Share

SECRET MARRIAGE
SECRET MARRIAGE
Author: Pena_Violet

1. Takut Menjadi Miskin

Narendra menggedor daun pintu apartemennya, setelah sebelumnya ia melihat lampu menyala. Terlebih, ia tak bisa membuka pintu tersebut menggunakan password yang biasa dipakai. Oleh karena itu, dirinya yakin bahwa ada orang di dalam.

"Woy, buka! Siapa yang berani masuk rumah orang tanpa izin?" teriaknya sembari terus menggedor pintu

Selang beberapa detik, pintu terbuka dan menampakkan sosok perempuan yang sangat dikena Narendra.

"Kak Anin?"

"Kamu nggak bisa ketuk pelan-pelan?" tanya Anindya santai.

"Apa katamu? Ketuk pintu pelan-pelan setelah kakak masuk ke dalam tanpa izinku dan mengubah paswordnya?"

Anindya terkekeh. "Izinmu?memangnya kamu pemilik apartemen ini? Justru pemilik apartemen ini yang menyuruhku dan suami tinggal di sini, serta mengubah password akses masuk."

Narendra mengusap kasar rambutnya. "Ah! Papa benar-benar melaksanakan ancamannya. Sial!"

"Urusanmu sama kakak sudah selesai, kan? Jadi, silakan selesaikan urusanmu dengan Papa. Kakak mau melanjutkan pertempuran yang tertunda karenamu."

Narendra yang sedang kalut mendadak polos mendengar kata-kata itu. Setelah suami Anindya muncul, barulah ia paham.

"Sudah, kan, Ren? Kami mau lanjut lagi," ujar pria bernama Riko itu.

Narendra membalikkan badan dan berlalu tanpa suara. Ia turun ke pelataran parkir menggunakan lift. Namun, ia tak menemukan mobilnya di area parkir yang sedang lengang itu. Dering gawai Narendra seakan-akan menjawab kegundahannya.

"Pulang ke rumah saja dan pakai taksi. Mulai detik ini, belajar hidup apa adanya tanpa fasilitas mewah lagi jika kamu memang sudah tak butuh Papa lagi," ucap seorang pria dari seberang gawai.

Narendra mengusap kasar wajahnya. "Oke, baiklah! Sekarang juga aku akan menikahi wanita itu."

Gelak tawa pria bernama Sadewo Handoko itu membahana di membran tipani Narendra. "Anak malas dan manja sepertimu memang akan melakukan apa saja demi harta."

"Besok, kita bicara di rumah. Aku juga punya satu permintaan mengenai pernikahan itu," jawabnya seraya melangkah menuju gerbang.

"Baiklah, besok Papa tunggu."

Usai mengakhiri panggilan suara, Narendra masih berkutat pada gawai. Dirinya menghubungi seorang wanita. "Tolong jemput aku di apartemen! Aku tak mau ada penolakan!" tegasnya yang sudah sampai ambang gerbang.

'Ah, semua ini gara-gara wanita sialan itu! Dia yang hamil, aku yang repot. Aku saja selalu mengingatkan setiap wanita yang tidur denganku untuk minum kontrasepsi pil terlebih dulu supaya tak hamil. Sekarang malah harus menikahi wanita hamil. Awas saja dia! Akan kubuat dia mengugat cerai secepatnya'. Narendra bersenandika.

Lima menit menunggu, pajero sport violet berhenti di depannya. Gegas dirinya melangkah menuju mobil dan mengambil posisi di samping pengemudi, sebelum yang punya mobil turun dan menyuruhnya menyetir.

"Pikiranku sedang kacau dan akan membahayakan jika menyetir." Narendra bersuara terlebih dahulu sebelum gadis di sampingnya bertanya.

"Jangan bilang kalau kamu tak diizinkan papamu tinggal di apartemen itu dan mobilmu juga diambil beliau?"

Narendra, hanya menjawab dengan menampakkan ekspresi senderut di wajah tampannya, sedangkan gadis bernama Felicia itu paham dengan air muka yang ditunjukkan sang kekasih.

Setelah itu, tercipta keheningan di antara mereka sampai dua puluh menit kemudian, mobil tiba di pelataran parkir apartemen Felicia. Gegas sepasang kekasih itu melangkah ke lantai lima, menggunakan lift. Begitu tiba di rumah apartemen sederhana itu, Narendra lekas merebahkan raga di sofa bed marun yang ada di depan televisi, sementara Felicia melangkah menuju lemari pendingin untuk mengambil beberapa minuman beralkohol, setelah sebelumnya melepas higheels terlebih dulu. Beberapa detik kemudian, gadis bermata sipit itu menemui Narendra dengan membawa nampan berisi dua botol minuman berakohol dan dua gelas berkaki tinggi.

"Mungkin, kamu butuh ini, Sayang?"

Narendra mendongakkan wajahnya menatap sang kekasih yang sedang membungkuk meletakkan nampan di meja. Lelaki itu segera merengkuh tubuh ramping, tetapi sintal itu ke pelukannya. "Aku butuh kamu, Sayang," bisiknya lirih.

"Ayolah, kita minum dulu agar lebih seru," ajak gadis yang sengaja dua kancing bagian atas kemeja cokelat susunya.

"Baiklah, bidadariku!"

Setelah habis tiga gelas alkohol, bhama semakin menguasai Narendra, pun Felicia.

Narendra kerap menjadikan Felicia tempat pelampiasan syahwatnya kala pikirannya sedang kalut. Sang kekasih pun bersedia sebab lelaki itu sangat royal padanya

Kedua insan itu melanjutkan permainan di kamar. Satu jam setengah mereka bercumbana, membuat keduanya kelelahan dan tertidur sampai pagi.

Narendra mengerjapkan netra kala cahaya baskara yang menembus jendela mengetuk kelopak matanya. Ternyata, Felicia sudah bangun dan membuka gordyn.

"Apa rencanamu hari ini, Sayang? Bagaimana caramu membujuk Papa agar mengembalikan semua fasilitas? "

Narendra mengubah posisi tidurnya menjadi duduk bersila di katil dengan selimut menutupi area perut sampai kaki. "Hanya ada satu cara, yaitu menuruti keinginannya." lelaki itu meraih celana panjangnya di lantai, kemudian berdiri, lalu mengenakannya.

Tampak raut wajah Felicia senderut. Narendra menghampiri gadis yang sedang duduk di depan meja rias itu. Ia memeluk lembut gadis berkaus ketat warna salem itu dari balik punggungnya.

"Jangan cemberut gitu, Sayang," ucapnya seraya memberi kecupan lembut pada pipi mulus Felicia. "Aku, sih, maunya kita tetap berhubungan meskipun aku sudah menikah. Lagi pula, aku menikahi dia, hanya untuk memperjelas status anaknya saja. Nggak apalah, aku sumbangkan namaku sebagai bapak dari bayi itu di akta lahirnya supaya gampang segala urusan administrasinya ketika dewasa nanti."

"Jadi, maksudmu, pernikahan kalian, hanya sekadar status saja, kan? Tak ada cinta di dalamnya?"

Narendra menuntun tubuh ramping Felicia agar memutar menghadapnya. "Mana bisa aku mencintainya, sedangkan melihatnya saja belum pernah. Kalaupun nanti sudah melihat, tak mungkin semudah itu aku jatuh cinta, Sayang."

"Benar, ya! Awas, kalau sampai kamu jatuh cinta padanya!"

"Tentu tidak, Sayang." Narendra mengecup bibir ranum di hadapannya. "Kalau begitu, aku pulang, ya, Beib."

Felicia mengangguk sembari mengulas senyum.

***

"Jadi, apa permintaanmu?" tanya Papa setelah mendengar langsung Narendra setuju dengan permintaannya.

"Aku tak mau ada yang tahu tentang pernikahanku. Aku sedang kuliah, Pa. Apa kata orang kalau tahu aku yang masih mahasiswa sudah menikah?Orang pasti berpikir kami hidup dari harta Papa karena tak banyak yang tahu kalau aku sudah bekerja di perusahaan Papa."

"Jelas orang tak tahu kalau kamu bekerja. Kamu itu status saja CEO, tapi tak pernah ke kantor, apalagi mengurus pekerjaan," sahut Papa kesal. "Ya sudah, Papa juga tak mau banyak orang yang tahu karena mereka akan berpikir kamu yang meghamili Anyelir dan itu tentu saja akan mencoreng muka Papa. Jadi, peenikahan kamu ini memang dirahasiakan."

"Lagi pula, kenapa harus ditolong, sih, Pa? Biarkan saja dia menanggung susahnya sendiri."

"Nanti kamu akan tahu. Yang jelas, Papa punya hutang budi pada keluarga Anyelir." Papa mengatur napas sesaat. "Lagi pula, Papa, kan, sudah katakan sebelumnya bahwa pernikahan kalian, hanya sampai bayi Anyelir berusia satu tahun. Setelah itu, kamu bisa bebas lagi."

"Baiklah, kalau begitu. Kapan pernikahan dilaksanakan?" tanya Narendra.

"Minggu depan. Nanti malam, kita ke tempat Anyelir. Kamu belum pernah bertemu dengannya, kan?"

"Baiklah!"

Sesungguhnya, beberapa pertanyaan menyeruak di relung. Apa yang dilakukan ayah Anyelir sehingga Papa merasa sampai berhutang budi padanya. Kenapa Papa memberi waktu sampai bayi Anyelir berusia satu tahun? Kenapa tak sebulan setelah bayinya lahir saja?

Akan tetapi, semua pertanyaan itu, hanya bercokol di koroh.  Ia tak ingin berdebat karena tak mau menjadi miskin, hanya karena menolak keinginan Papa.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status