PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
"Dek Lastri, ini Mas udah beli beras sama lauknya. Cukup-cukupin, ya, buat seminggu," ucap Mas Joko sambil menyerahkan sebuah kantung kresek kecil berisi beras yang kuperkirakan seberat satu kilo gram beserta satu plastik kecil iwak asin dan setengah kilogram telur ayam. "Gak salah ini, Mas? Beras sekilo mana cukup buat seminggu, Mas. Ini juga, lauknya masa segini?" Aku melayangkan protes padanya. Bagaimana mungkin beras satu kilogram cukup untuk satu minggu? Bahkan lauknya saja hanya seperti itu dan Mas Joko malah berkata semua itu harus cukup untuk seminggu? Apa dia bercanda? Kebiasaan di rumah ibuku dulu, beras satu kilo itu hanya cukup untuk makan sehari dengan empat orang anggota keluarga, itupun kadang tak cukup. Sedangkan aku dan Mas Joko yang tinggal berdua, minimal mungkin setengah kilo beras sehari untuk tiga kali makan. "Cukup lah, Dek. Kalau kamu takut gak cukup, sini biar Mas yang atur cara masaknya." Mas Joko tiba-tiba mengambil kembali beras yang baru saja dia serahk
Selepas Mas Joko pergi bekerja, aku masih mematung memikirkan perubahan suamiku itu. Biasanya dia tak seperti itu. Jangankan mengatur soal pengeluaran, uang penghasilannya saja selalu dia berikan semuanya padaku. Memang, saat di rumah ibuku, setiap minggu aku selalu memberikan uang jatahku dari Mas Joko sebanyak dua ratus ribu pada ibu. Namanya menumpang hidup di rumah orang tua, setidaknya aku harus punya rasa malu. Aku tahu, uang sebanyak itu pasti takkan cukup untuk mengganti biaya makanku dengan Mas Joko selama seminggu, harusnya aku bisa memberikan lebih, tapi penghasilan Mas Joko hanya segitu.Ibuku selalu memasak makanan yang enak-enak. Tiap hari, ibu pasti tak pernah absen memasak ayam atau ikan. Kadang juga dia memasak daging sapi. Semua masakan ibu enak-enak. Belum lagi, ibu sangat suka mengajakku membuat kue dan camilan kekinian. Jadi, meski tak di beri uang jajan, perutku pasti selalu kenyang. Hanya saja, saat itu Mas Joko selalu terlihat tak senang saat melihat banyak m
"Mas kenapa, sih? Kok, semenjak kita pindah jadi pelit kayak gini?" Aku melayangkan protes kali ini pada Mas Joko. Aku tak boleh diam saja saat kelakuan Mas Joko sudah keterlaluan seperti ini. "Pelit? Bukan Mas yang pelit, tapi kamunya aja yang boros, Dek!" balas Mas Joko ketus. "Loh, biasanya juga, Mas gak banyak ngatur meski aku banyak jajan? Sekarang kenapa malah jadi ngatur-ngatur kayak gini, sih?""Mas udah cukup diem selama ini, Dek. Kamu selalu menghabiskan uang yang Mas kasih tiap minggunya. Bahkan kamu gak pernah bisa menabung. Padahal Mas selalu kasih kamu uang dua ratus ribu seminggu." Mas Joko terlihat sekali kesalnya. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah banyak bicara. Mas Joko termasuk suami yang pendiam dan tak banyak mengatur. Tapi, melihatnya seperti ini, aku jadi merasa dia seolah bukan Mas Joko. Apa mungkin dia kerasukan Jin? Ah, tapi mana mungkin juga. "Mas, uang dua ratus ribu cukup buat apa? Buat ganti bekas makan kita aja gak bakal cukup. Mana semua
Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu. Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku. "Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani. 'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal. "Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang. "Bungkus aja, B