Share

BAB 5

Author: ANNI KARMAN
last update Last Updated: 2023-05-02 22:24:40

Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat  semakin kehilangan tenaga. Tapi ia masih bisa mengenali baju yang di maksud oleh putrinya. Indah benar-benar telah mempersiapkan semua dengan sangat matang termasuk baju terakhir yang digunakan oleh Faiz saat ...

"M-maaf ..." Danang berusaha mengeluarkan suaranya. 

"Maaf? Ayah bilang maaf? Apa dengan kata maaf Kang Faiz bisa hidup kembali?"

"Ayah jahat! Gara-gara janda murahan itu Ayah tega menjual ginjal menantu sendiri." 

"Ayah heran mengapa Indah tahu semuanya?"

Indah mengguncang bahu Danang  yang  semakin lemah. Andai belati itu menikam tepat di bagian jantungnya mungkin ia tak akan merasakan rasa sakit yang menyiksa. Putrinya itu seperti sengaja ingin membuat ia mati perlahan dengan rasa sakit.

"Ayah tahu, gara-gara sejak kecil aku dipaksa minum obat pencegah kehamilan, kini rahimku kering. Padahal Ibu ingin sekali punya cucu," bisik Indah di telinga ayahnya.  

"Mengapa Ayah jahat sama Indah? Apa Indah ini bukan anak Ayah?" tanya Indah berteriak di telinga Danang.

"Setelah Ayah merenggut kesucian ku, Ayah juga merenggut nyawa suamiku." 

"Apa salah Kang Faiz? Dia itu sama seperti Indah, diam walau tahu kelakuan Ayah. Tapi mengapa Ayah tega membunuhnya, hah!" Jawab Ayah, jawab!"

"Lihat ini, noda darah di baju Kang Faiz. Itu tanda berapa banyak darah yang keluar dari ginjalnya yang dirobek paksa. Kasihan sekali Akang." Indah memeluk baju yang penuh noda darah sambil sesekali menciuminya.

Melihat Indah begitu terpukul, air mata di sudut mata Danang semakin deras. Penyesalan itu seakan baru datang di saat hidupnya berada di tangan putrinya. 

Danang yang merasa punggungnya semakin kaku menatap langit-langit kamar yang terlihat semakin kabur. Ingatannya kembali pada peristiwa satu tahun yang lalu.

"Bro, ada job kakap, nih!" Wawan menepuk bahu Danang yang sedang berada di warkop. 

"Job apaan? Jangan bilang nyuruh antar barang lagi? Patroli lagi ketat,  gue kapok."

"Ini lain, Bos.  Ada orang lagi cari ginjal. Lumayan komisinya."   Wawan nyomot goreng pisang yang masih panas. Matanya terus menatap wanita pemilik Warkop.

"Eh, itu mata jangan ngeliatin Lilis seperti itu!" Danang mengusap wajah Wawan.

"Emang kagak boleh? Kan Ceu Lilis belum ada yang punya, bebas dong. Beuhhh, itu body Ceu Lilis bikin ngiler." Wawan malah semakin sengaja.

"Lilis itu punya gue!"

"Emang Bos punya duit buat ngawin itu janda? Semua buaya di sini pada mundur setelah tahu mahar yang Ceu Lilis tawarkan." 

"Berapa gitu maharnya?"

"Seratus juta. Emang Bos mampu?"

"Ahh, segitu mah kecil. Terus gimana soal job tadi?"

"Kalau Bos tertarik, nanti malam kita temui orangnya. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Ini kerjaan ilegal."

"Justru gue demen yang ilegal. Soal ginjal  nanti  gue kasih yang spesial."

"Ginjal siapa? Jangan bilang Bos mau jual ginjal sendiri. Mana laku, ginjal kotor begitu."

"Husss, kalau gue jual ginjal sendiri. Gue kaga bisa ngawin si Lilis?"

"Iye juga. Terus ginjal siapa, Bos?"

Sore itu, saat Faiz sedang mengantar Indah menemui Bu Aminah yang kurang enak badan. Danang menarik menantunya ke teras rumah. 

"Iz, Bapak bisa minta tolong, nggak?"

"Minta tolong apa, Pak?" 

"Antar ke rumah teman. Bapak mau ambil barang pesanan orang. Ngga ada yang pegangin soalnya barang anti pecah."  

"Boleh Pak. Kebetulan kami juga mau menginap di sini."

"Kalau begitu sekarang saja. Mumpung belum keburu hujan. Ngga usah pamit sama Indah. Sebentar ini."

Tanpa curiga Faiz pun mengikuti mertuanya. Duduk di belakang boncengan Danang. 

"Ayah, mengapa diam saja? Apa Ayah sedang mengingat bagaimana terakhir Kang Faiz meregang nyawa?" Indah mengarahkan ujung golok ke leher ayahnya.

"Ceritakan pada Indah, Yah, bagaimana cara kalian mengambil ginjal kang Faiz? Apa dengan cara seperti ini?" Indah menarik ujung golok dari leher turun ke bawah.

Mata Danang mengikuti kemana ujung golok itu. Ingin rasanya ia bangun dan memohon ampun pada Indah. Namun seluruh tubuhnya semakin kaku. Beberapa jam di atas lantai tanpa sehelai benang yang menutupi tubuhnya membuat pria bertato itu semakin putus asa.  

"Mungkin seperti ini, ya, Yah?" Tangan Indah berhenti di bagian kiri perut Danang. Sedikit  menekan ujung golok yang lancip itu hingga permukaan kulitnya berdarah.

"Indah tandai dulu, ya." Sambil tersenyum, Indah membentuk garis panjang di permukaan sebelah kiri perut Danang.

Terbayang saat kantong jenazah itu dibuka petugas rumah sakit. Tubuh Indah langsung limbung di pelukkan ibunya.  Wajah pias dengan bagian perut yang terluka itu masih terus berdarah. Kaos putih yang terakhir kali dipakai suaminya itu sudah berubah warna. 

"Sebulan setelah Kang Faiz meninggal, Ayah menikah dengan janda gatal itu. Ayah punya uang dari mana? Jawab, Yah, jawab!"

"Apa Ayah kurang cukup dengan wanita-wanita yang sebelumnya? Termasuk aku?" teriak Indah. 

"Berapa Ayah menjual ginjal Kang Faiz? Pasti mahal?" 

"Kalau Ayah dibiarkan hidup, Indah takut ginjal Ibu juga lama-lama akan Ayah jual."

Indah berdiri, mundur beberapa langkah sambil  matanya menatap sosok yang tergeletak di lantai. Genangan darah yang sebagian sudah mengering membuat hati Indah pedih. Bagi sebagian anak perempuan, ayah adalah cinta pertama yang tak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Tapi tidak dengan dirinya.

Hidup di pinggiran kota yang di kelilingi gunung membuat Indah tak banyak tahu tentang dunia luar. Sejak kecil setiap pulang sekolah dirinya harus membantu ibunya mencari rumput untuk pakan ternak. Bahkan hingga tamat SMA dia yang seharusnya mengisi masa remaja dengan cinta. Atau seperti teman-temannya yang lain lulus sekolah pergi ke kota sekedar menjadi buruh pabrik.

"Ndah, ikut aku kerja di pabrik, yuk." Ajak Dewi teman sekolahnya yang sudah bekerja di kota.

"Wi, aku sih pengen banget kaya kamu. Kerja di kota, bisa punya uang sendiri. Tapi--,"

"Ayahmu aneh, orang lain pengen punya anak yang bisa cari duit, ini malah melarang." Dewi menatap sahabatnya.

Begitulah masa remaja Indah. Danang bukan hanya melarang putrinya bekerja tapi setiap ada pemuda yang yang mendekatinya selalu berakhir dengan ancaman.

Setelah lulus sekolah, Indah menghabiskan hari-harinya di kebun untuk mencari rumput. Ketika ternaknya sudah besar seenaknya Danang menjual tanpa membagi hasil yang setimpal pada anak dan istrinya.

"Pak, itu kambing kenapa dijual tanpa bilang dulu sama Indah. Rencananya kambing yang Bapak jual mau dipakai Qurban."

"Halahhh, bilang sama anakmu itu, Qurban tidak akan membuat kita masuk surga." 

Walau Indah merasa tubuhnya berlumur dosa, ia tak pernah putus asa untuk selalu berdoa. Di setiap sujudnya selalu memohon agar terlepas dari cengkraman Ayahnya. 

BERSAMBUNG

  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SATE DAGING AYAH   BAB 38

    "Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng

  • SATE DAGING AYAH   BAB 37

    "Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 36

    Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 35

    Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e

  • SATE DAGING AYAH   BAB 34

    Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut

  • SATE DAGING AYAH   BAB 33

    Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status