"Kamu kan, tahu sendiri gimana dulu Indri ninggalin aku, Shan. Di saat aku bangkrut, aku butuh dukungan, dia malah ninggalin aku. Mana mungkin aku balikan sama orang yang udah buang aku?"
Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Shania. Hatinya masih ragu dengan segala yang terucap dari bibir suaminya itu. "Sekarang kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh lagi, ya! Fokus sama kehamilan kamu, sama bayi kita," lanjut Angga. Lelaki itu mengelus perut Shania yang masih rata. "Aku janji bakal jadi suami dan ayah yang baik buat kalian. Aku janji akan buat kamu jadi wanita paling beruntung di dunia, karena kamu udah mau menerimaku sebagai suami kamu. Aku janji, Shan. Percaya sama aku!" Shania semakin ragu. Apalagi selama ini, Angga nyaris tak pernah berkata-kata manis seperti itu. Sepengatahuan Shania, Angga bukan sosok laki-laki romantis. Namun, tiba-tiba setelah peristiwa tadi, Angga bersikap semanis itu. Shania justru jadi teringat perkataan salah seorang temannya. Biasanya untuk menutupi kesalahan, lelaki akan bersikap berkali-kali lebih baik dan romantis. Entah itu karena sudan selingkuh atau melakukan kesalahan yang lainnya. Dan Angga saat ini melakukan itu. "Lagian, enggak masuk akal banget kalau aku sampai balikan sama Indri, Shan," ucap Angga lagi karena Shania tidak berkata apa-apa. "Walaupun dia bundanya Gita, tapi dia adalah perempuan yang dulu udah ngrendahin aku, karena dulu aku enggak punya apa-apa. Kata cerai juga pertama kali terucap dari dia, aku udah pernah cerita, kan? Belum lagi dulu setiap hari dia selalu kasarin Ibu. Mana mungkin aku kembali sama perempuan yang udah bersikap seburuk itu sama aku dan ibuku." "Harusnya begitu," ucap Shania datar. "Kok, harusnya begitu, sih, Shan? Kan emang begitu?" protes Angga. "Kamu masih enggak percaya sama aku? Dengan semua bukti yang udah aku tunjukkan?" "Aku cuma berharap, harusnya begitu, Mas. Gimanapun, isi hati manusia itu kan, engga ada yang tau. Bisa aja sekarang kamu ngomong kayak gitu, besok lusa berubah lagi. Kan, bisa aja. Enggak ada yang pasti dalam hidup ini. Benar, kan?" "Iya, sih, Shan. Tapi kamu harus percaya sama aku, dong. Cintaku ini buat kamu. Sekarang dan selamanya hanya kamu yang ada di hatiku, Shan. Enggak akan terganti oleh siapapun. Apalagi Indri." "Aamiin. Semoga." "Eh, ngomong-ngomong kamu enggak ke PAUD?" Angga berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia ingin hubungannya dengan Shania kembali normal. "Izin." "Kenapa? Karena tadi ngikutin aku?" Shania tersenyum miris. "Aku enggak tau apa alasan orang itu sampai fitnah aku. Padahal aku pergi buat kerja. Kok, ya, ada aja." "Tapi sih, menurutku emang agak aneh, sih." "Aneh kenapa, Shan?" "Masa iya sih, tiap awal bulan kamu seminggu ada meeting. Dan itu terjadi belakangan ini aja. Dulu-dulu enggak pernah, tuh." "Iya, Shan. Aku juga sebenarnya keberatan. Tapi gimana lagi, ini programnya bos. Buat evaluasi dan ngebahas planning ke depan gitu lah isinya. Kalau bisa minta, aku juga pinginnya di rumah aja sama kamu." "Masa iya tiap bulan?" "Ya gimana lagi, Shan. Aku kan, cuma bawahan yang bisanya melaksanakan apa yang bos mau." "Gitu, ya?" Angga mengangguk mantap. "Makanya, kamu di rumah tenang aja, ya! Aku enggak akan mungkin macam-macam di luar sana. Aku udah punya kamu, apalagi sih, kurangnya aku?" Shania menghela napas panjang. Entah mengapa ia tidak suka dengan kata-kata manis Angga yang terdengar seperti bualan. Meski dulu ia pernah berharap Angga berubah menjadi romantis. Namun, saat sekarang Angga berubah, bagi Shania terasa menjijikan. "Sayang, makan, yuk! Aku lapar ...." Angga merengek manja. Hal yang selama setahun pernikahan belum pernah sekalipun Angga lakukan. Terlebih memanggil Shania dengan sebutan sayang. Shania tersenyum kecut. Ia beranjak dari bibir ranjang dan berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Saat ini tidak ada gunanya ia berdebat dengan Angga. Ia hanya perlu membuktikan siapa yang telah membohonginya, Angga atau Aini. Sore harinya saat Shania sedang berbincang-bincang dengan ibu mertuanya, terdengar seruan salam dari depan. Sementara pada saat itu Angga sedang tidur. Lelaki itu memutuskan untuk kembali ke rumah Indri besok saja. Badannya terlalu lelah untuk bolak-balik dari rumah ke rumah Indri. "Aku ke depan dulu, ya, Bu. Sepertinya Mas Angga enggak dengar kalau ada tamu," pamit Shania pada Bu Rani. "Iya, Shan." Shania berjalan cepat ke ruang tamu. Karena suara salam dan ketukan di pintu terdengar tidak sabar. "Iya sebentar!" Bergegas Shania membuka kunci pintu rumah. Lalu saat pintu terbuka, ia tercengang melihat sosok tamu yang datang. "Mbak Indri? Ada apa datang ke sini?" Selama setahun menikah dengan Angga, ini kali pertama Shania melihat Indri berkunjung. "Hei, Shan. Mana Mas Angga? Gita nanyain dia terus dari tadi. Jadi, terpaksa aku nyusul ke sini. Aku enggak mau Gita sampai sakit lagi gara-gara kangen sama ayahnya." Tanpa Shania persilakan, Indri menyelonong masuk ke rumah sambil menuntun Anggita. Bahkan sengaja Indri menabrak bahu Shania agar istri baru Angga itu menyingkir. "Enggak apa-apa, kan, Shan, aku sama Gita datang ke sini?" tanya Indri dengan sinis. "Gimanapun, toh ini rumah ayahnya Gita.""Segitunya kalian mencampuradukkan masalah pribadiku sama kerjaan! Sampai tanpa sepengetahuanku kalian mengacak-acak ruang kerjaku!? Kalian nemuin bukti kesalahan yang udah aku lakuin selama kerja di sini!? Mau jadiin itu alasan buat pecat aku!?" seru Angga seperti orang kesetanan.Shania tertegun mendengar itu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Namun, saat ini memang itu yang ia inginkan. Ia tidak ingin melihat Angga lagi.Sejurus kemudian Shania melangkah lebar mendekati Angga dan tim audit serta Andreas. Dengan kepala tegak ia berkata, "Enggak pantas kamu bicara sekasar itu pada atasanmu, Pak Angga!" "Oh, jadi kamu yang nyuruh mereka menggeledah ruanganku?" Angga menunjuk wajah Shania."Ya. Kamu mau apa?""Dasar perempuan licik!" umpatnya dengan mata penuh kebencian."Dan kamu masih mau bekerja di perusahaan perempuan yang kamu sebut licik ini?""Shit!" seru Angga. Ia terjebak dengan ucapannya se
"Bisa enggak aku cuma pergi sama Shania?" Angga menatap Hamish tidak suka. "Masih banyak hal yang harus kami bicarakan. Dan satu lagi, status Shania sekarang ... masih sah sebagai istriku!"Hamish mengedikkan bahu sembari membuang napas. "Are you okay, Shan?"Shania mengangguk. "Yeah.""Oke, hati-hati," pesan Hamish."Kita makan siang bareng lain kali, ya?""Oke.""Ayo!" ajak Angga yang sudah tidak sabar untuk menjauhkan Shania dari Hamish.Shania pun mengekori langkah Angga. Sebenarnya ia enggan pergi berdua dengan Angga. Hanya saja ia tak mau melibatkan Hamish dalam permasalahan pribadinya.Di mobil Shania memilih diam. Ia tidak ingin membahas apapun dengan Angga. Baginya semua sudah selesai tinggal menunggu proses pengadilan. "Shan," panggil Angga yang sejak tadi merasa didiamkan."Hem.""Kok, gitu sih, Shan, jawabnya?" protes Angga karena selama menjadi istrinya Shania tidak perna
"Sus, gimana kondisi anak saya?" tanya Angga begitu salah seorang perawat keluar dari ruang PICU."Bapak sama Ibu diminta dokter untuk masuk," ucap perawat tersebut tanpa menjawab pertanyaan Angga.Indri menatap wajah Angga dengan cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.Angga mengangguk, memberi keyakinan pada Indri bahwa Anggita pasti baik-baik saja. Lelaki itu kemudian menggenggam erat telapak tangan Indri. "Mari!" ajak perawat berseragam biru muda tersebut.Angga dan Indri mengekori perawat itu.Setiap langkah, Indri seperti sedang menapaki lempengan es yang rapuh. Yang sewaktu-waktu bisa retak, kemudian mereka semua terjerumus ke dalam air yang dalam dan teramat dingin. Suara monitor semakin membuat jantung Indri tak karuan. Berkali-kali ia memukul-mukul dadanya agar jantungnya baik-baik saja."Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Anggita."Selamat pagi, Dok. Gimana kondisi putri kami, Dok?" kejar Angga yang
Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia
Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man
"Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men