Share

SKBUS-3

"Mas kenapa, sih? Kok, semenjak kita pindah jadi pelit kayak gini?" Aku melayangkan protes kali ini pada Mas Joko. Aku tak boleh diam saja saat kelakuan Mas Joko sudah keterlaluan seperti ini.

"Pelit? Bukan Mas yang pelit, tapi kamunya aja yang boros, Dek!" balas Mas Joko ketus.

"Loh, biasanya juga, Mas gak banyak ngatur meski aku banyak jajan? Sekarang kenapa malah jadi ngatur-ngatur kayak gini, sih?"

"Mas udah cukup diem selama ini, Dek. Kamu selalu menghabiskan uang yang Mas kasih tiap minggunya. Bahkan kamu gak pernah bisa menabung. Padahal Mas selalu kasih kamu uang dua ratus ribu seminggu." Mas Joko terlihat sekali kesalnya. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah banyak bicara. Mas Joko termasuk suami yang pendiam dan tak banyak mengatur. Tapi, melihatnya seperti ini, aku jadi merasa dia seolah bukan Mas Joko. Apa mungkin dia kerasukan Jin? Ah, tapi mana mungkin juga.

"Mas, uang dua ratus ribu cukup buat apa? Buat ganti bekas makan kita aja gak bakal cukup. Mana semua kebutuhan sehari-hari, kan, dari ibuku, Mas. Gas, sabun, listrik, beras, bahkan lauknya juga ibuku yang sediakan. Tambah lagi, Ibu juga sering kasih aku baju. Kita udah enak cuma tinggal makan tidur aja, gak mikirin yang lain. Jadi, wajar dong, kalau aku kasihkan uang nafkah dari Mas Joko ke Ibu?"

Aneh sekali Mas Joko ini. Bukannya bersyukur tinggal di rumah orang tuaku, enak. Tinggal makan, tidur, gak usah mikir bayar listrik atau beli beras. Ini malah uring-uringan bilang aku boros.

"Gak mikir, katamu? Cuma makan tidur? Aku kerja, Dek. Aku capek cari kerja buat nafkahin kamu, tapi kamu malah kasih semua sama ibumu. Dahlah, capek ngomong sama kamu. Mas mau balik ke depan. Tadinya Mas cuma mau ambil kunci inggris ketinggalan. Liat kamu kayak gini malah jadi kesel, kan." Mas Joko melengos begitu saja.

"Eh, Mas. Balikin dulu uangku yang tadi." Aku menahan lengannya. Tapi Mas Joko malah menepisnya.

"Uangnya biar Mas yang simpen. Mulai besok, Mas yang kasih kamu jatah, lima ribu sehari," ucapnya sambil melenggang keluar rumah.

"Hah? Lima ribu? Mana cukup. Maaaasss ... jangan kayak gini dong. Mas! Maaasss! Iiiiih! Kamu nyebeliiin!" teriakku.

Mas Joko malah menghiraukanku dan pergi begitu saja. Selera makanku pun jadi hilang. Tapi, melihat isi mangkuk yang masih sisa setengahnya, akhirnya aku kembali menghabiskan sisa baksoku itu meski dengan perasaan yang dongkol.

Hah ... Apa tadi yang Mas Joko bilang? Jatahku lima ribu sehari katanya? Enak saja. Aku tak biasa di atur seperti itu. Bahkan saat di rumah Ibu saja, aku selalu mendapatkan jatah sendiri dari ibu. Maklum, ibu dan bapakku adalah orang yang cukup berada. Ibu memiliki toko baju di pasar, sedangkan Bapak mengelola toko sayuran.

Aku memilih menikah dengan Mas Joko setahun setelah keluar dari SMA. Meski aku di minta berkuliah oleh kedua orang tuaku itu, tapi karena rasa cintaku pada Mas Joko yang usianya tujuh tahun lebih tua dariku itu, akhirnya kedua orang tuaku terpaksa setuju menikahkanku dengannya.

Aku bertemu dengan Mas Joko di sosial media. Mas Joko yang tampan dan gagah juga terlihat dewasa itu sudah memikat hatiku sejak pertama kali kami bertemu. Aku yang baru mengenal cinta selalu merasa di ratukan oleh Mas Joko setiap hari.

Meski Mas Joko bukan dari kalangan berada, tapi perhatiannya berhasil membuatku jatuh cinta.

Hanya saja, melihatnya yang sekarang, kenapa aku seakan kehilangan Mas Joko ku yang dulu? Apa yang telah membuatnya berubah drastis sebenarnya?

***

Seminggu berlalu ... ternyata ucapan Mas Joko yang berkata bahwa beras satu kilogram untuk seminggu itu benar-benar dia realisasikan.

Selama seminggu ini, kami makan setiap hari dengan menu yang sama. Menu yang waktu itu sudah Mas Joko beli. Iwak asin, telur dadar, sambel dan kadang dengan lalapan kadang juga tidak. Bayangkan saja, selama satu minggu penuh, setiap sehari tiga kali, aku harus makan dengan menu yang sama terus-menerus. Bahkan, ketika sore hari tiba, ternyata jatah lima ribu yang diberikan oleh Mas Joko itu, harus kubelikan lauk untuk makan malam karena telur dadar tipis yang di bagi empat itu hanya cukup untuk dua kali makan. Alhasil, uang itu kubelikan tahu, tempe, atau apapun itu untuk lauk makan malamku dengan Mas Joko.

Sebenarnya aku sama sekali tak masalah jika makan hanya dengan garam atau iwak asin sekalipun, asal nasinya bisa membuatku kenyang. Sedangkan ini? Mas Joko tetap menjatahku dengan lima sendok nasi yang porsinya hanya cukup untuk balita. Kadang, aku sampai lemas menunggu waktu makan tiba karena Mas Joko tetap saja mengunci lemari penyimpanan makanan itu setiap kali dia pergi bekerja.

Setiap kali aku memprotes, Mas Joko selalu menasihatiku,. Dia bilang kalau dia melakukan semua itu agar kita cepat bisa membeli rumah. Aku yang melihat kesungguhannya kadang jadi tersentuh. Apalagi, dia juga ikut makan sedikit sama sepertiku, padahal dia harus bekerja di bengkel dan butuh banyak tenaga. Jadi, aku coba saja dulu mengikuti keinginannya.

Beruntungnya, uang sisa yang ibuku berikan waktu itu, diam-diam bisa kugunakan untuk mengganjal perut. Kadang aku membeli mie instan, roti, atau apapun itu saat Mas Joko tak ada di rumah. Yang penting aku tak ketahuan lagi olehnya. Biarlah dia menyangka aku ini istri yang penurut untuk sementara waktu. Aku hanya ingin tahu, benarkah dia memang bersungguh-sungguh ingin membangunkan aku rumah. Jadi, aku akan mendukungnya terlebih dahulu meski aku harus sembunyi-sembunyi makan di belakangnya. Jika uangku habis, aku mungkin bisa meminta uang pada ibuku saja. Tentu tanpa sepengetahuan Mas Joko.

Suang ini, aku rasanya ingin pergi melihat pekerjaan Mas Joko di depan. Kata tetangga sebelahku, sih, bengkel Mas Joko selalu ramai pengunjung. Aku jadi penasaran bagaimana aktifitas dia saat bekerja.

Dengan langkah riang, aku berjalan ke arah jalan raya di mana bengkel Mas Joko berada di dekat pertigaan sana. Jarak dari kontrakan ke sana lumayan jauh sekitar setengah kilo meter. Tapi, tak menyurutkan niatku untuk melihat suamiku bekerja.

Saat sampai bengkel, ternyata Mas Joko tak ada di sana. Hanya ada dua orang pegawainya saja yang kuketahui sudah ikut dengannya selama tiga tahun ini. Mereka terlihat sedang mengganti ban motor pelanggan.

Mas Toni, maaf. Mas Joko nya kemana, ya?" tanyaku pada salah satu pegawai yang kutahu bernama Toni.

"Oh, Neng Lastri. Mas Jokonya lagi ke depan sana, katanya tadi belum sarapan, jadi mau beli nasi padang dulu."

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status