Share

MENGAKU

“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.

“Kenapa?” tanya Rini heran.

“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”

“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.

“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.

“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."

Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.

“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita bergincu merah darah itu.

Acara selamatan di kampung Rini memang bisa di bilang boros. Para tamu yang datang langsung di suguhi teh manis dan makanan ringan yang tersedia di meja. Setelah itu mereka akan di giring ke meja prasmanan untuk menikmati makanan utama. Dan pulangnya akan di beri bingkisan berupa Gula, teh, mi instan juga kue kering.

“Tenang aja, aku enggak rugi, kok. Mbak Sari udah mau datang aja, aku udah senang. Kamu tahu, kan, betapa bencinya dia sama aku. Lagian belum tentu juga itu dari Mbak Sari, bisa dari orang lain,” jelas Rini.

Sudah menjadi rahasia umum jika Sari memang anti dengan orang susah. Bukan hanya dengan Rini, ia akan bersikap sama dengan siapa pun yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Ia lebih suka bergaul dengan orang kaya juga berpangkat. 

“Belum tentu bagaimana, lha wong dari lima puluh amplop cuma satu yang enggak ada namanya, dan cuma Mbak Sari yang belum ada di daftar. Sepuluh ribu buat beli lemper sama dodol yang dia makan aja belum dapet. Benar-benar keterlaluan!”

“Sudah-sudah, enggak apa-apa.”

“Aku lihat sendiri tadi dia makan lemper tiga biji sama masukkin  banyak dodol ke sakunya.” Wulan terus saja mencerocos tak jelas.

“Sudah-sudah.”

“Belum lagi si Farida, ngamplopnya sih lima puluh ribu, sisa rendang satu piring hampir habis dia bawa pulang, mentang-mentang di rumah adiknya, padahal Budi aja enggak mikirin anaknya.”

Rini hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan sahabatnya,  tapi ia masih bersyukur Tuhan masih mengirim seorang Wulan sebagai temannya.

“Kalo udah beres tolong masukkin ke lemari, ya. Aku lagi nanggung, nih!” perintah Rini.

Tanpa pikir panjang Wulan berjalan menuju kamar Rini dan tanpa ragu langsung membuka lemari. Setelah meletakkan uang Rini, matanya menangkap hal tak biasa di lemari sahabatnya.  Dengan ragu ia mengambil benda putih yang teronggok di pojok bagian dalam.

“Siapa Tri Hartanto?” tanya Wulan tiba-tiba sembari membuka amplop yang sudah tak berbentuk.

Mendengar temannya menyebut nama keramat itu, seketika sapu di tangan Rini terlepas. Ia tak menyangka bahwa Wulan akan menemukan rahasianya. Itu adalah amplop kiriman bulan lalu yang uangnya terpaksa ia gunakan untuk membiayai tasyakuran sunatan Ari.

“Aku tanya siapa Tri Hartanto?” teriak Wulan lebih keras.

“A-Aku enggak tahu, Lan.” Rini tertunduk.

“Amplop ini ada di lemarimu dan ini? Apa maksud semua ini?” Wulan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Setumpuk amplop dan buku kecil yang ia letakkan sembarang di lemarinya.

“I-itu...” Bibir Rini tiba-tiba kelu, pasti Wulan akan menuduh yang tidak-tidak padanya.

“Apa kamu sudah mulai belajar menjual diri? Atau sudah menjadi simpanan lelaki seperti Ina. Kata Bu RT akhir-akhir ini Ina sering datang ke rumahmu?”

“Aku bisa jelasin, Lan.”

Setelah pertemuan Rini dan Ina tempo hari, Ina memang beberapa kali datang ke rumah Rini, tapi tidak untuk mengajak hal yang tidak-tidak, ia hanya datang untuk memberikan baju juga sepatu bekas untuk anaknya.

“Aku memang sering menyuruh kamu menikah lagi, tapi bukan begini caranya. Kamu harus selesaikan dulu masalahmu dengan Budi, setelah itu kamu bebas menikah dengan siapa saja. Jadilah wanita terhormat, Rin.” 

“Ta-tapi aku belum pernah bertemu dengannya, aku juga tak tahu persis dia siapa.” Rini mendongak memandang wajah garang sahabatnya.

Baru kali ini Rini melihat wajah centil sahabatnya berubah jadi garang. Ditambah lagi dengan bedak yang kotras dengan warna kulitnya menjadikan wajahnya sedikit mengerikan.

“Kamu bodoh apa gimana, hah? Dia sudah belasan kali mengirimu uang, tapi kamu bilang tak tahu?” Wulan mengetuk-ngetuk buku tabungan di tangannya.

“Da-dari mana kamu tahu kalo aku be-belasan kali...”

Tanpa menjawab Rini membeber belasan amplop yang ia temukan di atas ranjang.

Rini menghela nafas panjang, mungkin sudah saatnya ia bercerita tentang uang itu kepada Wulan. Bagaimanapun juga sekuat-kuatnya ia menyimpan rahasia, pasti akan terbongkar juga.

“Duduk dulu, Lan,” Rini terlebih dahulu duduk di atas ranjang, diikuti Wulan di sampingnya.

Untung saja orang Rini baru saja pulang, jadi ia bisa sedikit tenang. Bisa panjang urusannya kalo Bapak dan Ibunya tahu masalah ini.

Akhirnya Rini menceritakan secara runtut kejadian demi kejadian yang ia alami hampir dua tahun ini. Ia juga memberi tahu kemungkinan orang yang mengiriminya banyak selali uang dan alasannya merahasiakan hal itu hingga saat ini.

“Bisa juga semua ini dari Mas Tanto, secara dia kan uangnya banyak, belum punya tanggungan, dan yang pasti dia tahu keadaan kamu yang serba kekurangan,” ucap Wulan sepemikiran dengan Rini.

“Aku harus gimana, Lan?” 

“Mungkin itu bagian dari sedekahnya, tapi apa harus setiap bulan, sedangkan orang kekurangan kan enggak cuma  kamu.” Wulan masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Terus?”

“Apa jangan-jangan dia suka sama kamu? Tapi kok seleranya jelek banget, ya?” 

“Maksud kamu?” 

“Tanto kan bujang, ya walaupun bujang tua, terus penampilannya lumayan, enggak jelek-jelek banget, kok bisa suka sama kamu yang item, dekil kayak gitu?”

“Kamu menghina aku, ya?” ucap Rini tak terima. 

Benar-benar teman enggak ada akhlak, menghina kok terang-terangan.

“Kalo memang duit itu dari Tanto, berarti kalian jodoh.”

“Jodoh?”

“Iya, sama-sama bodoh. Kenapa Tanto enggak ngasih uangnya secara langsung? Paling tidak ada kejelasan tujuannya. Udah ngasihnya diam-diam, di kasih nama pula. Untung banyak, enggak kaya amplop si Sari. Lah kamu udah tau punya duit banyak, sok-sokan enggak mau pake. Benar-benar kasihan duit itu.”

Punya teman kok gitu amat, yak?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Hari Anto
mantap lajut baca
goodnovel comment avatar
Al Islammm
bagus dan puas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status