"Sudah! Jangan menangis apa lagi cerita sama ibumu." Danang menarik rambut Indah hingga kepalanya mendongak.
"Sakit, Yah, Ampun!" rintih Indah berusaha melepaskan tangan kekar ayahnya.
"Kalau kamu tidak diam, Ayah tidak akan ke rumah sakit. Biarkan ibumu membusuk di sana!" bentak Danang sambil menaikkan resleting celana jeans-nya.
"A-ayah jahat!"
"Sekali lagi kamu bilang Ayah jahat. Kamu akan tahu akibatnya!"
"Sekarang ayah mau ke rumah sakit. Kamu jangan ikut. Istirahat saja. Ini uang jajan buat kamu." Danang mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan melemparkan ke arah wajah Indah.
"Maaf kan, Ayah, Sayang! Ayah tadi khilaf, janji tidak akan mengulang lagi. Demi Tuhan!"
Mendengar ucapan Danang yang penuh penyesalan, Indah semakin menenggelamkan wajah pada kedua lututnya. Berusaha meredam suara tangisnya agar tidak memicu kemarahan ayahnya.
"Ayah ke rumah sakit dulu, ya. Ingat kalau kamu berani cerita tentang hari ini, bukan kamu saja yang akan kugantung tapi ibumu juga. Paham!"
Indah hanya mengangguk pelan. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang keluar dari pekarangan rumah. Akhirnya tangis Indah pecah tak terbendung lagi. Walau usianya baru sepuluh tahun namun dirinya sudah paham apa yang telah dilakukan ayahnya.
Entah sudah berapa lama Indah tengelam dalam kesedihannya. Bukan hanya hatinya yang sakit tapi seluruh tubuh terasa perih dan ngilu.
Indah berusaha turun dari tempat tidur. Ia bermaksud ke kamar mandi yang terletak di dapur. Dengan tertatih dan meringis gadis belia yang baru saja terampas kehormatannya itu terus berjalan. Beberapa gelas dan piring di meja makan berjatuhan saat tubuh gadis malang itu berpegangan pada sisi meja makan.
Matanya yang berkabut nyaris menabrak tong air yang terletak di samping pintu kamar mandi. Kini lututnya tak lagi mampu menopang tubuh yang terasa berat. Kakinya seolah tak bertulang.
Selama ini ayahnya memang sering membentak tapi tak pernah memperlakukan Indah kasar seperti pada ibunya yang sering dicambuk menggunakan ikat pinggang. Tapi hari ini, Danang telah merampas semuanya.
Sebelumnya sudah beberapa kali Indah mengajak pergi ibunya. Namun Bu Aminah selalu menolak.
"Ibu sudah tak punya siapa-siapa lagi, Nak. Ayahmu berbuat seperti itu karena Ibu yang tidak bisa membahagiakannya. Di sini lebih aman dari dari pada di luar sana. Ibu rela raga Ibu tersakiti asal kamu di sini aman tidak sampai terlantar."
Selalu itu jawaban yang keluar dari mulut ibunya bila Indah mengajak pergi dari rumah.
Kedua lutut Indah luruh ke lantai sebelum sampai ke kamar mandi. Tenaganya benar-benar habis karena tekanan batin. Dengan merangkak, gadis malang itu masuk ke kamar mandi. Menyadarkan punggungnya pada tembok bak mandi.
Beberapa kali tangan Indah gagal meraih gayung yang mengapung di permukaan air. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil mengiring segayung air dan mulai menyiramkan pada tubuhnya. Lagi dan lagi hingga rambut sampai ujung kaki basah kuyup.
Sambil tetap bersandar pada bak mandi, tangan indah mengosok seluruh tubuhnya dengan kasar. Ia merasa begitu kotor dan hina. Kuku-kuku yang belum sempat dipotong menggores permukaan kulit tangan dan kaki Indah hingga berdarah.
Tubuh Indah kian mengigil dengan suara gigi yang saling beradu. Bibirnya terlihat membiru dan mata memerah. Air mata yang tersamar kan oleh tetesan air dari rambut semakin membuat hatinya rapuh. Gadis berlesung pipi itu seakan tak ingin menyudahi mandinya. Terus dan terus menyiramkan air pada tubuh hingga bak mandi yang semula penuh kini tinggal seperepat bak.
Jangan kan membawa handuk, memakai pakaian pun tidak saat ia masuk ke kamar mandi. Indah yang tak tahan lagi menahan kesedihan akhirnya terkulai di lantai yang dingin tak sadarkan diri.
"Nah, goreng uli sama kopinya sudah datang!"
Indah yang sedang mengingat kejadian kelam tiga belas tahun lalu menatap Bu Aminah yang membawa nampan.
"Indah kenapa ngeliatin Ibu seperti itu?" Bu Aminah memegang dagu putrinya.
"Ibu cantik kalau sering tersenyum seperti ini." Indah menatap wajah ibunya yang terlihat lebih tua dari usianya. Gurat kesedihan terlihat jelas dari tatapannya.
Walau kesedihan dan penderita kerap dirasakan oleh Bu Aminah tapi tak bisa menyembunyikan gurat kecantikan di wajahnya.
"Bu, mulai bedok Indah mau keluar kerja," ucap Indah sambil meraih gelas kopi buatan ibunya.
"Loh, kenapa?"
"Indah pengen buka usaha dagang sate saja, Bu."
"Mentang-mentang ayahmu doyan sate, terus kamu mau buka kedai sate? Yang ada kamu rugi, satenya habis dimakan ayahmu." Bu Aminah terkekeh.
"Biar ibu juga bisa makan sate setiap hari. Gratis."
"Memangnya kamu punya modal dari mana buat buka usaha sate. Besar loh itu!"
"Rencananya Indah mau jual sapi sama kambing. Sejak kang Faiz meninggal, Indah ngga kuat kalau harus nyari rumput setiap hari apa lagi kalau musim kemarau."
"Ibu juga sependapat begitu, Nak. Kasihan lihat badan kamu sejak ditinggal suamimu jadi keling begini. Kamu itu masih muda. Cobalah merawat diri."
"Merawat diri untuk apa, Bu? Kang Faiz sudah tidak ada."
"Jangan begitu, Nak. Jangan pernah putus asa apa lagi menutup hati. Kamu butuh teman hidup."
"Entahlah, Bu. Semakin lama bukannya lupa sama Kang Faiz malah semakin ingat."
"Ibu mengerti, Nak. Butuh waktu untuk kamu bisa menata hidup kembali. Menata hatimu. Apa lagi kepergian suamimu begitu cepat."
"Bukan hanya cepat tapi tragis, Bu!" Indah tak bisa lagi menahan air mata.
Setahun sudah kepergian pria yang sudah berhasil membawanya pergi dari rumah orang tuanya. Walau saat itu Danang menentang.
"Aku akan selalu menjagamu. Tetaplah di sampingku karena pemangsa hanya mampu menangkap buruan yang terpisah dari kawanannya." Faiz merengkuh kepala Indah yang sedang terisak pilu. Hanya kepada Faiz, Indah berani terbuka tentang masa lalunya.
Selama setahun ia benar-benar di ratukan. Walau bukan dengan kemewahan namun sikap lembut dan perhatian Faiz mampu menghangatkan hatinya yang dingin. Selama itu juga Danang tak bisa menyentuhnya karena kemanapun ia pergi selalu ada Faiz yang menemaninya.
Faiz yang kerja di penjagalan hewan di salah satu pasar daging selalu mengajak Indah kerja. Berangkat pagi pulang sore. Dari situlah Indah belajar bagaimana cara melumpuhkan hewan yang akan dipotong.
"Kamu hebat, Sayang, baru beberapa bulan ikut kerja dengan Akang sudah bisa menyembelih kambing." Faiz memuji istrinya yang duduk di boncengannya.
"Tidak tahu, Kang, aku juga heran. Padahal sebelumnya aku paling tidak tega melihat orang menyembelih hewan."
"Tapi jangan lupa baca doanya kalau mau menyembelih hewan apapun. Usahakan selalu dalam keadaan berwudhu. Biar hewan yang kita sembelih dagingnya halal." ucap Faiz.
BERSAMBUNG
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men