"Sebelum sama Mas Angga, kamu masih gadis, kan? Kenapa mau dijodohkan sama duda anak satu? Apa karena Mas Angga udah mapan jadi kamu mau? Padahal selain duda anak satu kalian juga terpaut umur yang cukup jauh, kan?" Indri menarik sebelah bibirnya sembari menatap Shania dengan sinis.
"Sayangnya walaupun udah nikah lagi, kasih sayang Mas Angga masih utuh untuk kami," imbuh Indri. "Sepertinya benar ya, kalau cinta laki-laki itu bakal habis untuk cinta pertamanya." "Oh, ya?" Shania tidak terpengaruh sedikitpun. "Mbak Indri bangga banget kayaknya ya, masih dicintai sama mantan suami? Belum move on, Mbak?" "Sepertinya sih, Mas Angga yang belum move on," sahut Indri tak mau kalah. "Secara aku kan, cinta pertamanya, pacar pertamanya, dan juga istri pertamanya." "Oh, ya? Mbak seneng banget dong, ya? Selamat deh, kalau gitu. Tapi jangan lupa, Mbak. Mbak Indri juga mantan istrinya!" Mata Indri melebar mendengar perkataan Shania. Ia tidak menyangka wanita berwajah lembut itu mampu berkata setajam itu. "Duduk dulu, Mbak! Aku panggil Mas Angga dulu," ucap Shania lagi. Sementara Indri salah tingkah karena tidak bisa menandingi perkataan Shania tadi. Saat Shania masuk, Indri kembali menatap foto pernikahan Angga dan Shania yang terpajang di ruang tamu. Senyum Angga dan Shania merekah di foto berukuran cukup besar itu. Tentu saja, Indri sangat cemburu melihat itu. Apalagi dua kali menikah dengan Angga, tak sekalipun diadakan pesta. "Awas aja Mas Angga!" gumam Indri. "Bunda! Ayah mana?" rengek Gita yang sudah tidak sabar bertemu Angga. "Di dalam paling, sana kamu masuk!" Anggita menatap ragu pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Balita itu kemudian menggeleng. Meski saat bayi ia pernah tinggal di rumah ini, tetapi tentu saat ini Anggita merasa asing. "Kenapa? Ini rumah ayah, rumah Gita juga!" Anggita tetap menggeleng. Meski sesekali Angga mengajak Anggita main ke rumah itu, tetap saja Anggita yak sebebas ketika berada di rumahnya sendiri. Anggita memang tumbuh menjadi anak pemalu. Indri mendengkus kesal karena putrinya tidak bisa meniru sikap agresifnya. Sementara itu begitu tiba di kamar, Shania langsung mengguncang tubuh Angga dengan kasar. "Mas, bangun!" "Hhm, ada apa, Shan?" tanya Angga dengan malas. Suaranya masih serak karena masih sangat mengantuk. "Tuh, di depan ada mantan istri kamu!" "Siapa?" "Mantan istri kamu datang ke sini nyariin kamu!" ulang Shania masih dengan nada ketus yang sama. "Indri?" "Siapa lagi? Emang ada lagi mantan istri kamu selain dia?" "Ngapain dia ke sini?" Shania mengedikkan bahu. "Astaga, ada-ada aja!" gumam Angga sembari bangkit dari tempat tidur. Angga melangkah gontai meninggalkan Shania yang masih duduk di bibir ranjang. Angga mematung sejenak melihat Indri yang sedang melihat-lihat ruang tamu. Ruangan yang sudah banyak sekali berubah sejak kehadiran Shania. Tidak ada jejak Indri sama sekali di ruangan yang cukup lebar itu. "Ayah!" Anggita berlari menghambur ke tubuh ayahnya. Indri pun menoleh ke arah Angga. "Ayah kenapa lama sekali?" gerutu Anggita. "Ayah bilang cuma sebentar?" "Iya, ayah capek, jadi istirahat dulu. Harusnya Gita sabar nunggu ayah di rumah aja, enggak usah sampai ke sini. Kasihan Gita, nanti capek," ucap Angga yang sudah menekuk lutut di depan putrinya. "Bunda kok, yang ajak Gita ke sini," aku Anggita dengan polosnya. Tentu saja, pengakuan Anggita itu membuat Angga geram dengan Indri. "Ya udah, Gita main dulu sama Ibu, ya! Ayah mau bicara penting sama Bunda," bujuk Angga. Anggita mengangguk setuju. Anak dan ayah itu kemudian menuju kamar dimana Shania berada. "Shan, jaga Gita, ya! Aku mau bicara empat mata sama Indri," ucap Angga begitu membuka pintu kamar. Shania yang sedang memainkan ponsel, menoleh bersamaan dengan Angga yang menyuruh Gita masuk kamar. Tanpa menunggu jawaban Shania, Angga langsung menutup pintu dan kembali ke ruang tamu menemui Indri. Diseretnya lengan Indri hingga mereka berada di teras. Angga tidak mau Shania sampai mendengar percakapannya. "Maksud kamu apa sampai datang ke sini, In?" "Kamu lupa janji kamu tadi apa, Mas?" "Iya, aku tahu. Tapi enggak seharusnya juga kamu sampai datang ke sini! Maksud kamu apa coba?" "Kenapa emangnya kalau aku ke sini? Aku istri kamu juga, aku berhak dong tinggal di rumah ini!" "Jangan macam-macam kamu, In!" "Kamu pikir aku enggak sakit hati selalu di nomor duakan seperti ini, Mas? Aku juga istri kamu, aku punya hak yang sama dengan perempuan itu!" Angga menoleh ke belakang takut Shania mendengar pembicaraannya dengan Indri. Namun, suara Indri yang tertahan, tidak terdengar sampai kamar dimana Shania berada. "Iya, In, aku tahu. Sangat tahu. Kamu juga pasti tahu kan, kalau waktuku juga lebih banyak untuk kamu. Bahkan apapun yang kamu minta selalu aku turuti. Semua aku lakukan karena aku sangat mencintai kamu, In. Makanya, aku minta kamu sabar sedikit, biar semua baik-baik aja." "Kalau gitu, aku mau minta satu hal sama kamu!" Angga mengangguk. "Mintalah apa aja. Selama ini, apa sih yang enggak aku kasih buat kamu? Hem?" Indri tersenyum licik kemudian berkata, "Aku mau, aku sama Gita tinggal di rumah ini juga!""Segitunya kalian mencampuradukkan masalah pribadiku sama kerjaan! Sampai tanpa sepengetahuanku kalian mengacak-acak ruang kerjaku!? Kalian nemuin bukti kesalahan yang udah aku lakuin selama kerja di sini!? Mau jadiin itu alasan buat pecat aku!?" seru Angga seperti orang kesetanan.Shania tertegun mendengar itu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Namun, saat ini memang itu yang ia inginkan. Ia tidak ingin melihat Angga lagi.Sejurus kemudian Shania melangkah lebar mendekati Angga dan tim audit serta Andreas. Dengan kepala tegak ia berkata, "Enggak pantas kamu bicara sekasar itu pada atasanmu, Pak Angga!" "Oh, jadi kamu yang nyuruh mereka menggeledah ruanganku?" Angga menunjuk wajah Shania."Ya. Kamu mau apa?""Dasar perempuan licik!" umpatnya dengan mata penuh kebencian."Dan kamu masih mau bekerja di perusahaan perempuan yang kamu sebut licik ini?""Shit!" seru Angga. Ia terjebak dengan ucapannya se
"Bisa enggak aku cuma pergi sama Shania?" Angga menatap Hamish tidak suka. "Masih banyak hal yang harus kami bicarakan. Dan satu lagi, status Shania sekarang ... masih sah sebagai istriku!"Hamish mengedikkan bahu sembari membuang napas. "Are you okay, Shan?"Shania mengangguk. "Yeah.""Oke, hati-hati," pesan Hamish."Kita makan siang bareng lain kali, ya?""Oke.""Ayo!" ajak Angga yang sudah tidak sabar untuk menjauhkan Shania dari Hamish.Shania pun mengekori langkah Angga. Sebenarnya ia enggan pergi berdua dengan Angga. Hanya saja ia tak mau melibatkan Hamish dalam permasalahan pribadinya.Di mobil Shania memilih diam. Ia tidak ingin membahas apapun dengan Angga. Baginya semua sudah selesai tinggal menunggu proses pengadilan. "Shan," panggil Angga yang sejak tadi merasa didiamkan."Hem.""Kok, gitu sih, Shan, jawabnya?" protes Angga karena selama menjadi istrinya Shania tidak perna
"Sus, gimana kondisi anak saya?" tanya Angga begitu salah seorang perawat keluar dari ruang PICU."Bapak sama Ibu diminta dokter untuk masuk," ucap perawat tersebut tanpa menjawab pertanyaan Angga.Indri menatap wajah Angga dengan cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.Angga mengangguk, memberi keyakinan pada Indri bahwa Anggita pasti baik-baik saja. Lelaki itu kemudian menggenggam erat telapak tangan Indri. "Mari!" ajak perawat berseragam biru muda tersebut.Angga dan Indri mengekori perawat itu.Setiap langkah, Indri seperti sedang menapaki lempengan es yang rapuh. Yang sewaktu-waktu bisa retak, kemudian mereka semua terjerumus ke dalam air yang dalam dan teramat dingin. Suara monitor semakin membuat jantung Indri tak karuan. Berkali-kali ia memukul-mukul dadanya agar jantungnya baik-baik saja."Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Anggita."Selamat pagi, Dok. Gimana kondisi putri kami, Dok?" kejar Angga yang
Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia
Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man
"Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men
[Shan, aku di rumah Om Akbar. Kamu ada lembur?]Shania menatap layar ponselnya dengan mata yang lelah, lalu tersenyum tipis saat membaca pesan itu.[Enggak, ini lagi siap-siap pulang.][Sip, deh. Nanti temenin aku cari kado, ya?][Oke.]Shania merapikan berkas-berkas di meja. Ruang sekretaris yang menjadi tempat kerja Shania cukup sepi. Hanya tersisa suara gemerisik AC dan detik jam di dinding. Aroma kopi yang samar masih menggantung di udara ketika Hendra mendekat ke arahnya. Dasi laki-laki itu sudah sedikit longgar. Namun, tak mengurangi ketampanannya.“Udah mau pulang, Shan?” tanya Hendra sambil tersenyum manis.“Iya, Hen. Aku duluan nggak apa-apa, ya?” Shania balas tersenyum, tapi ada lelah di matanya yang tak bisa disembunyikan.“Tentu aja, santai.” Hendra melipat tangannya di dada. “Angga udah kasih kabar?”Shania menghela napas lalu menggeleng pelan. “Belum. Tapi soal meeting tadi kayaknya aman dipegang Om Andreas.”“Baguslah. Tapi tetap aja, nggak seharusnya dia ninggalin tang
Tanpa Shania duga, lelaki yang wajahnya penuh lebam itu tiba-tiba berlutut di depannya."Aku mohon, Shan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mohon .... Demi ibu, demi Gita, dan demi pernikahan kita berdua. Aku mohon, Shan ...."Shania menggelengkan kepala. "Maaf Mas ....""Shan! Aku mohon!" potong Angga. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari Shania. "Oke! Aku ngaku salah. Tapi, tolong beri aku kesempatan, Shan! Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu."Angga memegangi lutut Shania dengan erat."Shan, kamu tau, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah pergi, apa iya, kamu juga akan pergi ninggalin aku dan Gita? Gimana aku sama Gita harus lanjutin hidup, Shan? Gimana?""Mas, tolong lepas!" Shania berusaha melepas cekalan tangan Angga di lututnya. Namun, Angga justru semakin mempereratnya."Enggak, Shan. Sebelum kamu maafin aku, aku akan terus ka
Shania terdiam mendengar permintaan polos Anggita. Hati kecilnya semakin tersayat. Ia sangat tidak tega saat menatap mata tanpa dosa balita itu."Emang Bunda Gita enggak mau ke sini?" tanya Shania hati-hati.Anggita terdiam dan menatap Shania cukup lama. Sampai akhirnya sorot itu semakin layu, baru kemudian menjawab, "Bunda sama Ayah bertengkar, Bu. Terus ... Gita diajak Ayah pulang ke sini. Bundanya pergi sama Om Hilmi. Tapi ... tadi pas sampai di sini ...." Anggita terlalu sedih untuk melanjutkan perkataannya. Mengingat betapa takutnya ia tadi saat melihat ayahnya dipukuli oleh orang yang selama ini ia panggil Kakek Akbar.Shania semakin merasa bersalah. Kini ia paham dengan nasehat papanya dulu. "Tidak akan ada kebaikan yang kamu dapat, dari mengedepankan emosi. Tahan diri, tunggu tenang sebentar, lalu bicarakan baik-baik. Karena kalau tidak, yang ada semua akan hancur. Tidak hanya yang melakukan kesalahan aja. Tapi, semua orang yang