Share

BAB 6

Author: ANNI KARMAN
last update Last Updated: 2023-05-16 11:45:44

Tepat di usia dua puluh dua tahun, Indah berkenalan dengan seorang pemuda yang berasal dari kampung sebelah.

"Sendirian saja, Neng?" Indah yang sedang duduk melepaskan penat  dikejutkan oleh kedatangan seorang pria.

"Jangan takut. Saya bukan orang jahat," ucap pria itu saat melihat Indah hendak beranjak dari duduknya.

"Kenalkan, namaku Faiz. Aku dari kampung sebelah. Neng Indah sendirian saja?"

Mata Indah menatap dua ikat jerami yang dibawa pria tersebut. Ia heran mengapa dia tahu namanya.

"Aku tahu nama kamu dari teman-teman. Kita juga pernah satu sekolah cuman aku lebih dulu lulus."  

Kamu haus ngga, Neng?" 

"Kalau haus kita minum air kelapa muda, yuk!" 

Indah menggelengkan kepala. Sejak tadi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ini kali pertama dirinya berhadapan langsung dengan orang asing.

Faiz mengambil dua buah kelapa yang  masih berwana hijau dari kolong gubuk. Dengan cekatan ia memotong bagian ujung  kelapa.

"Satu buat kamu dan satu buat aku." Faiz menyodorkan kelapa muda yang airnya sudah siap diteguk.

Sejak tadi Indah membayangkan segernya minum air kelapa muda. Apa lagi di udara panas seperti ini. 

"Minumlah. Jangan takut, ngga aku masukin racun, kok. Tenang, ini kelapa muda milik keluargaku."

Indah terperanjat, berarti ia dari tadi berteduh di gubuk milik keluarga Faiz. Dia juga tadi ngarit rumput dari kebun ini. Wajah Indah  pun langsung merona merah.

"T-terima kasih, ya, Kang." ucap Indah dengan perasaan tak enak.

"Terima kasihnya nanti saja kalau sudah minum air kelapa." Faiz tersenyum.

"Maaf, saya numpang berteduh di saung  dan mengambil rumput di sekitar kebun ini." Indah menunduk.

"Tidak perlu minta maaf. Saung ini diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin berteduh. Begitu juga dengan rumputnya."

"Terima kasih, Kang." Indah meraih kelapa pemberian Faiz.

  

"Eh, besok Akang juga mau ambil jerami lagi buat pakan sapi. Kita ketemuan di sini, ya? Nanti Akang kasih tahu tempat yang banyak rumputnya."

Indah mengangguk. Entah mengapa ia merasa nyaman walaupun baru bertemu dengan Faiz. 

***

Malam semakin larut. Indah yang sedang terhanyut pada kenangan indah saat bersama Faiz mengambil kaos milik Almarhum suaminya. 

"Maafkan Indah, Yah. Melihat Ayah seperti ini rasanya tak tega. Biar anakmu yang malang ini mengantar Ayah bertemu dengan Kang Faiz. Sampaikan salam  untuknya katakan juga Indah sama Ibu baik-baik saja sekarang. Apa lagi setelah kepergian ayah. Ibu dan aku terbebas."

Tangan Indah merobek kaos yang penuh dengan noda darah itu hingga menjadi dua bagian. Setelah itu dengan berlinang air mata, Indah menyumpalkan kain tersebut pada mulut Danang. Sementara robekan  satunya dipakai untuk mengikat tangan ayahnya.  

Mata Danang mendelik sambil kakinya berusaha digerakkan. Air mata terus keluar dari kedua sudut matanya. 

Indah mengambil golok yang tergeletak di samping ayahnya. Sekali lagi benda pipih yang berujung lancip itu ditarik dari leher turun ke dada. Sampai di sana, senyum Indah menyeringai. Tangannya kembali menggeser golok terus ke bawah.Tepat di bagian daging tak bertulang. 

Danang hanya bisa memejamkan mata. Di saat seperti ini ia baru mengingat nama Allah. Namun terlambat, benda tajam itu lebih dulu memangkas organ tubuhnya yang paling utama. 

Darah keluar diantara paha Danang yang sedang kelonjotan seperti hewan yang baru disembelih. Indah yang tahu betul letak kelemahan pria menjatuhkan golok ke lantai. Wajah yang penuh cipratan darah itu menunduk dingin.

***

Suara orang adu mulut membangunkan Indah yang sedang terlelap. Entah sudah berapa lama ia tidur, yang pasti gorden dan jendela kamar yang tadi terbuka kini sudah tertutup rapat. Sambil duduk di tepi tempat tidur Indah menajamkan pendengarannya. Setelah mengenali suara tersebut ia segera beranjak.

"Heh, wanita penyakitan. Kemana kamu sembunyikan Kang Danang, hah?"

"Demi Allah saya tidak tahu kemana Kang Danang. Dua hari yang lalu Kang Danang pamit ke rumah Ceu Lilis."

"Halahhh, bohong. Buktinya saya mencari Kang Danang sampai ke sini." Wanita Bertubuh sintal itu berjalan ke arah meja makan.

Begitu membuka tudung saji, wanita bernama Lilis itu membulatkan matanya.

"Kamu bilang Kang Danang tidak ada di sini? Ini buktinya, kalian baru saja makan-makan enak." Lilis mendelik ke arah Bu Aminah.

"Itu sate, saya yang belikan buat Ibu." Indah yang merasa telinganya panas menghampiri dua wanita yang sedang berhadap-hadapan.

"Kalau Tante mau, rendang sama sotonya masih utuh. Tadi Ibu cuman makan sate." 

"Kebetulan saya sedang lapar." Lilis memegangi perutnya yang tiba-tiba keroncongan.

Dengan telaten, Indah mengambil piring dan sendok untuk istri muda ayahnya. Hal ini tentu saja membuat Bu Aminah heran. Biasanya Indah paling males kalau berhadapan dengan Lilis.

Indah duduk di seberang meja makan. Menatap wanita yang baru beberapa bulan dinikahi  ayahnya. Lilis makan begitu lahap.

"Gimana, enak tidak masakkan Indah?"

"Soto sama rendangnya enak banget. Kamu memang pintar masak. Tapi satenya kaya yang dijual Kang Nono?" 

"Kalau sate memang beli di kedai Kang Nono. Indah cuman masak rendang sama soto."

"Pantas  rasanya beda. Rendang sama soto dagingnya terasa lembut dan empuk." Lilis terus memuji masakan Indah.

"Besok rencananya Indah mau dagang sate, Tante bisa makan sate setiap hari dengan gratis."

"Serius, Ndah?" 

"Iya, Tante. Pokoknya kalau Tante mau makan sate tinggal datang ke kedai Indah." jawab Indah.

***

"Nak, Ibu, kok, khawatir sama ayahmu. Kalau ngga ada di rumah Ceu Lilis kira-kira ke mana, ya?"

"Paling juga diculik janda, Bu. Udah ngga heran." Indah dengan cuek nyomot goreng tempe di meja makan.

"Husss, kamu ini kalau ngomong suka ngasal. Ada juga ayahmu yang nyulik janda. "Bu Aminah terkekeh.

"Habis ke mana lagi Ayah perginya kalau bukan ke tempat perempuan atau ngga ke rumah judi." 

"Kalau ke rumah janda atau perempuan Ibu udah biasa. Takutnya ayahmu terlibat judi slot yang lagi marak itu."

"Judi slot? Apa lagi itu, Bu?" Indah mengerutkan keningnya.

"Judi slot atau judi online itu semacam permainan tingkat atau sering dikenal dengan bertaruh yang dimainkan di dalam sebuah mesin dengan berbagai fitur menarik di dalamnya."

"Loh, kok kamu malah bengong, jangan-jangan keselek goreng tempe. Nih, buruan minum!" Bu Aminah menyodorkan segelas air putih.

"Indah ngga nyangka ternyata Ibu pintar juga." 

"Jangan salah, gini-gini Ibu juga pernah kuliah."

"Apa?" Indah menautkan alisnya.

"Udah, ah. Ibu bahas lagi soal judi slot. Ini penting buat wawasan kamu, biar ngga keblinger."

"Apa ada keuntungannya dari judi online slot?" Indah menarik kursi dan duduk di samping ibunya yang sedang memotong wortel.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SATE DAGING AYAH   BAB 38

    "Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng

  • SATE DAGING AYAH   BAB 37

    "Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 36

    Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma

  • SATE DAGING AYAH   BAB 35

    Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e

  • SATE DAGING AYAH   BAB 34

    Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut

  • SATE DAGING AYAH   BAB 33

    Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status