Share

SKBUS-2

Selepas Mas Joko pergi bekerja, aku masih mematung memikirkan perubahan suamiku itu.

Biasanya dia tak seperti itu. Jangankan mengatur soal pengeluaran, uang penghasilannya saja selalu dia berikan semuanya padaku. Memang, saat di rumah ibuku, setiap minggu aku selalu memberikan uang jatahku dari Mas Joko sebanyak dua ratus ribu pada ibu. Namanya menumpang hidup di rumah orang tua, setidaknya aku harus punya rasa malu. Aku tahu, uang sebanyak itu pasti takkan cukup untuk mengganti biaya makanku dengan Mas Joko selama seminggu, harusnya aku bisa memberikan lebih, tapi penghasilan Mas Joko hanya segitu.

Ibuku selalu memasak makanan yang enak-enak. Tiap hari, ibu pasti tak pernah absen memasak ayam atau ikan. Kadang juga dia memasak daging sapi. Semua masakan ibu enak-enak. Belum lagi, ibu sangat suka mengajakku membuat kue dan camilan kekinian. Jadi, meski tak di beri uang jajan, perutku pasti selalu kenyang. Hanya saja, saat itu Mas Joko selalu terlihat tak senang saat melihat banyak makanan di rumah ibu. Dia juga selalu makan sedikit. Entah apa yang salah dengannya.

Sekarang ... dihari pertama kami pindah ke kontrakan, aku dibuat kaget dengan ulah Mas Joko. Dia yang selama ini tak pernah menginjak dapur, tiba-tiba jadi mengatur segalanya, bahkan hingga urusan masak memasak. Bukan hanya itu, nasi yang kumakan pun ternyata kini diaturnya. Aneh sekali perubahannya. Kenapa dia tiba-tiba jadi pelit dan kedekut seperti itu.

Kruuuukkk ... Perutku tiba-tiba saja berbunyi.

"Aduh, padahal tadi udah makan. Sekarang kok, laper lagi."

Aku bergumam sendiri. Padahal ini baru pukul sepuluh pagi.

Dengan langkah lunglai, aku menuju dapur. Mencari sesuatu yang bisa dimakan di sana.

Kubuka satu persatu rak piring, barangkali ada mie instan atau apa saja yang bisa di makan untuk mengganjal perut. Melihat salah satu bagian lemari yang terkunci, tiba-tiba hatiku melengos miris. Bisa-bisanya Mas Joko sampai mengunci semua makanan di sana. Padahal aku ini istrinya sendiri. Rasanya sudah seperti tikus saja sampai semua di kunci di sana karena takut kumakan.

Setelah menelusuri semua bagian lemari penyimpanan, ternyata memang tak ada satupun yang bisa dimakan di sana. Kuseret langkah menuju galon yang tersimpan dibawah. Mengambil gelas lalu memencet mesin pompa untuk mengeluarkan airnya.

Satu gelas langsung kuteguk airnya hingga habis, lanjut gelas kedua, kemudian di gelas ketiga aku berhenti minum. Kuusap perutku yang terasa penuh, tapi masih lapar. Ternyata minum banyak air tak membuat kenyang, hanya membuat begah saja. Hufh ....

Yang menambah miris adalah, aku sama sekali tak pegang uang sekarang. Semua benar-benar di pegang oleh Mas joko.

Ingin menyusul Mas Joko ke depan, tapi rasanya aku takut dia balik marah jika meminta uang. Tadi saja, dia tak mau memberikannya. Apalagi sekarang.

Lemas, aku terduduk di lantai dapur sambil berpikir dari mana harus mendapatkan uang. Di tambah, aku mendengar suara tukang bakso yang memukul-mukul mangkok baru saja lewat di depan. Cacing-cacing di perut jadi semakin berdemo.

Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Dengan semangat empat lima, aku sedikit berlari menuju kamar dan mengobrak-abrik tas berisi baju-baju yang belum kupindahkan ke dalam lemari pakaian. Tadinya hari ini aku berencana akan menyelesaikan beres-beres di kontrakan, tapi karena perut yang lapar, rasanya aku sangat tak bersemangat untuk melakukan apapun.

Ketemu!

Senyumku langsung terbit saat membuka amplop pemberian ibuku kemarin. Ternyata isinya dua lembar uang seratus ribuan.

"Alhamdulillah ...." pekikku senang sambil berjingkrak-jingkrak. Lekas aku berlari ke depan rumah.

"Bang ...!! Beliiii!!" teriakku pada si Abang Tukang Bakso. Beruntung tukang bakso itu masih ada di dekat rumah tetangga.

Dengan semangat, dia menghampiriku sambil mengendarai motornya yang agak jauh dari tempatku. Dia parkir tepat di depan teras. Sejenak aku kembali ke dapur dan mengambil mangkok.

"Bang, aku mau bakso yang paling gedenya dua, tahu baksonya dua, siomay basah dua, siomay keringnya empat deh, sama pake so'un dua, ya. Cabenya tiga sendok." Aku sangat bersemangat saat melihat panci berisi bakso-bakso yang berjejer rapi di dalamnya. Air liurku hampir saja menetes. Sudah terbayang sekali rasanya jika kuah bakso yang pedas itu mendarat di tenggorokanku.

"Berapa, Bang?"

"Dua puluh ribu, Neng."

Setelah membayar, aku lekas membawa mangkuk berisi bakso itu ke dalam rumah. Duh ... baru mencium aromanya saja sudah membuat cacing di perutku kembali meronta minta di isi.

"Ah, surga dunia emang, kalo lagi laper, terus makan bakso super pedas," ucapku sambil terus menyeruput kuah bakso dan memasukkan potongan-potongan bakso itu ke dalam mulutku. Nikmatnya tiada tara.

Saat sedang asyik menikmati bakso, tiba-tiba sebuah suara bariton mengagetkanku.

"Dek! Kamu lagi apa?" Aku hampir saja tersedak. Ternyata itu Mas Joko.

"Eh, Mas Joko. Bikin kaget aja, deh. Adek lagi makan bakso, nih, Mas. Mas mau?" Aku mengangkat mangkuk baksoku dan menyodorkannya ke hadapan Mas Joko.

"Bakso? Kamu punya uang dari mana buat beli bakso? Bukannya kamu gak pegang uang?" selidik Mas Joko seperti tak suka.

"Oh, anu. Itu ... kemarin pas kita pindah, ibuku nyelipin amplop di tasku, Mas. Aku baru inget tadi. Jadi, aku pake buat beli bakso aja, soalnya laper, hehe." Aku tersenyum ke arahnya.

"Amplop? Berapa isinya?" tanyanya. Dia sama sekali tak balas tersenyum. Perasaanku mulai tak enak.

"Gak banyak, Mas. Cuma seratus ribu. Ini sisanya." Aku menunjukkan uang sebanyak 80ribu yang tergeletak di lantai, uang kembalian tadi membeli bakso. Sengaja aku tak memberitahu semuanya. Firasatku mulai tak enak melihat gelagat Mas Joko yang seperti itu.

Tiba-tiba saja, Mas Joko langsung mengambil uang tersebut dan mengantonginya di saku celananya.

"Loh, Mas. Kok, uangku malah diambil? Balikin!" sentakku tak terima.

"Gak. Uangnya biar Mas yang simpan. Biar kamu gak boros terus!"

"Hah?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status