Keesokan harinya.
Mafida kembali menyibukkan dirinya direstonya. Ia berusaha melupakan rasa sakit dan kecewa yang sedang menderanya. "Selamat siang Bu, gimana kondisi ibu," tanya Elisa saat melihat Bossnya memasuki area Resto "Yah lumayan El, gimana Resto kemarin dan hari ini apakah semua kondusif," tanya Fida. "Semua aman terkendali Bu, dan semua laporan sudah saya letakkan dimeja ibu," jawab Elisa dengan tersenyum. "Baguslah," puji Fida. Dengan langkah pasti Mafida memasuki ruangannya dan mulai sibuk dengan laporan-laporan manajemen tentang Resto nya. Dering telepon seluler menghentikan kegiatan Mafida sejenak, ia menengok ke layar ponselnya. Begitu melihat nama yang muncul di layar handphonenya, Mafida menghela nafas berat. Ya siapa lagi kalau bukan Imam yang menelponnya. Panggilan telpon itu ia abaikan sampai puluhan kali. Bagi Mafida ia sudah tidak sanggup menghadapi atau bertemu Imam. Bahkan Anna adiknya sendiri, ah entahlah harus bagaimana jika ibunya tahu tentang ini semuanya. Mafida tidak ingin membuat ibunya syok, tapi dia juga tidak bisa mempertahan rumah tangganya yang sudah hancur seperti ini. Ia bukan wanita hebat dan kuat yang bisa diam saja saat disakiti. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara ribut-ribut diluar ruangan Mafida. Pintu ruang kerja Mafida tiba-tiba dibuka oleh sosok yang masih bergelar suaminya itu. Raut muka yang penuh tanda tanya dan panik terlihat dari sorot matanya. "Maaf Bu, saya tidak bisa menghentikannya," ucap Pak Wahid security. "Tidak apa-apa pak, Pak Wahid bisa meninggalkan kami berdua," pinta Mafida dengan pasti. "Sayang, kenapa ku hubungi berkali-kali kamu tidak mengangkat telpon ku, dan katanya kamu disamarinda tapi nyatanya tadi pagi kamu dari kantor pengacara," ujar Imam dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Mafida yang mendengar ucapan Imam sontak melihatnya hanya sekilas, setelah itu dia hentikan aktivitas didepan laptopnya. "Darimana Mas Imam tahu aku dari kantor pengacara," tanya Mafida penuh selidik. "Dari temen ku yang tidak sengaja melihat mu disana," jawab Imam jujur. "Kenapa emangnya kalo aku dari sana, apa ada masalah, dan kenapa kamu terlihat panik," pertanyaan beruntun kini malah ditujukan kepada Imam. "Bu Bu kan begitu sayang, karena baru ini kamu tidak terus terang kepadaku," jawab Imam dengan tergagap. Mafida hanya bisa tersenyum getir melihat ekspresi Imam yang gugup. "Harusnya kamu sudah bisa menebak kenapa aku kesana," ucap Mafida berusaha memancing. "Apa maksudmu sayang, bicara yang jelas," ujar Imam dengan meraih pundak Mafida. "Aku ingin kita bercerai Mas," ucap Mafida dengan tegas, walaupun hatinya tersayat, tapi dia berhasil mengendalikan ekspresi dan emosi dalam dirinya. "Apa maksudmu bercerai, apa kamu punya selingkuhan hah, jawab aku," tekan Imam yang mulai tersulut emosinya. Tawa renyah terdengar dari bibir Mafida. "Harusnya kamu berkaca, selama ini siapa yang sudah selingkuh hah, dari sekian perempuan kenpa harus adikku hah, dasar laki-laki brengsek," umpat Fida dengan sorot mata penuh kebencian dan kemarahan. PLAKK !! Tamparan keras mendarat dipipi mulus nan putih Fida. Mafida memegangi pipinya yang merah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa ini sifat aslimu Mas, menyesal aku telah menikah dengan laki-laki seperti mu," imbuh Fida. Imam yang menyadari telah berbuat kasar sontak dia meraih tangan Mafida lalu menggenggam nya. "Maafinn aku sayang, aku tidak bermaksud kasar," ucapnya dengan panik. "Sebaiknya Mas pergi dari sini, oh ya aku sudah menyuruh orang untuk mengambil semua barang-barangku yang kubawa dulu saat pertama menikah ke rumah itu dan tenang saja aku tidak akan membawa barang satupun pemberian mu apalagi meminta harta gono-gini. Karna aku masih sanggup menghidupi diriku sendri," ucap Fida dengan dingin. "Sayang pasti kamu salah paham, aku tidak berselingkuh dengan adikmu," elak Imam dengan suara yang gemetar dan panik. "Salah paham katamu, apakah setelah melihat ini kamu akan mengakuinya," Mafida memperlihatkan video yang ada di handphone miliknya kepada Imam. Imam yang melihat video tersebut melotot, lalu dia meraih benda pipih milik Mafida, kemudian membantingnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping. "Kamu tidak punya bukti, buktinya sudah ku hancurkan, dan sampai kapan pun aku tidak akan menceraikanmu, camkan itu," tekan Imam dengan mencengkeram pundak Mafida dengan kuat. "Kamu kira aku bodoh hah, aku bukan wanita bodoh. Salinannya aku simpan ditempat yang yang tidak akan mungkin kamu jangkau," ujar Mafida. Imam yang mendengar itu, seperti kesetanan, emosinya tersulut. Tangannya meraih laptop milik Mafida membantingnya, bahkan semua yang ada dimeja tak luput dari kemurkaan Imam. Mafida yang hendak meninggalkan ruangannya, lengannya ditarik oleh Imam, leher Mafida pun dicekik. "Aku tidak akan melepaskanmu, jika aku tidak bisa memilikimu, maka kamu lebih baik mati," ucap Imam yang semakin kuat mencekik leher Mafida. Mafida berusaha berontak dengan sekuat tenaga, tapi tenaganya masih kalah jauh dari Imam. Tiba-tiba pintu ruangan Mafida terbuka, sosok asistennyq datang karna mendengar suara barang-barang seperti pecah berasal dari ruangan bossnya. Elisa yang melihat Bossnya dicekik, gegas ia berteriak meminta pertolongan kepada siapa saja. " Tolong...tolong... tolong," teriak Elisa. Imam yang menyadari suara itu gegas ia berlari dan kabur meninggalkan Mafida yang tidak sadarkan diri. Beberapa karyawan bahkan Pak Wahid yang mendengar teriakan minta tolong lekas menghampiri asal muasal suara tersebut. "Pak Wahid dan Mas Herlis bisa minta tolong bantu pindahkan Bu Fida ke Sofanya," titah Elisa kepada bawahannya. Dengan hati-hati mereka memindahkan Mafida ketempat yang nyaman. "Pak tolong suruh yang lain membersihkan semua ini ya," pinta Elisa. "Baik mbak El," jawab Pak Wahid. Elisa lekas menghampiri Bossnya, dia mengoleskan minyak telon ke area hidung Mafida. "Bu, Bu sadarlah Bu," Elisa menepuk pelan pipi bossnya, ia berusaha membangunkan bossnya supaya cepat sadar. "Bu ayo sadarlah Bu," Elisa mulai panik, karena bossnya tak kunjung sadar. Beberapa detik kemudian jari jemari Mafida mulai bergerak, matanya terbuka secara perlahan. Elisa yang melihat itu senang sekali, akhirnya bossnya siuman. "Alhamdulillah Bu, akhirnya ibu sadar," kata Elisa dengan rasa syukur. "Uhuk uhuk uhuk," Terdengar suara batuk dari bibir Mafida dan ia mulai meringis merasakan lehernya yang sakit. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya barusan.Setelah pesta digelar dengan meriah nan megah. Kini sepasang pengantin baru itu, memasuki kamar pengantin yang sudah dihias begitu cantik dengan taburan bunga mawar diatas kasur dan sepasang angsa yang terbuat dari handuk."Apa kamu siap untuk malam ini sayang," bisik Hanan ditelinga Mafida, saat sudah duduk dipinggir kasur.Mafida hanya bisa menunduk, menyembunyikan rona merah jambunya."Aku mandi dulu Mas," pamit Mafida, lalu hendak berdiri."Apa mau kutemani sayang," goda Hanan dengan mengedipkan sebelah matanya.Mafida hanya terkekeh dan sedikit berlari menuju kamar mandi.Setelah mandi, Mafida berdandan dan memakai gaun dinasnya yang berwarna merah maroon. Warna yang begitu kontras dengan warna kulit tubuhnya.Seakan semakin memancarkan aura kecantikannya dan keseksiannya.Mafida keluar dari kamar mandi dengan begitu cantik dan sexy. Jantungnya berdetak kencang, walaupun ini bukan pengalaman pertamanya. Tapi rasanya tetap membuat jantungnya berpacu cepat. Hanan yang melihat itu
Mafida tertegun sesaat saat melihat penampilan Imam yang terlihat tidak terurus."Masuklah," ucap Mafida yang merasa iba melihat penampilan Imam saat ini.Sedangkan Ibunya, dia terpaksa ikut Imam kerumah Mafida karena dipaksa Imam."Silahkan duduk," Imam dan ibunya pun mulai duduk disofa yang begitu empuk. Mata ibunya Imam menelisik setiap sudut ruangan apartemen milik Mafida, seakan ia begitu takjub dan iri."Wah, gila gede sekali apartemen mu,’seru Ibunya Imam."Ada apa?" tanya Mafida."Eh Maaf, tawarin minum dulu lah atau makan dulu lah. Pelit amat jadi orang," protes ibunya Imam."Disini bukan warung," sahut Anna."Dasar pelit,""Bu," panggil Imam seraya memberikan kode supaya ibunya tidak berulah."Maf, aku disini ingin meminta maaf atas sikapku yang dulu padamu," kata Imam dengan tulus."Jika maksud mu hanya ingin kembali dengan putriku, itu tidak mungkin. Karena Mafida besok akan menikah," timpal Bu Vita"Tenang saja Bu, aku sadar diri, aku tidak mungkin pantas mengharapkan Ma
Lima bulan kemudian Imam yang uang pesangonnya udah menipis ia mulai dilanda kecemasan. Selama ini ia sudah melamar pekerjaan dimana-mana tapi sayang, dari semua lamarannya tak satupun ia mendapatkan panggilan kerja, bahkan sekedar interview pun tidak ada.Dia mencoba membuka usaha berjualan bakso, tapi saat ada kasus kecoa yang ditemukan pelanggan di mangkoknya, usahanya langsung sepi dan gulung tikar. Imam sendiri sempat berjualan sate ayam tapi lagi, ia fitnah memakai daging tikus.Ia frustasi dengan musibah yang menimpanya beberapa bulan ini."Apa ini karmaku saat aku menyakiti Mafida?" lirih Imam saat duduk dibawah pohon depan rumah ibunya dengan tatapan kosong.Rumahnya yang ia cicil tidak bisa ia bayar dan akhirnya rumah itu ditarik kembali oleh developer.Kini ia tinggal dengan Ibunya."Duh kamu ini, malah melamun cari kerja sana. Cari duit, bukannya malah melamun. Emangnha duit bisa jatuh dari langit jika kamu hanya melamun begitu," cerocos Ibunya Imam saat pulang dari arisa
Suasana hening dan tegang terjadi di apartemen Mafida, yang saat ini sedang bersitegang dengan adiknya. "Kak, aku minta maaf atas khilaf ku," ucap Anna dengan tulus. "Setelah semuanya seperti ini?" cibir Mafida. "Lalu aku harus bagaimana kak, untuk mendapatkan maafmu," "Jangan tinggal disini, aku akan kasih kamu modal untuk usaha supaya kamu mandiri, biar kamu bertanggung jawab dengan dirimu sendiri," ujar Mafida dengan dingin. "Tapi kan kak," "Kamu pilih, mau menerima uang modal dariku atau tidak, jika tidak maka aku pun tidak akan Sudi menerima mu disini," Anna yang tidak punya pilihan akhirnya dengan berat hati menerima tawaran dari kakaknya. Sedangkan Bu Vita menatap wajah anaknya yang selama ini ia sia-siakan dengan tatapan sendu. Bu Vita, menghampiri Mafida. Duduk disebelahnya. "Maf," panggil Bu Vita. Mafida menengok kesamping. Lalu Bu Vita meraih tangan Mafida dan menggenggamnya. "Maafkan Ibu Maf, selama ini ibu sudah pilih kasih kepadamu. Sudah menyia-
Anna tiba sampai di kos-kosan dengan perasaan kesal, dilemparkannya tasnya ke sembarang tempat. Lalu dihempaskannya tubuhnya diatas sofa. Bu Vita yang melihat sikap Anna hanya bisa melihatnya dengan perasaan yang susah untuk dijelaskan. Lalu Anna mengeluarkan handphonenya daru dalam tas. Kali ini ia mencoba menghubungi Erik. Tapi hasilnya nihil, nomernya seakan tidak tersampaikan. "Kemana se Mas Erik begini, tadi dikampus saat aku datang keruangannya, ga ada. Dihubungin pun sulit,"ucap Anna dengan gelisah. "Mana uang di ATM sekarat pula, cepat atau lambat pasti habis," imbuh ya. *** Imam sendiri mendapatkan surat pemecatan dan pesangon dirinya. sekitar lima puluh juta pesangon yang di dapatnya, karena kontrak diperbarui kontrak setiap setahun sekali."Uang pesangon segini, mana cukup buat ngelunasin cicilan rumah," gerutunya."Ah, ga tahu ah. Aku mau tidur dulu," ucapnya."Sebaiknya kita ke rumah mbakmu," saran Bu Vita."Kenapa harus kesana mbak,"tanyanya."Minta maaf lah karena
Imam semakin dibuat frustasi dengan kejadian demi kejadian yang menimpanya. Semenjak ia cerai dengan Mafida, hidupnya sering apes. "Mana dua hari lagi waktunya bayar cicilan rumah," gumam Imam saat meninggalkan kantor bank dengan perasaan kesal. Ia pun berangkat kerja menggunakan ojek online. Saat ia hendak masuk ke ruangannya, tiba-tiba sekertaris atasanya memanggilnya. "Pak Imam, disuruh menghadap ke Bu Erin," ujarnya. "Apalgi ini pagi-pagi dah disuruh menghadap," gerutunya. "Masuk," titah Bu Erin saat mendengar pintunya diketuk. "Bu, ada apa ya manggil saya," tanya Imam saat sampai diruangan Bu Erin. "Duduk," titahnya dengan tegas tanpa ekspresi. "Apa benar berita yang viral itu kamu," tanya Bu Erin dengan sorot mata yang tajam. Imam terkejut, saat atasannya menanyakan video itu. Jantungnya berdetak kencang, ia khawatir video tersebut akan berimbas pada pekerjaannya saat ini. "i-i itu editan bu," bohongnya, dengan gugub. "Cih editan katamu, kamu pikir aku bisa