Share

SATU MALAM BERSAMA IPARKU
SATU MALAM BERSAMA IPARKU
Author: Pena Ryndu

1. Tidur Dengan Kakak Ipar

"Naren!" panggil Marissa. "Bangun, Naren!" ulangnya dengan kemarahan yang sudah diambang batas. Perintah yang terdengar biasa itu memecah keheningan sebuah ruangan yang memiliki dinding begitu dingin. Entah apa yang membuat ruangan yang begitu luas itu terasa menghimpit dada Marissa.

Beberapa menit lalu, Marissa terbangun dengan keterkejutan yang tak terbayangkan. Dia membuka mata dan mendapati tubuhnya tengah bersanding dengan pria yang jelas bukan suaminya. Tentu saja itu mengguncang jiwanya dan menciptakan kepanikan yang luar biasa. Marissa yakin benar jika Tristan yang menyentuhnya semalam, tapi aroma alkohol yang samar masih terhirup oleh indera penciumannya membuat Marissa segera sadar jika yang tidur dengannya semalam adalah pria yang kini masih lelap tertidur dalam keadaan telanjang itu.

"Naren Baruna!" panggilnya dengan penuh penekanan. Walau sedang sangat marah, Marissa masih bisa menahan diri untuk mengontrol volume suaranya agar tak sampai terdengar keluar kamar.

Naren terpaksa membuka matanya dan langsung terperanjat karena ternyata sang adik iparlah yang memaksanya bangun. Keterkejutan itu menjadi berlipat ganda saat dia menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya sendiri.

"Marissa, apa yang ...." Naren tak mampu menyelesaikan kalimat tanya yang ada di benaknya. Bayangan sebuah peristiwa lewat begitu saja dan menjawab apa yang menjadi pertanyaan besar dalam hatinya.

"Bagaimana ini semua bisa terjadi?" tanya Marissa dengan nada bergetar. Tak bisa dipungkiri jika wanita itu benar-benar kaget dan bingung. Walau sebenarnya tanpa dijelaskan dengan kalimat pun Marissa sudah tahu apa yang terjadi.

"Riss, aku ...," jawab Naren tak selesai.

"Kamu apa, Naren?" potong Marissa ketus. "Kamu mau bilang kalau kamu nggak tau apa-apa?" lanjut wanita itu.

Naren merasakan dadanya sesak, dia sudah mengerti apa yang membuat Marissa mencecarnya penuh dengan kemarahan. Namun di tengah kebingungan yang masih melanda, Marissa tidak memberi kesempatan Naren untuk bicara.

"Kita tidur bersama, Naren. Jelas sekali itu yang terjadi." Marissa memperjelas apa yang terjadi di antara keduanya. Suaranya semakin melirih, wanita itu jelas sekali merasa jijik dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak ipar.

"Kita sama-sama tidak sadar, Riss." Naren membantah.

Marissa membuang muka, dia merasa alasan yang Naren katakan hanya sebuah kalimat yang dia gunakan untuk membela diri.

Kamar itu terasa sangat sunyi, Marissa kehabisan kata sedangkan Naren mulai bergerak turun ranjang untuk memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai.

"Kamu tahu apa yang akan terjadi jika sampai Tristan tahu semua ini?" tanya Marissa.

"Tentu saja aku tahu," balas Naren.

Marissa merasa masalah yang ada sekarang bukan hal yang enteng. Hubungannya dengan Tristan—suami Marissa—sedang tak baik-baik saja. Mereka berdua sedang terlibat konflik sengit yang bisa dikatakan begitu rumit.

"Tristan tidak perlu tahu tentang ini semua, Rissa." Naren memberi solusi.

"Apa bisa?" tanya Marissa ragu dengan apa yang Naren usulkan.

"Riss, apa kamu merasa yang terjadi semalam ada unsur sengaja? Apa kamu sadar jika aku yang tidur denganmu?" ujar Naren berusaha membuat Marissa mengerti. "Aku akui kalau aku mabuk berat dan aku salah masuk kamar, Rissa, tapi semua ini sampai terjadi karena kamu juga mabuk." Naren melanjutkan.

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan sangat lemah. Marissa memang melakukan semuanya dengan tanpa sadar. Yang dia ingat hanya seseorang yang dia pikir adalah Tristan, tiba-tiba tidur di sebelahnya dan semua terjadi secara alami.

"Apa yang terjadi antara kita berdua benar-benar di luar kendali kita masing-masing karena mabuk dan tidak ada unsur kesengajaan, Riss." Naren menambah kalimatnya.

Marissa mencoba membuat hatinya puas dengan apa yang coba Naren sampaikan. Dia berusaha untuk percaya dengan apa yang pria itu sampaikan.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Marissa dengan nada yang cukup tenang.

"Lupakan semuanya," balas Naren dengan entengnya.

Tentu saja Marissa kaget dengan jawaban pria itu. Mudah sekali pria itu mengatakan jika dia hanya perlu melupakan apa yang terjadi. Sementara perasaan yang Marissa rasakan saat ini masih kacau balau.

"Enteng sekali bicaramu," hardik Marissa kesal.

"Ini bukan hal yang sulit, Rissa. Aku akan keluar dan semua selesai," balas Naren.

Melihat reaksi yang Naren tunjukkan, tentu saja Marissa merasa ini semua ternyata bukan apa-apa untuk kakak iparnya itu. Marissa pikir kejadian ini juga akan melukai harga diri sang kakak ipar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Satu-satunya kekhawatiran yang Marissa rasakan saat ini hanya Tristan, dia takut suaminya tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan Naren.

"Kamu sulit sekali mengerti, Rissa. Apa yang membuatmu merasa ini semua sulit?" desak Naren yang sudah jauh lebih tenang dan merasa biasa.

Marissa memicingkan matanya dengan cukup sadis. Wanita itu merasa sedang diremehkan, sedangkan ketakutan yang dia rasakan sama sekali bukan masalah kecil, apalagi mudah untuk dihadapi.

"Naren, kamu bisa bilang kalau ini hal mudah. Kamu mengatakan jika kita hanya perlu diam dan pura-pura tak terjadi apa pun. Sedangkan apa yang semalam terjadi itu bukan hal kecil yang bisa kita buang tanpa dipikirkan." Marissa menjelaskan.

"Ayolah, Marissa. Kita sama-sama sudah dewasa, ini bukan perselingkuhan, ini cuma kecelakaan yang tidak disengaja." Naren masih terus meremehkan.

Melihat reaksi Naren yang santai dan seperti meremehkan, Marissa mencoba menghancurkan ketakutannya sendiri. Dia meluruskan kakinya dan berdiri dengan sangat mantap.

"Kamu yakin tak ada yang melihatmu masuk kamarku semalam?" tanya Marissa ketus. "Kamu bisa menjamin jika hanya kita berdua yang mengetahui ini semua?" lanjutnya menantang.

Naren terkena sihir mata Marissa saat itu. Otot lehernya sepertinya terserang sindrom susah bergerak hingga membuat lidahnya menjadi kelu dan begitu sulit untuk bicara. Garis wajah Marissa yang begitu sempurna membuat Naren menjadi ingat sebuah adegan panas yang terjadi semalam antara dirinya dengan sang adik ipar.

"A ... aku akan lakukan apa pun jika sampai ada yang melihat aku masuk kamarmu, aku jamin hanya kita berdua yang tahu apa yang terjadi semalam," jawab Naren setelah puluhan detik mulutnya terkunci rapat. "Akh, sial. Mata Marissa benar-benar membunuhku," lanjutnya dalam hati.

Mendengar jawaban dan kesanggupan Naren untuk memastikan jika kejadian yang terjadi semalam tak akan pernah bocor kepada siapapun, Marissa mundur selangkah. Dia mencoba meyakini dan percaya pada apa yang Naren katakan. Wanita itu memilih setuju dan sebuah kesepakatan akhirnya mereka berdua sepakati. Melupakan dan berpura-pura tak terjadi apa pun adalah jalan yang keduanya pilih setelah debat panjang selama lebih dari 30 menit.

"Aku akan percaya padamu. Aku pegang janjimu jika tak akan ada yang tahu tentang ini semua sampai akhir," jelas Marissa. "Keluar sekarang," usir Marissa sembari berjalan menuju kamar mandi.

"Rissa!" Suara seorang lelaki yang dibarengi dengan gerakan gagang pintu kamar membuat langkah kaki wanita itu terhenti. Marissa dan Naren kompak sekali mengarahkan pandangan ke arah gagang pintu yang sedang coba dibuka oleh seseorang.

Suara itu membuat suasana menjadi kembali rumit. Raut wajah khawatir Marissa dan Naren tak terhindarkan. Baru saja mereka memutuskan untuk melupakan semua dan berpura-pura tak terjadi apa-apa, justru kini mereka dihadapkan dengan seseorang yang bisa saja memergoki apa yang terjadi sesungguhnya di kamar itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status