Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
"Dek Lastri, ini Mas udah beli beras sama lauknya. Cukup-cukupin, ya, buat seminggu," ucap Mas Joko sambil menyerahkan sebuah kantung kresek kecil berisi beras yang kuperkirakan seberat satu kilo gram beserta satu plastik kecil iwak asin dan setengah kilogram telur ayam. "Gak salah ini, Mas? Beras sekilo mana cukup buat seminggu, Mas. Ini juga, lauknya masa segini?" Aku melayangkan protes padanya. Bagaimana mungkin beras satu kilogram cukup untuk satu minggu? Bahkan lauknya saja hanya seperti itu dan Mas Joko malah berkata semua itu harus cukup untuk seminggu? Apa dia bercanda? Kebiasaan di rumah ibuku dulu, beras satu kilo itu hanya cukup untuk makan sehari dengan empat orang anggota keluarga, itupun kadang tak cukup. Sedangkan aku dan Mas Joko yang tinggal berdua, minimal mungkin setengah kilo beras sehari untuk tiga kali makan. "Cukup lah, Dek. Kalau kamu takut gak cukup, sini biar Mas yang atur cara masaknya." Mas Joko tiba-tiba mengambil kembali beras yang baru saja dia serahk
Selepas Mas Joko pergi bekerja, aku masih mematung memikirkan perubahan suamiku itu. Biasanya dia tak seperti itu. Jangankan mengatur soal pengeluaran, uang penghasilannya saja selalu dia berikan semuanya padaku. Memang, saat di rumah ibuku, setiap minggu aku selalu memberikan uang jatahku dari Mas Joko sebanyak dua ratus ribu pada ibu. Namanya menumpang hidup di rumah orang tua, setidaknya aku harus punya rasa malu. Aku tahu, uang sebanyak itu pasti takkan cukup untuk mengganti biaya makanku dengan Mas Joko selama seminggu, harusnya aku bisa memberikan lebih, tapi penghasilan Mas Joko hanya segitu.Ibuku selalu memasak makanan yang enak-enak. Tiap hari, ibu pasti tak pernah absen memasak ayam atau ikan. Kadang juga dia memasak daging sapi. Semua masakan ibu enak-enak. Belum lagi, ibu sangat suka mengajakku membuat kue dan camilan kekinian. Jadi, meski tak di beri uang jajan, perutku pasti selalu kenyang. Hanya saja, saat itu Mas Joko selalu terlihat tak senang saat melihat banyak m
"Mas kenapa, sih? Kok, semenjak kita pindah jadi pelit kayak gini?" Aku melayangkan protes kali ini pada Mas Joko. Aku tak boleh diam saja saat kelakuan Mas Joko sudah keterlaluan seperti ini. "Pelit? Bukan Mas yang pelit, tapi kamunya aja yang boros, Dek!" balas Mas Joko ketus. "Loh, biasanya juga, Mas gak banyak ngatur meski aku banyak jajan? Sekarang kenapa malah jadi ngatur-ngatur kayak gini, sih?""Mas udah cukup diem selama ini, Dek. Kamu selalu menghabiskan uang yang Mas kasih tiap minggunya. Bahkan kamu gak pernah bisa menabung. Padahal Mas selalu kasih kamu uang dua ratus ribu seminggu." Mas Joko terlihat sekali kesalnya. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah banyak bicara. Mas Joko termasuk suami yang pendiam dan tak banyak mengatur. Tapi, melihatnya seperti ini, aku jadi merasa dia seolah bukan Mas Joko. Apa mungkin dia kerasukan Jin? Ah, tapi mana mungkin juga. "Mas, uang dua ratus ribu cukup buat apa? Buat ganti bekas makan kita aja gak bakal cukup. Mana semua
Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu. Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku. "Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani. 'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal. "Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang. "Bungkus aja, B
Minggu kedua .... "Mas, apa gak berlebihan kita makan kayak gini terus? Emm ... maksud Adek, kalau beras sekilo buat tiga hari mungkin masih wajar, Mas. Tapi, ini sekilo buat seminggu ... mana ada yang sanggup, Mas," ucapku hati-hati saat kami selesai sarapan pagi ini. "Kenapa? Adek gak terima kalau Mas kasih makan sedikit? Lihat, buktinya Adek seminggu kemarin aja, sanggup makan sedikit tiap hari. Dan Mas lihat-lihat, berat badan Adek malah kayaknya makin bertambah." Mas Joko menatapku penuh selidik. Aku langsung menggigit bibir gelagapan. 'Ya, gimana gak kuat aku seminggu kemarin, Mas. Wong tiap hari aku jajan terus kalo situ gak di rumah. Hihi. Untung aku masih ada sisa uang dari ibuku kemarin. Kalo enggak? Hmm ... Mungkin aku udah kabur dari seminggu yang lalu.' Aku membatin sendiri mendengar ucapan Mas Joko yang mengatakan aku makin gemuk. Padahal berat badanku turun satu kilo. "Sanggup, sih. Tapi aku pengennya kita biasa aja kayak orang lain, Mas. Jangan terlalu hemat sampai
PoV JOKO'Duh, gara-gara kesel sama Lastri, aku sampe lupa ngunci bufet, kan. Jangan sampe dia ngabisin makanan di sana. Bisa-bisa dia kembali boros. Udah bagus seminggu ini dia bisa tahan makan sedikit.' Aku menggerutu sepanjang jalan saat terpaksa kembali ke kontrakan. Berdoa semoga saja Lastri tak kalap dan menghabiskan makanan yang ada di sana. Sungguh merepotkan. Padahal, baru saja aku ingin menyuap nasi padang yang kubeli, aku malah teringat dengan pintu bufet yang tadi tak sempat kukunci. Terpaksa kusimpan dulu nasi padangku di meja kerja, daripada nanti nasi yang di rumah habis di makan Lastri. Ah, jadi ingat kejadian kemarin saat Lastri memergoki aku membeli nasi padang, hampir saja aku ketahuan. Untung saja tiba-tiba ada ide yang muncul di kepalaku untuk memberikan nasi itu pada kedua pegawaiku meskipun Lastri sedikit tak percaya dan aku harus keluar uang 50ribu. Tak apalah, toh, hanya sekali itu saja. Aku memang sedang mengajarkan istriku itu untuk berhemat. Kalau istilah
PoV LastriSungguh aku geram dengan kelakuan Mas Joko. Bisa-bisanya dia mengancamku agar menyembunyikan kelakukannya di depan ibuku sendiri. Terlihat sekali kalau dia sangat takut jika ibuku itu murka, sampai-sampai dia tega mencubit pinggangku diam-diam. Oke, kali ini aku akan menurut. Tapi, kita lihat saja kedepannya. Siapa yang lebih pintar di antara kita, Mas! Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan memperlakukan aku seperti ini. Jika memang semua pengorbanan dan kesabaranku selama ini tak ada hasilnya, maka aku akan pastikan bahwa semua akan berakhir dengan semestinya."Permisiii ...." Suara seseorang terdengar memanggil dari depan rumah. Bergegas aku ke depan. Tapi, Mas Joko tiba-tiba di tahan oleh ibukku untuk membetulkan keran air yang tadi bocor saat di pakainya di toilet. Saat berjalan ke depan, netraku tertuju pada kantong kresek yang masih teronggok di lantai. 'Duh, pake lupa nyimpen segala ini belanjaan dari Ibu. Mas Joko tadi ngintip dalemnya gak, ya? Gawat kal