Share

2. Perkenalan Menghapus Wasangka

Langit kelabu terukir di hari kedua bulan September. Seakan-akan menggambarkan suasana hati Narendra yang sedang redum. 

Narendra dan Sadewo sedang dalam perjalanan menuju rumah Anyelir. Namun, tak ada suara di antara mereka. Tiga puluh menit bukan waktu singkat untuk kedua insan itu meskipun dalam suasana hening. Kesunyian, hanya ada di mobil, tidak untuk pemikiran mereka. 

Keduanya hanyut dalam pemikiran masing-masing. Narendra sibuk merutuki keinginan konyol sang ayah. Ia sangat tak rela melepas masa muda yang penuh sukacita.

Narendra, hanya mahasiswa yang malas. Dirinya memang tak pernah bolos. Namun, hadir pun percuma sebab saat dosen sedang memberi materi, pria berhidung bangir itu sibuk berkutat dengan gawai, tentu saja tanpa ketahuan dosen. Kadang, ia mengusili Yudha dan Panji --sahabatnya--. 

Sadewo mwmberi amanah kepada Narendra untuk menjadi CEO di salah satu perusahaan miliknya. Namun, dengan dalih perusahaan itu bukan yang ia inginkan, Narendra pun malas mengurusnya. Lelaki itu meginginkan perusahaan sang ayah yang bergerak di bidang konsultan hukum. Perusahaan itu memang bonafit dan terkenal. Justru itu yang membuat Sadewo tak memberikannya karena ia tahu kemampuan sang putra. Narendra sedang dalam tahap belajar. Jadi, lebih baik dimulai dari perusahaan kecil saja. 

Jadi, dengan jiwa anak muda malas yang sangat melekat di diri Narendra, wajar saja ia keberatan dengan permintaan sang ayah untuk segera menikah. 

Sementara itu, Sadewo juga tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Ia cemas apakah rencananya --entah apa itu-- akan berhasil? 

Kedua insan yang duduk bersebelahan di jok bagian belakang pengemudi itu menyadarkan diri dari lamunan masing-masing ketika Parman --sopir pribadi-- menegur keduanya. 

Mereka pun turun dari mobil dan melangkah menuju rumah sederhana berpagar bunga asoka merah dan kuning --tanpa ada pagar yang bergembok--. 

Narendra mengikuti langkah Sadewo melintasi halaman tanpa rumput dan sampah sedikit pun. Begitu sampai di depan pintu kayu cokelat tanpa ukiran, Sadewo gegas mengetuk pintu. 

"As-salamu'alaikum!" ucap Sadewo. 

"Wa'alaikummus-salam!" Suara seorang pria terdengar dari dalam. 

Tak menunggu lama, pintu terbuka dan tampak sesosok pria sebaya Sadewo dengan tubuh sedikit gempal dan berkulit kuning langsat. 

"Wah, tamu spesial sudah datang. Ayo, masuk, Wo, Rendra! " 

Narendra mengikuti langkah sang ayah. Semula, dirinya sempat nanar ketika pria yang diperkirakan ayah Anyelir itu mengetahui namanya. Namun, pria itu baru sadar, tak mungkin ayahnya tak bercerita tentang nama anaknya.

'Kalau ini ayahnya, kemungkinan anaknya 'not bad' lah. Setidaknya meski tak cinta, tak bikin enek ketika melihatnya', gumamnya dalam hati seraya duduk di samping ayah. 

Ayah dan anak itu duduk di kursi rotan minimalis berwarna putih dengan dudukan berbahan busa dibalut kain motif bunga-bunga kecil warna merah muda-putih. 

Seorang perempuan yang dua tahun lebih muda dari Sadewo dan Darmawan, muncul dari arah kanan di depan ruang tamu. "Wah, Ternyata Kak Dewo dan si ganteng sudah datang. Sebentar, saya suruh Anyelir membuatkan kopi, ya!"

"Maaf, saya tidak minum kopi, Bu," celetuk Narendra. "Air putih saja tidak apa-apa, Bu," lanjutnya sopan. 

Inilah salah satu kelebihan Narendra, selain tampan dan anak orang kaya. Di balik sikap bergajul dan jangla, ia tetap sopan jika berhadapan dengan orang tua. 

"Buatkan teh saja. Gulanya Satu setengah sendok makan. Dia suka manis," timpal Sadewo seraya melirik sang putra yang sedang menatapnya. "Calon istrimu harus tahu kesukaanmu. Jadi, kalau sudah berumah tangga tidak bertanya lagi."

Narendra tak menjawab. Dalam hatinya menggerutu, 'Siapa juga yang butuh pelayanannya'. 

"Baiklah, kalau begitu. Saya permisi ke dalam ya," ucap Wanita bernama Wulandari itu seraya membungkuk sedikit, memberi takzim kepada dua pria di kursi. 

Darmawan mengambil posisi di kursi single dekat tempat duduk tamunya. 

"Jadi, ini calon menantuku, ya?" ucap Darmawan seraya menepuk lutut Narendra. 

"Iya, ini putra saya, Dar. Dia agak sedikit susah diatur. Berbeda dengan saya."

Darmawan tergelak. "Ah, tak apa-apa. Tak semua sikap Ayah harus menurun pada anaknya." Netra Darmawan beralih ke Narendra. "Namun, ada baiknya kamu belajar mengikuti karakter ayahmu. Lihatlah! Dia sukses, kan? Itu karena ayahmu anak penurut dan berkepribadian bak malaikat, sedangkan aku tak jauh beda denganmu, Nak. Lihat hasilnya, hanya rumah sederhana ini yang bisa kuberi untuk anak-anak dan istriku."

Narendra mencoba mencerna ucapan Darmawan. Bukan perihal nasihatnya, tetapi lelaki itu menangkap signal bahwa pria di depannya sangat dekat dengan sang ayah. Sepertinya, ia mesti membuang wasangka terhadap sang ayah dan calon istri. Dirinya sempat menganggap bahwa Anyelir adalah kekasih ayahnya. Meski ia sempat menepis pikiran itu dengan alasan ayahnya bisa menikahi gadis itu jika memang dia adalah kekasihnya. Toh, ayahnya seorang duda. Namun, Narendra tak sepenuhnya menepis pikiran tersebut, sampai malam ini ia baru yakin bahwa pikirannya salah. 

"Dalam mendidik anak pun, aku gagal sehingga anakku hamil dengan pria tak jelas dan pengecut." Rahang Darmawan mengeras sebab menahan emosi. 

"Jangan bicara begitu. Semoga dengan berumah tangga mereka bisa menjadi dewasa, apalagi setelah bayi Anyelir lahir. Meski bukan anak biologis Narendra, tetap saja dia harus bertanggung jawab dengan keluarganya karena di akta lahir, tertulis namanya sebagai ayah. Aku berharap Narendra pun bisa lebih rajin bekerja."

Kali ini Narendra menangkap signal bahwa ia akan lebih menderita setelah menikah nanti. Namun, lelaki berkemeja slimfit lengan panjang warna kelam baja itu menunda wasangkanya kala melihat sesosok perempuan yang tampak cantik alami tanpa polesan make up. Kalaupun ada, mungkin, hanya sedikit bedak tabur dan olesan lipstik warna natural. Perempuan itu membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Dua gelas berisi kopi hitam dan satu gelas berisi teh manis. 

"Jaga dulu pandanganmu. Nanti kalau sudah menikah, kau bisa memandang Anyelir sepuasnya." Kata-kata Sadewo membuat sang putra menunduk. 

Narendra menggaruk leher bagian belakang yang tak gatal. Dirinya pun merutuki iris yang tiba-tiba betah memandang gadis bernama Anyelir itu. 'Sadar, Ren. Dia, hanya gadis kampung. Tak ada apa-apanya dibanding Felicia', jeritnya dalam hati. 

Anyelir meletakkan gelas-gelas tersebut di meja tamu berbentuk oval berbahan rotan --senada kursi-- yang dilapisi taplak kain model klasik dengan motif bunga mawar bordir. 

"Duduk di sini, Nak." Sang ibu yang baru muncul, mengajak Anyelir duduk bersamanya di kursi model double, tepat berseberangan dengan sang ayah. 

"Baiklah, kami minum dulu, ya, sebelum berbicara. Untuk menghilangkan kecanggungan." Sadewo kembali bersuara. 

"Hoalah! Kok, canggung? Kayak sama siapa aja," seloroh Wulandari. 

Sadewo dan Narendra menyeruput minuman hangat itu setelah meniupnya terlebih dulu. 

"Jadi, begini. Sebelum masuk topik inti, Narendra ini masih bingung dengan hubungan saya sama keluarga ini." Tak ada yang menjawab. 

Baik Wulandari maupun Darmawan menunggu Sadewo melanjutkan ucapannya. Mereka berharap Sadewo segera menjelaskan kepada putranya. 

Sadewo menatap lekat Narendra. "Kamu tahu, kan, Nak, sejak kecil Papa sudah ditinggal kakekmu untuk selamanya. Waktu itu, usia Papa baru tiga tahun. Nenekmu yang kewalahan mengurus tiga anak sendiri, meminta tolong nenek Anyelir untuk mengurus Papa. Nenekmu lepas tangan sepenuhnya, termasuk urusan keuangan. Namun, nenekmu tetap menjenguk Papa sesekali. Saat Papa berusia sepuluh tahun, nenekmu meninggal dunia. Jadi, Papa sudah seperti anak kandung bagi ibu Anyelir."

"Jadi, Pak Darmawan ini, saudara angkat Papa? Kok, aku tak pernah melihat dan mengetahui? Kan, masih satu kota dengan kita."

"Begitulah, Nak. Papamu, kan, pengusaha sukses. Dia punya kesibukan sendiri. Kami pun sungkan mengganggunya. Meskipun demikian, ia masih sering mengunjungiku, juga kedua adik dan kakakku untuk sekadar memberi uang."

"Selain Papa yang sibuk, kamu pun sibuk sendiri dengan duniamu yang unfaedah itu," ketus pria dengan tinggi serarus enam puluh delapan itu. 

Narendra, hanya mengernyih menampilkan gigi rapi nan putihnya. Lalu, ia ingat ucapan papanya. "Tapi, kenapa Papa bilang bahwa Anyelir ini pasien Papa?"

"Jadi, Anyelir ini pingsan di jalan dan di bawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa suster, ternyata hamil. Dibawalah ke ruang kebidanan . Kebetulan, Papa yang visit di sana. Ketika melihat datanya, Papa merasa kenal dengan orang tuanya. Sampai di sini paham, Nak?"

Narendra paham meski sang ayah tak menjelaskan dengan detail. Namun, ia tak terlalu bodoh untuk mengerti arah pembicaraan papanya. Ia pun mengangguk mantap. 

"Baiklah, kita to the point saja, ya. Seperti yang kalian ketahui, kedatangan kami kemari untuk melamar Anyelir."

"Sebentar, Kak Dewo." Wulandari bersuara. "Saya ingin bertanya pada Nak Narendra dulu. Apakah serius akan menikahi putri saya? Meski pernikahan kalian, hanya sampai dua tahun, tetapi selama itu kalian sah sebagai suami istri dan bukan waktu singkat, loh, untuk menjalani rumah tangga, apalagi kalian tak saling mencintai. Saya sebagai ibu, tentu saja tak mau kalau Anyelir sampai terluka. Sudah cukup ia dicampakkan oleh ayah biologis dari bayinya. Tolong bahagiakan dia selama dua tahun saja." Wulandari meminta sepenuh hati. 

Narendra menghela napas teratur. "Baiklah, Bu. Saya akan bahagiakan Anyelir di rumah, tetapi di luar rumah, tak ada yang boleh mengetahui status kami."

"Ibu setuju! Toh, Anyelir tak akan kemana-mana. Jadi, untuk syarat itu bukan hal berat. Lagipula, kalau seluruh dunia tahu pernikahan kalian, akan banyak pertimbangan untuk kalian bercerai nanti. Orang akan menilai buruk jika baru dua tahun menikah, sudah bercerai. Terutama, papamu yang akan malu," sahut wanita berdaster lengan panjang motif batik itu. 

"Baiklah, aku rasa perdebatannya sudah cukup. Narendra pun sudah paham dengan hubungan keluarga kita. Jadi, untuk mempersingkat waktu, lamaran ini kami terima. Tak ada alasan untuk menolak karena memang pernikahan ini harus terlaksana," ujar Darmawan

"Syukurlah kalau begitu. Untuk persiapan pernikahan, Wulandari tak perlu mempersiapkan apapun. Saya punya banyak kaki tangan yang bisa membantu mengurus pernikahan mereka. Toh, kita, hanya kumpul keluarga, bukan? Tak ada relasi lain. Jadi, tak perlu banyak persiapan," sahut Sadewo. "Untuk Narendra dan Anyelir, lebih baik persiapkan diri kalian melewati hari setelah pernikahan karena berumah tangga itu memerlukan kedewasaan. Jadikan waktu selama dua tahun untuk membentuk karakter dewasa, keibuan dan kebapakan dalam diri kalian."

Narendra menautkan alis. Ia merasa wasangkanya tadi akan menjadi nyata. 'Semoga bukan pertanda bahwa aku akan menjadi miskin'. 

Sementara itu, Sadewo meneguk sampai habis kopi hitamnya, diikuti oleh Narendra. 

"Baiklah, kalau sudah selesai, kami permisi pulang, ya. Saya harus istirahat. Besok saya harus keliling menemui keluarga untuk mengundang mereka." Sadewo beranjak dari duduknya. 

"Inilah yang aku suka darimu, Wo. Kau selalu menyempatkan diri menemui keluarga meski, hanya sekadar mengundang, padahal kau bisa menghubungi mereka via telepon." Darmawan turut bangkit. 

"Kalau via telepon, tak ada kesan silahturahminya, Wan," kekeh Sadewo. "Ya sudah, kami pamit dulu, ya."

Anyelir memberi takzim pada punggung tangan Sadewo.

"Kamu sehat-sehat, ya, Nak. Jaga kandunganmu."

Gadis berkaus lengan panjang warna hijau toska itu mengangguk sembari menunduk. Ia tampak salah tingkah kala Narendra mengulurkan tangan padanya. Dengan gemetar, ia menyambut uluran tangan itu.

'Sok polos banget, nih, cewek, padahal sampai hamil gitu, berarti, kan, bukan cewek baik-baik, tetapi salam sama aku saja tangannya sampai dingin. Dasar wanita memang sulit dimengerti'. Lagi-lagi Narendra bersenandika. 

Narendra dan Sadewo meninggalkan rumah sederhana tak bertingkat itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status