Share

BAB 7

Author: ANNI KARMAN
last update Last Updated: 2023-05-16 14:46:25

"Yang namanya judi itu ngga ada untungnya, Nak. Baik itu judi biasa atau judi online. Nama dan caranya saja yang berbeda tapi tetap tujuannya sama dan dampaknya juga sama."

"Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?"

"Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah.

"Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras."

"Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?"

"Total? Maksudnya?"

"Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya.

"Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu."

"Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya.

"Ibu semakin miris melihat kehidupan zaman sekarang. Tuh lihat keluarga Pak Kusnendar."

"Memangnya ada apa dengan keluarga Pak Kusnendar? Bukanya dia orang terkaya di kampung kita, Bu?"

"Sekarang mereka sudah bangkrut. Kasihan istrinya sampe masuk rumah sakit jiwa?" 

"Astagfirullah! Indah, kok, baru dengar, Bu?"

"Lihat saja rumah sama mobilnya sudah disita Bank. Yaa,  gara-gara Pak Kusnendar terlibat judi online yang tadi ibu bahas."

"Astaghfirullah ... Indah kira judi online itu  cuman permainan biasa."

"Judi kan salah satu perangkap setan. Awalnya sedikit. Menang, terus ketagihan eh ujung-ujungnya kecanduan."

"Betul juga, Bu, macam Bapak itu."

"Makanya, Ibu khawatir. Akhir-akhir ini bapakmu main handphone terus. Di tambah sekarang menghilang."

"Udah, ah, Indah mau mandi dulu. Nanti sehabis sarapan kita jalan-jalan." Indah berdiri sambil melilitkan handuk pada lehernya.

"Mau jalan-jalan ke mana?" Bu Aminah menatap anaknya yang menuju kamar mandi. 

"Hari ini Indah kan mau jual sapi sama kambing. Habis itu kita jalan-jalan sama belanja sekalian ke salon!"

Walau suara indah tenggelam begitu masuk kamar mandi tapi Bu Aminah masih bisa mendengar jelas ucapan anaknya. Sambil terus melanjutkan masak, wanita berusia 45 tahun itu  geleng-geleng kepala.

 ***

 "Masyaallah ... Ibu cantik sekali!" seru Indah menatap ibunya yang terlihat pangling. 

"Ahh, kamu bisa saja. Ibu malu. apa pantas umur Ibu yang sudah ngga muda lagi ini rambutnya dipotong  model begini?" Bu Aminah menatap pantulan wajahnya lewat cermin.

"Iihhh, sis Ami ini sangat cucok dengan potongan rambut seperti ini. Eyke aja pangling!" puji pegawai salon.

"Nanti ayahmu marah kalau lihat Ibu berpenampilan seperti ini?"  Wajah Bu Aminah mendadak sedih.

"Tenang saja, mulai saat ini ngga ada lagi orang yang bisa marahin Ibu. Pokoknya Ibu harus bahagia." Indah memeluk ibunya  dari belakang kursi salon. Terlihat dari pantulan cermin kalau wajah keduanya kini seperti kakak beradik.

"Habis ini kita makan-makan, ya, Bu. Terus kita ke toko perhiasan." Indah mengapit lengan ibunya keluar dari salon.

"Tapi, Nak, nanti uang kamu habis. Tadi kita sudah belanja sembako dan pakaian. Uangmu kan buat modal usaha."

"Sekali-kali, Bu. Kata pak Ustad, kalau kita memberi pada orang tua dan yang diberi bahagia maka Allah akan menambah rezeki kita berlipat. Lagi pula yang hasil penjualan dua sapi dan tiga kambing masih banyak. Pokoknya hari ini aku ingin lihat Ibu bahagia." Indah merengkuh bahu ibunya.

Hari itu, Indah benar-benar memanjakan ibunya. Dari makanan, pakaian bahkan perhiasan. Ia berjanji akan selalu membuat wanita yang bertahun-tahun menderita lahir dan batin itu selalu tersenyum. Walau di balik semua ini ada dosa besar yang harus ia tanggung.

Indah bangga memiliki Ibu secantik Bu Aminah. Hanya saja ia bersuamikan pria yang tidak tepat. Bukan dijadikan ratu tapi malah dijadikan babu. 

Orang tua almarhum suami Faiz menyerahkan semua harta milik anaknya pada Indah. Termasuk rumah yang sekarang ditinggali. Begitu juga dengan  dua sapi dan tiga kambing.  Mereka senang melihat menantunya sekarang terlihat lebih bersemangat.

Indah bersyukur memiliki mertua yang begitu baik dan perduli padanya. Walau mereka termasuk keluarga berada tapi tidak pernah membeda-bedakan. 

"Ayah sama Ibu tidak akan ikut campur dengan hasil penjualan sapi dan kambing. Yang penting dipergunakan dengan baik," ucap pak haji Tajudin.

"Iya, Nak. Ibu ngga tega melihatmu setiap hari mencari rumput. Rumahmu kan pinggir jalan raya. Sangat strategis. Pekarangan yang luas bisa di  bangun kedai. Kamu bisa mengajak ibumu juga. Bukan begitu, Pak?"

"Iya, Bu. Satu lagi pesan Bapak, jangan pernah tinggal Sholat yang lima waktu sesibuk apapun dan selalu tutup aurat. Selain wajib, menutup aurat juga bisa menghindarkan pandangan dari orang-orang yang bisa menimbulkan fitnah.  Apa lagi kamu wanita yang tak bersuami. Kalau bukan kamu yang menjaga diri siapa lagi. Bapak percaya sama kamu."

"Setiap hari usahakan bersedekah, ya, Nak. Agar usahamu lancar. Tak perlu banyak yang penting kamu ikhlas. Ibu juga tak akan menghalangi bila suatu saat ada pria yang datang. Asal dia pria baik." 

Indah yang sejak tadi menahan haru akhirnya tak bisa membendung air mata. Ia menagis sesegukkan di pelukkan Bu Ambar. Andai mereka tahu kalau menatunya itu pembunuh berdarah dingin apa mereka masih mau menerima?

***

"Heh! Kemana kalian sembunyikan Kang Danang?"

Indah yang sedang menyiapkan daging untuk membuat sate dikagetkan oleh suara cempreng wanita yang langsung menerobos ke dapur. 

"Siapa yang menyembunyikan suami Ceu Lilis. Sana geledah atau lihat ke rumah Ibu. Paling juga Ayah kawin lagi." Indah malah membuat istri muda ayahnya semakin terbakar api amarah.

"Terus kami punya uang dari mana bisa buka usaha sate segala? Pasti uang dari Kang Danang?"

"Ibuku tiriku sayang, kalau ngomong jangan seenak jidat. Bukannya uang Ayah sudah habis oleh istri mudanya yang matre ini?"

"Heh, anak ingusan. Sekali lagi kamu bilang aku matre, tamat sudah riwayatmu!" Lilis mengambil pisau yang biasa digunakan untuk memotong daging dari atas meja dan mengarahkan ke leher Indah.   

"Owww, sabar, sabar. Dua juta, tiga juta atau lima juta. Nanti aku kasih. Tapi bukan uang  Ayah. Ini uang hasil penjualan sapi. Sekarang tolong letakan pisau itu." Indah bicara dengan nada lembut.

Mendengar nominal uang yang disebutkan Indah jelas tekanan darah Lilis langsung turun. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala itu tersenyum. Apa lagi setelah melihat anak tirinya menyodorkan amplop berwana coklat.

"Terima kasih Ceu Lilis, dengan  sidik jari ini permainan akan lebih seru," batin Indah menatap pisau yang tadi di pegang Lilis.   

BERSAMBUNG

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dody haryadi
hmmm...mau deh disate sama indah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SATE DAGING AYAH   BAB 38

    "Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng

  • SATE DAGING AYAH   BAB 37

    "Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 36

    Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 35

    Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e

  • SATE DAGING AYAH   BAB 34

    Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut

  • SATE DAGING AYAH   BAB 33

    Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status