpa bilang dulu sama Indah. Rencananya kambing yang Bapak jual mau dipakai Qurban."

"Halahhh, bilang sama anakmu itu, Qurban tidak akan membuat kita masuk surga." 

Walau Indah merasa tubuhnya berlumur dosa, ia tak pernah putus asa untuk selalu berdoa. Di setiap sujudnya selalu memohon agar terlepas dari cengkraman Ayahnya. 

BERSAMBUNG

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status