Share

SATU KILOGRAM BERAS UNTUK SEMINGGU
SATU KILOGRAM BERAS UNTUK SEMINGGU
Penulis: Hima Runa

SKBUS-1

"Dek Lastri, ini Mas udah beli beras sama lauknya. Cukup-cukupin, ya, buat seminggu," ucap Mas Joko sambil menyerahkan sebuah kantung kresek kecil berisi beras yang kuperkirakan seberat satu kilo gram beserta satu plastik kecil iwak asin dan setengah kilogram telur ayam.

"Gak salah ini, Mas? Beras sekilo mana cukup buat seminggu, Mas. Ini juga, lauknya masa segini?" Aku melayangkan protes padanya. Bagaimana mungkin beras satu kilogram cukup untuk satu minggu? Bahkan lauknya saja hanya seperti itu dan Mas Joko malah berkata semua itu harus cukup untuk seminggu? Apa dia bercanda?

Kebiasaan di rumah ibuku dulu, beras satu kilo itu hanya cukup untuk makan sehari dengan empat orang anggota keluarga, itupun kadang tak cukup. Sedangkan aku dan Mas Joko yang tinggal berdua, minimal mungkin setengah kilo beras sehari untuk tiga kali makan.

"Cukup lah, Dek. Kalau kamu takut gak cukup, sini biar Mas yang atur cara masaknya." Mas Joko tiba-tiba mengambil kembali beras yang baru saja dia serahkan.

"Ta-tapi, Mas ...." Aku sudah tak bisa protes lagi karena Mas Joko langsung berlalu ke dapur.

Aku dan Mas Joko baru saja pindah ke rumah kontrakan. Sebelumnya kami memang tinggal di rumah orang tuaku selama setahun belakangan, hanya saja di tahun kedua pernikahan kami ini, Mas Joko mengajakku untuk mandiri. Katanya dia tak enak hidup menumpang di rumah mertua terus. Tapi, baru saja sehari kami pindah. Aku malah di kejutkan dengan tingkahnya.

Baiklah, aku akan lihat, bisa tidak Mas Joko menggunakan satu kilogram beras tersebut untuk makan kami seminggu ke depan.

Benar saja, Mas Joko langsung pergi menanak nasi. Herannya dia hanya memasak setengah kaleng susu, beras yang tadi dia beli. Ah, aku tak banyak protes. Kubiarkan saja dia melakukan apa yang dia mau. Aku ingin tahu bagaimana dia akan mengatur semuanya. Dia pikir semudah itu mengatur pengeluaran rumah tangga. Pasti dia takkan berhasil.

Setelah nasi matang, Mas Joko menggoreng satu butir telur dan satu buah iwak asin. Dia juga ternyata merebus daun pucuk singkong yang entah kapan dia petik bersama daun pucuk pepaya. Setelah itu dia mengulek sambal dengan tiga buah cabai rawit tanpa bawang, tomat ataupun terasi. Hanya cabai dengan garam dan sedikit micin kemudian dia tuangkan sedikit minyak goreng panas. Sedari tadi aku hanya mematung menyaksikan Mas Joko memasak sendirian. Saat menawarkan bantuan pun, dia sama sekali enggan untuk di bantu.

"Ayo, Dek. Ini nasi sama lauknya udah mateng. Kita sarapan dulu," ajak Mas Joko.

Dengan semangat, aku langsung duduk lesehan bersamanya. Kami memang belum memiliki meja makan, jadi kami terpaksa makan sambil duduk lesehan.

Mas Joko terlihat mengambil satu centong nasi yang kira-kira sebanyak lima sendok makan tak munjung ke dalam piring, kemudian dia malah meletakkan piring nasi itu ke hadapanku. Aku langsung mengernyit heran, "ini buat aku, Mas?" tanyaku memberanikan diri.

"Iya, itu buat kamu, Dek. Oh, iya. Ini lauknya lupa."

Mas Joko kembali mengambil piringku dan memasukan satu potongan telur yang tadi di dadarnya dan dia bagi menjadi empat bagian tipis. Dia juga menambahkan secuil ikan asin dan juga lalapan. "Ini, ayo makan yang lahap, Dek."

Aku hanya terpaku melihat sepiring nasi yang porsinya bagiku hanya cukup untuk anak berusia dua tahun itu. Kulihat isi piring Mas Joko juga memiliki porsi yang sama denganku.

"Kenapa cuma di liatin aja makanannya, Dek? Ayo di makan." Suara Mas Joko membuyarkan lamunanku.

"Hah, oh, i-iya, Mas. Ini Adek mau makan."

'Ah ... baiklah, aku makan saja dulu, nanti jika kurang aku akan tambah lagi,' batinku.

Aku makan dengan lahap, hingga tak lama dari itu, nasi di piringku sudah habis tak bersisa. Dengan santai, aku berniat menyendok nasi lagi, dan menambah porsi makanku. Jujur saja, aku masih sangat lapar karena semalam lelah membereskan barang setelah pindahan. Namun, tanpa di duga, Mas Joko tiba-tiba malah menahan lenganku yang sedang menyendok nasi, "kamu mau apa, Dek?" tanya Mas Joko sambil menatapku aneh.

"Adek mau nambah lagi, Mas. Adek masih laper. Kenapa gitu?" tanyaku polos.

"Jangan lah, Dek. Ini buat jatah makan kita nanti siang sama malem. Biar Mas gak usah masak lagi. Gimana sih, kamu, Dek. Jangan boros-boros, ya. Yang barusan juga pasti udah cukup buat ganjal perut, kan?" ucap Mas Joko sambil bangkit, dia memasukkan kembali nasi beserta lauknya ke dalam lemari. Dan yang membuat aku semakin syok, Mas Joko bahkan mengunci lemari makanan itu dan mengantongi kuncinya.

"Mas berangkat, kamu jaga rumah,ya, Dek." Mas Joko yang sudah mencuci tangannya itu kemudian mendekat mengecup keningku pelan sambil berlalu meninggalkanku yang masih mematung mencerna apa yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu ...

"Mas, tunggu." Aku menyusul Mas Joko ke depan.

"Kenapa, Dek?" Mas Joko yang sudah sampai di depan pintu langsung berhenti dan berbalik menghadapku.

"Mas, gak ngasih aku uang pegangan?" tanyaku hati-hati.

"Uang pegangan?" tanyanya. Kulihat keningnya sedikit mengkerut. Aku mengangguk mantap. Rencananya, nanti siang aku akan jajan bakso saja sambil menunggu jadwal makan siang. Mas Joko membuka bengkel kecil dipinggir jalan dekat kontrakan, jadi nanti siang pasti pulang untuk makan siang bersama.

"Buat apa uang, Dek? Toh, kita belum punya anak."

"Buat pegangan aja, Mas. Siapa tau nanti mau beli bakso atau siomay yang lewat."

Mas Joko malah terlihat menghela nafas.

"Gak usah aneh-aneh, Dek. Mulai sekarang, Mas gak akan kasih kamu uang. Biar Mas yang pegang semua uangnya setiap hari biar kita gak boros. Udah cukup kita boros tahun kemarin. Sekarang gak lagi. Mas pergi kerja dulu."

Aku makin melongo mendengar ucapan Mas Joko barusan.

'Mas Joko kesambet apa, ya? Kenapa tiba-tiba berubah?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status