Share

3. Kontrak Pernikahan

Baskara merangkak naik menghantar kehangatan pada atmosfer bumi. Seakan-akan merestui akad nikah yang berlangsung hari ini.

Sesuai kesepakatan, pernikahan, hanya diketahui keluarga inti.

Adik perempuan dan kakak laki-laki Sadewo bersama pasangan masing-masing dan anak-anaknya, kedua kakak laki-laki almarhum Sekar --ibu Narendra-- Adik laki-laki dan kakak perempuan Darmawan, serta kedua adik perempuan Wulandari beserta anak-anak mereka, juga tentu saja Anindya dan suaminya. Tak ada tamu lain selain itu.

Dua jam lalu, Narendra dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Sekarang, keluarga tampak saling bercengkerama dan berkenalan. Kehangatan dan keakraban tampak jelas terlihat. Namun, lain halnya dengan Narendra yang memilih berkutat pada gawai karena sedang bertengkar dengan Felicia.

Sementara itu, Anyelir memilih menikmati kue dan hidangan lain yang tersedia. Ia berusaha menyembunyikan rasa pusing dan mual yang melanda. Raga yang masih terlihat ramping berbalut kebaya biru muda itu dilanda hyperemesis gravidarum. "Anyelir, kamu masih mual, Nak?" Wulandari berbisik di telinganya.

Anyelir mengangguk. Ia merasa besyukur karena tamu satu per satu pamit pulang. Setelah semua tamu pulang, Anyelir minta izin beristirahat. Ia beristirahat di kamar Rendra sesuai titah mertuanya.

Sementara itu, suaminya tampak berganti pakaian. Anyelir yang masih belum terbiasa dengan statusnya sebagai istri sah Narendra, menutup wajahnya dengan bantal.

Narendra tersenyum sinis melihat tingkah istrinya itu. "Tak usah sok polos. Kalau tak biasa melihat lelaki telanjang, tak mungkin sampai hamil," sindir lelaki itu seraya mengenakan kaus casual warna kuning kenari dengan tulisan Pria Tampan di bagian dada.

Anyelir mengukir raut senderut, tetapi malas membela diri. Toh, tak ada yang mesti diklarifikasi karena ucapan sang suami benar. "Kau mau ke mana?" ucapnya lirih karena menahan pusing dan mual.

"Bukan urusanmu!" ketus pria yang sudah mengenakan celana tactical pendek cokelat susu itu seraya melangkah keluar kamar.

Ketika sedang menuruni anak tangga, Papa bertanya seraya menatapnya tajam. "Mau ke mana kau, Rendra? Istrimu sedang sakit, malah keluyuran."

"Aku tahu ada yang mau Papa sampaikan padaku, bukan?" Rendra mengalihkan pembicaraan. "Aku ada urusan sebentar. Nanti malam pasti sudah di rumah," lanjutnya seraya melangkah pergi.

Sadewo, hanya menggeleng melihat tingkah putranya. Lelaki muda itu, bahan tak pamit pada mertua yang memang sedang tak berada di dekatnya. Darmawan sedang istirahat di kamar khusus tamu , sedangkan Wulandari sedang membantu ART mereka yang kerap di sapa Mbak Dewi di dapur.

Sadewo tahu bahwa Narendra cukup peka dalam hal menebak. Putranya itu dapat menangkap makna tersirat dalam setiap percakapan meski tak dijelaskan secara gamblang. Narendra bisa mencerna pembicaraannya dengan Darmawan saat acara lamaran satu minggu yang lalu. Pria itu tahu bahwa sang ayah punya sebuah rencana untuk mengubahnya menjadi pria dewasa.

Sementara itu,Rendra nyaris membawa mobilnya terbang. Tujuannya adalah apartemen Felicia. Rendra tak perlu mengetuk pintu. Ia bisa masuk ke tempat tinggal kekasihnya itu, kecuali jika gadis itu mengganti kode akses. Namun, Rendra patut bernapas lega karena sang dayati belum mengganti kode. Artinya, sang kekasih masih mengharap kedatangannya.

Iris Narendra membesar kala melihat sang kekasih terkampai di sofabed marun. Netranya menangkap beberapa botol minuman keras dan camilan berupa kacang-kacangan dengan berbagai merek yang telah terbuka kemasannya terdapat di meja berbahan kayu mahoni dengan cat warna putih dan berkaca bening yang dilapis taplak bulu korea warna marun.

"Astaga, Sayang! Kamu kenapa sampai begini?" Narendra mengangkat bagian belakang leher Felicia dengan lengan kanannya, sementara tangan kirinya mengangkat lembut dagu gadis bertanktop hitam model singlet itu.

Narendra menyesal mengirimkan foto dirinya yang mengenakan pakaian pengantin tradisional warna putih sebelum melaksanakan ijab Kabul tadi. Ia sama sekali tak memikirkan betapa sakitnya hati sang kekasih. Meski Feli tahu mereka akan tetap berhubungan, tentu saja ia gadis itu ingin dirinya yang ada di samping Narendra, bukan Anyelir.

"Sayang, maafkan aku!" ucap Narendra menempelkan keningnya dengan dahi Felicia.

Gadis itu membuka netranya sedikit, kemudian mendorong kasar Narendra. "Buat apa kamu ke sini? Belum puas menunjukan kebahagianmu padaku lewat foto? Tak sekalian saja kalian bercumbana di depanku."

"Tolong, maafkan aku! Aku tahu salah, tapi sumpah, aku bukan sengaja! Aku sungguh mencintaimu, Feli. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku, hanya mencintaimu dan kamulah sumber kebahagiaanku."

Feli bangkit dari rebahnya, kemudian duduk bersila tanpa menatap Narendra yang berlutut di lantai, tepat di depannya. "Aku ragu melanjutkan hubungan ini, Ren. Semua orang akan memberi stempel pelakor padaku dan aku tak mau itu terjadi!"

Rendra bangkit dari posisinya, kemudian duduk di sofa, tepatnya di samping Felicia. "Tolong tatap mataku, Sayang." Rendra menggenggam lembut kedua tapak tangan Feli. "Kamu tak tahu bahwa taka da yang mengetahui pernikahan kami? Selain keluarga, hanya kamu yang tahu, Sayang." Meski gadis di sampingnya tak menurut titahnya, ia tetap berbicara.

Setelah mendengar itu, barulah Felicia menatap netra Rendra. "Are you serious? How about Yudha and Panji? Mereka tidak tahu juga?"

Narendra memberi jawaban melalui senyuman. Felicia mengubah raut senderutnya dan mengukir senyum termanis di wajah balut itu. Ada sedikit lega kala mengetahui bahwa tak akan ada perubahan pada hubungan mereka.

"Baiklah, aku percaya." Gadis itu menyeka bekas air mata yang masih membasahi pipi. "Oh, iya! Bagaimana dengan fasilitas yang disita papamu? Apa sudah dikembalikan?"

Pikiran buruk Narendra terhadap sang ayah kembali menyeruak. Namun,ia tak ingin mengecewakan Felicia. "Sepertinya, nanti malam. Aku langsung ke sini ketika tahu kamu marah padaku tanpa sempat berbicara banyak dengan Papa." Lelaki itu mengacak rambut sang kekasih dengan gemas. "Kamu pasti mau beli tas, ya? Sabar, ya, Sayangku!" Iya merangkul pundak Felicia, kemudian mendaratkan kecupan di dahi.

Gadis yang mengenakan celana pendek bahan katun warna abu-abu itu meyeringai. "Tahu saja kamu." Ia menyandarkan raga di dada bidang Narendra.

Posisi mereka mempermudah Narendra merangkulnya dari belakang seraya memberi kecupan menggoda di leher putih nan jenjang itu. Felicia tak menolak sehingga membawa mereka hanyut dalam buaian bhama.

Dua jam kemudian, permainan mesra itu berakhir bersamaan dengan suara tagar yang membelai membran tipani keduanya. Cuaca yang menakutkan itu seakan-akan pertanda bahwa setelah ini Narendra akan melalui hal yang mengerikan. Benar saja. Dering gawai lelaki itu seakan-akan memberi clue kejadian tak menyenangkan yang akan terjadi, apalagi tertera tulisan Papa di layar.

"Sayang, aku pulang dulu, ya. Papa menelepon pasti menyuruh pulang."

Tanpa menunggu jawaban sang kekasih, Narendra berlalu meninggalkannya seraya menerima panggilan di ponsel. "Iya, Pa! Aku segera pulang!" ucap Narendra tanpa memberi kesempatan sang ayah bicara terlebih dahulu.

"Baiklah! Tolong belikan rujak untuk istrimu."

"Oke!" ucapnya seraya masuk ke mobil dan memutuskan panggilan.

Lelaki itu berdengkus kesal. "Bukan anakku, tapi aku yang repot. Baru hari pertama sudah seperti ini. Huft!" Dirinya bermonolog sembari tetap fokus pada jalan.

***

Rinai masih tersisa dari hujan halau mentua. Biarpun demikian, hujan yang sempat deras itu menciptakan dingin yang menusuk kulit. Anila berhembus membelai lapisan epidermi. Suasana seperti ini biasanya disukai pasnagan pengantin baru, tetapi tak berlaku bagi Narendra dan Anyelir. Namun, kehangatan tetap menyeruak di hati mereka meski bukan karena sentuhan mesra. Amarah yang tertahan membuat hati Narendra panas.

Usai berdebat dengan sang ayah, ia memilih menyendiri di taman belakang seraya menyesap sebatang rokok di bibirnya. Netranya dengan jeli menyapu aksara demi aksara yang terukir di kertas beralas map biru dalam genggamannya.

Kekesalannya terhadap sang ayah yang membatasi fasilitasnya masih menguar di relung. Kini rasa itu meningkat menjadi membawang. Kata-kata sang ayah dua jam lalu, masih mengusik telinganya.

"Papa punya beberapa persyaratan penting. Sebenarnya, sudah ada di dalam perjanjian kontrak pernikahan ini, tetapi Papa harus menyampaikan beberapa hal yang paling penting," ucap Sadewo saat mereka sedang duduk di ruang santai. "Pertama, kau boleh berhubungan dengan kekasihmu itu, asal jangan sampai melukai Anyelir. Kalau dia merasa tersakiti, tinggalkan Felicia selama kamu masih menjadi suami Anyelir." Sadewo menghentikan penuturannya demi melihat manik wajah sang putra.

"Aku yakin, Anyelir tak akan tersakiti. Aku akan membuat dia tak jatuh cinta padaku."

"Terserah kamu! Asal jangan dengan cara yang membuatnya terluka!" Sadewo kembali mengatur napas." Kedua, Papa, hanya memberikanmu uang sebesar tujuh puluh juta rupiah dan sebuah rumah di Jakarta Pusat. Mobilmu ganti dengan yang lebih murah. Itu berlaku selama dua tahun pernikahan kalian."

Kalau permintaan pertama Sadewo masih dianggap remeh oleh Narendra, maka permintaan kedua ini membuatnya pedar. "What? Tujuh puluh juta selama dua tahun? Mana cukup, Pa? Makan lauk seadanya saja mungkin kurang, apalagi makan makanan mahal. Anyelir pun sedang hamil dan sebentar lagi melahirkan. Kalau dia melahirkan normal saja mungkin akan kurang, apalagi operasi. Kita tak tahu, kan, takdir Tuhan dan harus mempersiapkan kemungkinan terburuk. Belum lagi kebutuhan setelah punya anak. Papa menyuruhku menjual mobil? Mobilnya saja akan Papa ganti dengan yang lebih murah. Entah apa tujuannya," cerocos Narendra kesal.

Pria yang masih tampan di usia tak muda lagi itu tersenyum geli mendengar celotehan sang putra. "Rendra, kamu sekarang adalah kepala keluarga. Apa harus Papa kasih tahu tugas kepala keluarga itu apa? Memberi nafkah, kan? Apa iya, Papa yang memberi nafkah anak dan istrimu."

Narendra mengerti arah pembicaraan sang ayah. "Jadi, ini cara Papa untuk menyuruhku rajin bekerja? Aku tak mau di perusahaan itu, Pa."

"Ribuan pengangguran rela bekerja apa saja tanpa memilih, sementara kau yang pemalas ini tak sadar diri. Mau bekerja di perusahaan besar dengan kelakuan seperti ini? Mau kau hancurkan perusahaan yang Papa bangun susah payah? Belajarlah dari perusahaan kecil. Kalau kau bisa mengolahnya dengan baik, jangankan satu perusahaan besar, semua perusahaan Papa percayakan padamu! Paham?" Sadewo menaikkan suaranya satu oktaf. "Lagipula, tujuh puluh juta plus sebuah mobil itu cukup saja apabila tak kau gunakan untuk memanjakan pacarmu yang matre itu."

"Terserah Papa saja! Aku pusing!" Narendra beranjak dari duduknya dan hendak melangkah.

Namun, suara Sadewo menghentikan geraknya. "Surat kontrak pernikahan itu dibawa!"

Narendra melirik sekilas map di meja, lalu meraihnya kasar dan berlalu dari hadapan Sadewo yang belum selesai bicara.

"Tak usah risau!" Suara seorang perempuan menyadarkan Narendra dari lamunan. "Papa akan memberikan tujuh puluh persen hartanya untukmu jika kau mampu menjadi kepala keluarga yang baik, apalagi jika kau memperlakukan Anyelir dengan istimewa."

"Are you serious? Papa tak mengatakan itu padaku."

"Bagaimana mau mengatakan padamu? Kau saja langsung pergi, padahal Papa belum selesai bicara." Perempuan yang tak lain adalah Anindya itu sukses menghibur sedikit hatinya yang masygul. "Saranku, sih, lebih baik lanjutkan hubunganmu dengan Felicia tanpa ketahuan Papa. Beraktinglah sebagai suami yang baik di depan Papa. Kalau di belakang Papa, sih, terserah padamu."

Narendra mengangguk tanda mengerti. Kini, hatinya sedikit tenang. "Baiklah, toh Papa akan jarang ke rumahku nanti. Kurasa dua tahun akan terasa seru sedikit bermain peran. Thank's, saranmu, Kak!"

Kedua insan itu memutuskan ke kamar masing-masing karena udara semakin dingin. Alexander Christie di pergelangan tangan Rendra menunjukkan pukul 21.30.

Rendra membuka pintu kamar, lalu melangkah ke dalam. Dilihatnya Anyelir tidur di sofa bed warna abu-abu yang terletak di dekat jendela. Ada rasa tak tega melihat perempuan hamil yang perutnya belum terlihat membuncit itu tidur meringkuk.

'Ah, ngapain aku peduli, sih?' gumamnya.

Namun, lelaki berkaus lengan pendek warna cokelat itu teringat ucapan Anindya. Kalau Papa masuk kamar saat ia ke dapur untuk minum dan melihat Anyelir tidur di sofa, tentu saja lelaki itu akan marah.

'Kenapa dia tidur di situ, sih? Merepotkan saja'. Rendra menggendong Anyelir persis seperti ia menggendong Felicia tempo hari.

Ketika membaringkan tubuh ramping Anyelir, wajah mereka tak sengaja berdekatan. Narendra tampak menyunggingkan senyum kala melihat wajah cantik alami itu.

'Astaga! Sadar, Ren! Ingat Felicia! Jangan sampai menyukainya'.

Rendra yang semula kebingungan memilih tidur di sofa atau tempat tidur, menjatuhkan pilihan di samping Anyelir. Hatinya beralasan jika Anyelir sedang turun untuk minum dan Papanya memeriksa ke kamar, bisa menjadi masalah kalau dia ketahuan tidur di sofa.

Tiba-tiba, ia tak sabar untuk pindah ke rumah baru meskipun menurut dugaannya, rumah itu tak besar, apalagi mewah. Narendra mengatupkan netra, berharap waktu cepat berlalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status