Selepas Mas Joko pergi bekerja, aku masih mematung memikirkan perubahan suamiku itu. Biasanya dia tak seperti itu. Jangankan mengatur soal pengeluaran, uang penghasilannya saja selalu dia berikan semuanya padaku. Memang, saat di rumah ibuku, setiap minggu aku selalu memberikan uang jatahku dari Mas Joko sebanyak dua ratus ribu pada ibu. Namanya menumpang hidup di rumah orang tua, setidaknya aku harus punya rasa malu. Aku tahu, uang sebanyak itu pasti takkan cukup untuk mengganti biaya makanku dengan Mas Joko selama seminggu, harusnya aku bisa memberikan lebih, tapi penghasilan Mas Joko hanya segitu.Ibuku selalu memasak makanan yang enak-enak. Tiap hari, ibu pasti tak pernah absen memasak ayam atau ikan. Kadang juga dia memasak daging sapi. Semua masakan ibu enak-enak. Belum lagi, ibu sangat suka mengajakku membuat kue dan camilan kekinian. Jadi, meski tak di beri uang jajan, perutku pasti selalu kenyang. Hanya saja, saat itu Mas Joko selalu terlihat tak senang saat melihat banyak m
"Mas kenapa, sih? Kok, semenjak kita pindah jadi pelit kayak gini?" Aku melayangkan protes kali ini pada Mas Joko. Aku tak boleh diam saja saat kelakuan Mas Joko sudah keterlaluan seperti ini. "Pelit? Bukan Mas yang pelit, tapi kamunya aja yang boros, Dek!" balas Mas Joko ketus. "Loh, biasanya juga, Mas gak banyak ngatur meski aku banyak jajan? Sekarang kenapa malah jadi ngatur-ngatur kayak gini, sih?""Mas udah cukup diem selama ini, Dek. Kamu selalu menghabiskan uang yang Mas kasih tiap minggunya. Bahkan kamu gak pernah bisa menabung. Padahal Mas selalu kasih kamu uang dua ratus ribu seminggu." Mas Joko terlihat sekali kesalnya. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah banyak bicara. Mas Joko termasuk suami yang pendiam dan tak banyak mengatur. Tapi, melihatnya seperti ini, aku jadi merasa dia seolah bukan Mas Joko. Apa mungkin dia kerasukan Jin? Ah, tapi mana mungkin juga. "Mas, uang dua ratus ribu cukup buat apa? Buat ganti bekas makan kita aja gak bakal cukup. Mana semua
Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu. Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku. "Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani. 'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal. "Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang. "Bungkus aja, B
Minggu kedua .... "Mas, apa gak berlebihan kita makan kayak gini terus? Emm ... maksud Adek, kalau beras sekilo buat tiga hari mungkin masih wajar, Mas. Tapi, ini sekilo buat seminggu ... mana ada yang sanggup, Mas," ucapku hati-hati saat kami selesai sarapan pagi ini. "Kenapa? Adek gak terima kalau Mas kasih makan sedikit? Lihat, buktinya Adek seminggu kemarin aja, sanggup makan sedikit tiap hari. Dan Mas lihat-lihat, berat badan Adek malah kayaknya makin bertambah." Mas Joko menatapku penuh selidik. Aku langsung menggigit bibir gelagapan. 'Ya, gimana gak kuat aku seminggu kemarin, Mas. Wong tiap hari aku jajan terus kalo situ gak di rumah. Hihi. Untung aku masih ada sisa uang dari ibuku kemarin. Kalo enggak? Hmm ... Mungkin aku udah kabur dari seminggu yang lalu.' Aku membatin sendiri mendengar ucapan Mas Joko yang mengatakan aku makin gemuk. Padahal berat badanku turun satu kilo. "Sanggup, sih. Tapi aku pengennya kita biasa aja kayak orang lain, Mas. Jangan terlalu hemat sampai
PoV JOKO'Duh, gara-gara kesel sama Lastri, aku sampe lupa ngunci bufet, kan. Jangan sampe dia ngabisin makanan di sana. Bisa-bisa dia kembali boros. Udah bagus seminggu ini dia bisa tahan makan sedikit.' Aku menggerutu sepanjang jalan saat terpaksa kembali ke kontrakan. Berdoa semoga saja Lastri tak kalap dan menghabiskan makanan yang ada di sana. Sungguh merepotkan. Padahal, baru saja aku ingin menyuap nasi padang yang kubeli, aku malah teringat dengan pintu bufet yang tadi tak sempat kukunci. Terpaksa kusimpan dulu nasi padangku di meja kerja, daripada nanti nasi yang di rumah habis di makan Lastri. Ah, jadi ingat kejadian kemarin saat Lastri memergoki aku membeli nasi padang, hampir saja aku ketahuan. Untung saja tiba-tiba ada ide yang muncul di kepalaku untuk memberikan nasi itu pada kedua pegawaiku meskipun Lastri sedikit tak percaya dan aku harus keluar uang 50ribu. Tak apalah, toh, hanya sekali itu saja. Aku memang sedang mengajarkan istriku itu untuk berhemat. Kalau istilah
PoV LastriSungguh aku geram dengan kelakuan Mas Joko. Bisa-bisanya dia mengancamku agar menyembunyikan kelakukannya di depan ibuku sendiri. Terlihat sekali kalau dia sangat takut jika ibuku itu murka, sampai-sampai dia tega mencubit pinggangku diam-diam. Oke, kali ini aku akan menurut. Tapi, kita lihat saja kedepannya. Siapa yang lebih pintar di antara kita, Mas! Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan memperlakukan aku seperti ini. Jika memang semua pengorbanan dan kesabaranku selama ini tak ada hasilnya, maka aku akan pastikan bahwa semua akan berakhir dengan semestinya."Permisiii ...." Suara seseorang terdengar memanggil dari depan rumah. Bergegas aku ke depan. Tapi, Mas Joko tiba-tiba di tahan oleh ibukku untuk membetulkan keran air yang tadi bocor saat di pakainya di toilet. Saat berjalan ke depan, netraku tertuju pada kantong kresek yang masih teronggok di lantai. 'Duh, pake lupa nyimpen segala ini belanjaan dari Ibu. Mas Joko tadi ngintip dalemnya gak, ya? Gawat kal
Ternyata agak susah juga mencari alasan agar membuat ibu percaya dengan apa yang kukatakan. "Aku takut ketahuan Mas Joko Bu," ucapku. "Loh, emangnya kenapa kalo Joko tau?" Nah, kan. Pasti banyak nanya. "Emm ... aku kan, lagi diet, Bu." Berdusta lagi akhirnya. "Ya ampun ... Ibu kira kenapa. Kamu itu pake diet-diet segala. Nanti sakit magh. Lagian, Joko juga pasti paham kalo kamu suka nyemil. Pake takut ketahuan segala.""Udah deh, pokoknya Ibu diem aja. Terserah Lastri mau gimana juga. Kan itu makanan udah jadi milik lastri. Oke?" "Iya, deh. Tapi, inget kata Ibu. Jangan diet-diet!""Bu, aku harus tetep langsing dan jaga penampilan buat suami. Jangan mau kalah sama pelakor di luar sana dong.""Biiisaaaaa ... aja kamu jawabnya, ya? Gak nyangka anak Ibu ini udah nikah aja. Padahal Ibu ngerasa kamu itu masih kecil.""Ck! Ibu ini!"Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu bersama Ibu seharian. Herannya, saat waktunya makan siang, Mas Joko ternyata pulang dengan membawa tiga bungkus
"Kamu ngapain?" Suara Mas Joko mengagetkanku yang sedari tadi malah fokus mengira-ngira berapa jumlah uang yang ada di tas Mas Joko tersebut. "Hah, em ... nggak ngapa-ngapain," jawabku gelagapan. Mas Joko langsung menjauh dan memasukkan tasnya ke dalam lemari pakaian. Dia seperti tahu kalau aku sedang memperhatikan isi tasnya sedari tadi. 'Tadi aku udah punya tiga ratus ribu dari Ibu, nah ... kayaknya kalau aku ambil dua ratus ribu lagi dari tas Mas Joko, kayaknya dia gak bakalan tahu juga, deh. Apa mungkin ... itu uang simpanan dia selama ini, ya? Ah, nanti aku coba ambil diam-diam, deh. Kalo minta, kan, pasti gak bakalan di kasih. Jadi, nanti uangku bakalan pas 500ribu buat beli skincare. Kalau kurang, tinggal ngambil lagi aja nanti ya, itu pun kalo gak ketahuan. Hihi.' Aku tertawa dalam hati mengingat rencanaku sendiri. 'Bukankah kalau suami tak memberikan uang nafkah karena pelit, kikir, kedekut, qorun dan sejenisnya, maka sang istri boleh mengambilnya sendiri tanpa sepengetah