Share

BAB 3

"Sudah!  Jangan menangis apa lagi cerita sama ibumu." Danang menarik rambut Indah hingga kepalanya mendongak.

"Sakit, Yah, Ampun!" rintih Indah berusaha melepaskan tangan kekar ayahnya.

"Kalau kamu tidak diam, Ayah tidak akan ke rumah sakit. Biarkan ibumu membusuk di sana!" bentak Danang sambil menaikkan resleting celana jeans-nya.

"A-ayah jahat!" 

"Sekali lagi kamu bilang Ayah jahat. Kamu akan tahu akibatnya!"

"Sekarang ayah mau ke rumah sakit. Kamu jangan ikut. Istirahat saja. Ini uang jajan buat kamu." Danang mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan melemparkan ke arah wajah Indah.  

"Maaf kan, Ayah,  Sayang!  Ayah  tadi khilaf, janji  tidak akan mengulang  lagi. Demi Tuhan!" 

Mendengar ucapan Danang yang penuh penyesalan, Indah semakin menenggelamkan wajah pada kedua lututnya.  Berusaha meredam suara tangisnya agar tidak memicu kemarahan  ayahnya. 

"Ayah ke rumah sakit dulu, ya. Ingat kalau kamu berani cerita tentang hari ini, bukan kamu saja yang akan kugantung tapi ibumu juga. Paham!"

Indah hanya mengangguk pelan. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang keluar dari pekarangan rumah. Akhirnya  tangis Indah pecah tak terbendung lagi. Walau usianya baru sepuluh tahun namun dirinya sudah paham  apa yang telah dilakukan ayahnya. 

Entah sudah berapa lama Indah tengelam dalam kesedihannya.  Bukan hanya hatinya yang sakit tapi  seluruh tubuh terasa perih dan ngilu. 

Indah berusaha turun dari tempat tidur. Ia bermaksud ke kamar mandi yang terletak di dapur. Dengan tertatih dan meringis gadis belia yang baru saja terampas kehormatannya itu terus berjalan. Beberapa gelas dan piring di meja makan berjatuhan saat tubuh gadis malang itu berpegangan pada sisi meja makan.

Matanya yang berkabut nyaris menabrak tong air yang terletak di samping pintu kamar mandi. Kini lututnya tak lagi mampu menopang tubuh yang terasa berat. Kakinya seolah tak bertulang. 

Selama ini ayahnya memang sering membentak tapi  tak pernah memperlakukan Indah  kasar seperti pada ibunya yang sering dicambuk menggunakan ikat pinggang. Tapi hari ini, Danang telah merampas semuanya.

Sebelumnya sudah beberapa kali Indah mengajak pergi ibunya. Namun Bu Aminah selalu menolak.

"Ibu sudah tak punya siapa-siapa lagi, Nak. Ayahmu berbuat seperti itu karena Ibu yang tidak bisa membahagiakannya. Di sini lebih aman dari dari pada di luar sana. Ibu rela raga Ibu tersakiti asal kamu di sini aman tidak sampai terlantar."

Selalu itu jawaban yang keluar dari mulut ibunya bila Indah mengajak pergi dari rumah.

Kedua lutut Indah luruh ke lantai sebelum sampai ke kamar mandi. Tenaganya benar-benar habis karena tekanan batin. Dengan merangkak, gadis malang itu masuk ke kamar mandi. Menyadarkan punggungnya pada tembok bak mandi.

Beberapa kali tangan Indah gagal meraih gayung yang mengapung di permukaan air. Dengan susah payah  akhirnya ia berhasil mengiring segayung air dan mulai menyiramkan pada tubuhnya. Lagi dan lagi hingga rambut sampai ujung kaki basah kuyup.

Sambil tetap bersandar pada bak mandi, tangan indah mengosok seluruh tubuhnya dengan kasar. Ia merasa begitu kotor dan hina. Kuku-kuku yang belum sempat dipotong menggores permukaan kulit tangan dan kaki Indah hingga berdarah. 

Tubuh Indah kian mengigil dengan suara gigi yang saling beradu. Bibirnya terlihat membiru dan mata memerah. Air mata yang tersamar kan oleh tetesan air dari rambut semakin membuat hatinya rapuh.  Gadis berlesung pipi itu seakan tak ingin menyudahi mandinya. Terus dan terus menyiramkan air pada tubuh hingga bak mandi yang semula penuh kini tinggal seperepat bak.

Jangan kan membawa handuk, memakai pakaian pun tidak saat ia masuk ke kamar mandi. Indah yang tak tahan lagi menahan kesedihan akhirnya terkulai di lantai yang dingin  tak sadarkan diri.

"Nah, goreng uli sama kopinya sudah  datang!"

Indah yang sedang mengingat kejadian kelam tiga belas tahun lalu menatap Bu Aminah yang  membawa nampan.  

"Indah kenapa ngeliatin Ibu seperti itu?" Bu Aminah memegang dagu putrinya.

"Ibu cantik kalau sering tersenyum seperti ini." Indah menatap wajah ibunya yang terlihat lebih tua dari usianya. Gurat kesedihan terlihat jelas dari tatapannya.

Walau kesedihan dan penderita kerap dirasakan oleh Bu Aminah tapi tak bisa menyembunyikan gurat kecantikan di wajahnya.

"Bu, mulai bedok Indah mau keluar kerja," ucap Indah sambil meraih gelas kopi buatan ibunya. 

"Loh, kenapa?"

"Indah pengen buka usaha dagang sate saja, Bu."

"Mentang-mentang ayahmu doyan sate, terus kamu mau buka kedai sate? Yang ada kamu rugi, satenya habis dimakan ayahmu." Bu Aminah terkekeh.

"Biar ibu juga bisa makan sate setiap hari. Gratis."

"Memangnya kamu punya modal dari mana buat buka usaha sate. Besar loh itu!"

"Rencananya Indah mau jual sapi sama kambing. Sejak kang Faiz meninggal, Indah ngga kuat kalau harus nyari rumput setiap hari apa lagi kalau musim kemarau."

"Ibu juga sependapat begitu, Nak. Kasihan lihat badan kamu sejak ditinggal suamimu jadi keling begini. Kamu itu masih muda. Cobalah merawat diri."

"Merawat diri untuk apa, Bu?  Kang Faiz sudah tidak ada." 

"Jangan begitu, Nak. Jangan pernah  putus asa apa lagi menutup hati. Kamu butuh teman hidup."

"Entahlah, Bu. Semakin lama bukannya  lupa sama Kang Faiz  malah semakin ingat."

"Ibu mengerti, Nak. Butuh waktu untuk kamu bisa menata hidup kembali. Menata hatimu. Apa lagi kepergian suamimu begitu cepat."

"Bukan hanya cepat tapi tragis, Bu!"  Indah tak bisa lagi menahan air mata.

Setahun sudah kepergian pria yang sudah berhasil   membawanya pergi dari rumah orang tuanya.  Walau saat itu Danang menentang. 

"Aku akan selalu menjagamu. Tetaplah di sampingku karena pemangsa hanya mampu menangkap buruan yang terpisah dari kawanannya." Faiz merengkuh kepala Indah yang sedang terisak pilu. Hanya kepada Faiz, Indah berani terbuka tentang masa lalunya.

Selama setahun ia benar-benar di ratukan. Walau bukan dengan kemewahan namun sikap lembut dan perhatian Faiz mampu menghangatkan hatinya yang dingin. Selama itu juga Danang tak bisa menyentuhnya karena kemanapun ia pergi selalu ada Faiz yang menemaninya.

Faiz yang kerja di penjagalan hewan di salah satu pasar daging selalu mengajak Indah kerja. Berangkat pagi pulang sore. Dari situlah Indah belajar bagaimana  cara  melumpuhkan  hewan yang akan dipotong.

"Kamu hebat, Sayang, baru beberapa bulan ikut kerja dengan Akang sudah bisa menyembelih kambing." Faiz memuji istrinya yang duduk di boncengannya.

"Tidak tahu, Kang, aku juga heran. Padahal sebelumnya aku paling tidak tega melihat orang menyembelih hewan." 

"Tapi jangan lupa baca doanya kalau mau menyembelih hewan apapun. Usahakan selalu dalam keadaan berwudhu. Biar hewan yang kita sembelih dagingnya halal." ucap Faiz.

BERSAMBUNG

Komen (1)
goodnovel comment avatar
arya
hebat indah, mau dong jadi kambingmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status