Share

Ancaman

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2025-02-07 10:02:38

"Shan! Tunggu! Itu semua bohong!" teriak Angga.

Namun, Shania bergeming. Wanita itu terus melangkah menuju mobilnya.

Angga hendak berlari mengejar istrinya itu, tetapi tiba-tiba lengannya dicekal Indri.

"Kamu mau kemana, Mas?"

"In, aku selesaikan dulu masalahku dengan Shania, ya? Tolong, kamu ngerti! Setelah semua beres, aku janji bakal balik ke sini."

"Tapi kamu baru aja sampai, Mas. Bahkan belum ada sepuluh menit! Gita udah nungguin buat bisa jalan-jalan sama kamu, tidur dibacain dongeng sama kamu tiga minggu lamanya, Mas! Terus gitu aja kamu mau pergi?"

"Aku ngerti, In. Tapi kamu tahu sendiri gimana keadaannya sekarang. Tolong, In, kamu ngertiin aku, ya! Aku harus bicara sama Shania sekarang. Aku enggak mau dia salah paham. Apalagi sekarang dia sedang hamil."

"Jadi aku dan Gita enggak lebih penting dari Shania?" Indri menatap Angga dengan sorot mata terluka.

Angga melepas dengan lembut cekalan tangan Indri, kemudian meremas kedua bahu wanita itu. "Dengarkan aku, In. Saat ini Shania sedang enggak baik-baik aja. Dia pasti sangat hancur liat aku ada di sini. Jadi tolong, kamu ngerti, ya! Kamu tahu kalau kalian itu sama pentingnya buat aku."

"Tapi kamu lebih milih ngejar dia daripada tetap di sini sama kami!"

"In, dalam sebulan waktuku juga udah cukup banyak bersama kalian. Setiap weekend, setiap aku ada libur, aku selalu habiskan waktu bersama kalian. Jadi, untuk kali ini aku mohon pengertianmu, In. Aku harus nenangin Shania. Dia sedang hamil, In. Aku enggak mau dia sampai kenapa-napa gara-gara stress."

Indri membuang muka dengan mata dipenuhi kaca-kaca. Saat sudah seperti ini ia tahu kalau Angga tidak akan bisa lagi dicegah.

"In, please. Setelah semua beres, aku bakal balik ke sini! Aku janji!"

"Ya udah, pergi aja sana! Enggak usah peduliin aku sama Gita!"

Angga menghela napas panjang. Ia tahu kalau Indri kecewa. Tak hanya Indri sebenarnya, Angga sendiri pun kecewa. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Shania mengikutinya sampai sejauh ini. Padahal Shania sedang hamil muda.

Lelaki 35 tahun itu kemudian menekuk lutut untuk mensejajarkan tingginya dangan Anggita. Dipegangnya bahu balita empat tahun itu kemudian berkata, "Ta, Ayah pergi dulu, ya? Cuma sebentar, kok. Nanti Ayah kembali lagi buat bawa Gita jalan-jalan seperti janji Ayah. Oke?"

Anggita menatap ayahnya dengan mata dipenuhi kaca-kaca. Perlahan buliran bening berjatuhan dari pelupuk matanya. Balita itu kemudian menggeleng perlahan, menandakan ia tidak mau ayahnya pergi.

"Hei, dengarkan Ayah!" Kini Angga memegang kedua lengan Anggita. "Ayah cuma sebentar. Ada pekerjaan yang harus Ayah selesaikan dulu. Setelah itu Ayah akan kembali. Ya?"

Respon Anggita masih sama. Balita dengan rambut dikuncir kuda itu kembali menggelengkan kepalanya. Bibirnya bergetar seiring dengan isakan yang keluar dari bibir mungilnya. "Ayah jangan pergi," lirihnya lalu sedetik kemudian tangisnya pecah.

Angga langsung memeluk putrinya sembari menatap Indri. Ia harap wanita yang telah melahirkan putrinya itu mau membantunya menenangkan Anggita, memberi pengertian pada gadis kecil itu. Namun, Indri membeku di tempatnya sembari melipat tangannya di dada.

Angga tak punya pilihan. Akhirnya ia berusaha memberi penjelasan dan terus membujuk Anggita sendiri tanpa bantuan Indri. Sayangnya tak semudah itu membujuk gadis kecil yang wataknya mirip bundanya itu. Sudah lebih dari lima menit, Anggita tidak kunjung mengizinkan ayahnya pergi.

Memang selalu seperti ini. Hanya saja biasanya ada Indri yang akan mengalihkan perhatian Anggita saat Angga hendak pergi. Namun, kali ini wanita itu bergeming. Seolah-olah ia tidak peduli dengan tangis putrinya.

Kesabaran Angga akhirnya habis. Pikirannya yang sedang kalut oleh masalahnya dengan Shania, membuat lelaki itu tidak bisa lagi menunggu kerelaan anaknya itu.

Angga kemudian berdiri dan berkata pada Indri. "In, tolong kamu tenangkan Gita. Aku pergi dulu."

Indri membeku tak merespon Angga ataupun berusaha menenangkan putrinya.

Namun, Angga tak punya pilihan. Ia harus segera menyusul Shania. Sehingga meski diiringi dengan jerit tangis Anggita yang terdengar begitu memilukan, Angga tetap beranjak pergi.

Melihat punggung Angga menjauh hati Indri semakin pedih. Ayah dari putrinya itu lebih memilih istri barunya daripada darah dagingnya sendiri. Karena tidak bisa menahan amarah, Indri kemudian berteriak saat Angga hendak memasuki mobilnya.

"Pergilah, Mas! Tapi setelah ini, semua orang akan tahu kalau kita sudah menikah lagi!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Zidan Kasan
udah dibuang dipungut lagi, dasar pemulung
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar laki2 maniak selangkangan. klu mau rujuk lagi ngapain menikahi wanita lain. dasar anjg
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ending

    "Segitunya kalian mencampuradukkan masalah pribadiku sama kerjaan! Sampai tanpa sepengetahuanku kalian mengacak-acak ruang kerjaku!? Kalian nemuin bukti kesalahan yang udah aku lakuin selama kerja di sini!? Mau jadiin itu alasan buat pecat aku!?" seru Angga seperti orang kesetanan.Shania tertegun mendengar itu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Namun, saat ini memang itu yang ia inginkan. Ia tidak ingin melihat Angga lagi.Sejurus kemudian Shania melangkah lebar mendekati Angga dan tim audit serta Andreas. Dengan kepala tegak ia berkata, "Enggak pantas kamu bicara sekasar itu pada atasanmu, Pak Angga!" "Oh, jadi kamu yang nyuruh mereka menggeledah ruanganku?" Angga menunjuk wajah Shania."Ya. Kamu mau apa?""Dasar perempuan licik!" umpatnya dengan mata penuh kebencian."Dan kamu masih mau bekerja di perusahaan perempuan yang kamu sebut licik ini?""Shit!" seru Angga. Ia terjebak dengan ucapannya se

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Keributan

    "Bisa enggak aku cuma pergi sama Shania?" Angga menatap Hamish tidak suka. "Masih banyak hal yang harus kami bicarakan. Dan satu lagi, status Shania sekarang ... masih sah sebagai istriku!"Hamish mengedikkan bahu sembari membuang napas. "Are you okay, Shan?"Shania mengangguk. "Yeah.""Oke, hati-hati," pesan Hamish."Kita makan siang bareng lain kali, ya?""Oke.""Ayo!" ajak Angga yang sudah tidak sabar untuk menjauhkan Shania dari Hamish.Shania pun mengekori langkah Angga. Sebenarnya ia enggan pergi berdua dengan Angga. Hanya saja ia tak mau melibatkan Hamish dalam permasalahan pribadinya.Di mobil Shania memilih diam. Ia tidak ingin membahas apapun dengan Angga. Baginya semua sudah selesai tinggal menunggu proses pengadilan. "Shan," panggil Angga yang sejak tadi merasa didiamkan."Hem.""Kok, gitu sih, Shan, jawabnya?" protes Angga karena selama menjadi istrinya Shania tidak perna

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Gagal

    "Sus, gimana kondisi anak saya?" tanya Angga begitu salah seorang perawat keluar dari ruang PICU."Bapak sama Ibu diminta dokter untuk masuk," ucap perawat tersebut tanpa menjawab pertanyaan Angga.Indri menatap wajah Angga dengan cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.Angga mengangguk, memberi keyakinan pada Indri bahwa Anggita pasti baik-baik saja. Lelaki itu kemudian menggenggam erat telapak tangan Indri. "Mari!" ajak perawat berseragam biru muda tersebut.Angga dan Indri mengekori perawat itu.Setiap langkah, Indri seperti sedang menapaki lempengan es yang rapuh. Yang sewaktu-waktu bisa retak, kemudian mereka semua terjerumus ke dalam air yang dalam dan teramat dingin. Suara monitor semakin membuat jantung Indri tak karuan. Berkali-kali ia memukul-mukul dadanya agar jantungnya baik-baik saja."Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Anggita."Selamat pagi, Dok. Gimana kondisi putri kami, Dok?" kejar Angga yang

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ketakutan

    Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Rumah

    Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ruang PICU

    "Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status