Mag-log inBrak!
Pintu segera ditutup saat pemilik rumah menatapnya garang. “Mas! Mas! Buka pintunya! Aku teriak nih!” serunya panik, memukul-mukul pintu dengan keras. Beberapa penghuni penthouse lain keluar unit, menatap Cindy dengan tatapan aneh, beberapa berbisik-bisik. Cindy makin panik. Tak lama, Nathan membuka pintu sedikit—hanya cukup untuk menampakkan wajahnya. “Ada apa?” tanyanya datar, berusaha tetap dingin, meski jelas terlihat ia terkejut setengah mati. Cindy menatapnya dengan mata memerah, penuh amarah, malu, dan keputusasaan yang ia tahan mati-matian. “Aku gak dibolehin masuk dulu?” tegas Cindy. Nathan hanya membeku. Matanya mengerjap masih memproses tamu yang datang malam ini. Tanpa menunggu jawaban, Cindy menerobos masuk begitu saja, meninggalkan koper dan tas-tasnya di depan pintu. Napasnya masih tersengal karena panik, detak jantungnya tak aman, dan sisa emosi yang belum mereda. Nathan refleks menahan pintu dengan lengannya. “Cindy, kamu tuh—” “Aku boleh tinggal disini gak mas untuk sementara?” Cindy berbalik menatapnya dengan mata berkaca-kaca, suaranya pecah namun tetap keras. “Aku… aku nggak punya tempat lagi buat pulang. Jadi tolong… jangan usir aku.” Nathan terdiam. Tatapan tajamnya meredup seketika, tapi rahangnya masih mengeras menahan sesuatu—kaget, marah, atau simpati, Cindy tidak tahu. “Atau setidaknya untuk malam ini.” Buru-buru Nathan meraih koper Cindy beserta tas-tas lainnya dari depan pintu. Begitu semuanya sudah ia tarik masuk, Nathan menutup pintu penthouse dengan cepat. Ia berdiri mematung di depan pintu, napasnya naik turun, rambutnya sedikit berantakan. Sorot matanya langsung tertuju pada Cindy. Cindy, yang kini duduk santai di sofa ruang TV seakan rumah itu miliknya sendiri, menoleh dengan dagu terangkat sedikit. Tatapannya menantang, meski matanya masih menyimpan sisa kecemasan. “Kenapa Mas? Mas udah punya wanita lagi ya?” tanya Cindy, suaranya tajam namun terdengar jelas ada luka yang ia sembunyikan. Nathan menyilangkan tangannya seraya menyender dinding. Matanya dipejamkan sebentar bersamaan hela nafasnya yang besar. “Cindy, jangan mulai.” Kini pintu sudah tertutup dan kini mereka berdua berdiri berhadapan di ruang tamu yang sunyi, tegang, dan penuh kenangan pahit. “Lain kali, kamu tuh konfirmasi dulu,” ucap Nathan sambil mematikan game di ruang TV, suara kesalnya masih menggantung. “Aku gak tau nomor mas.” ucap Cindy sambil memelototkan mata, seolah menantang. “Mungkin aja nomor mas berubah?” “Nomor saya gak pernah berubah.” Cindy menyela, “Kan aku juga gatau kalau mas masih disini atau gak?” “Bukan masalah…” Nathan menarik napas, suaranya merendah lalu terhenti sejenak. “Bukan masalah aku masih sendiri atau lagi sama wanita lain.” “Terus?” Cindy menyipitkan mata. “Lagian kode rumah kamu aku juga gatau.” Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, jelas ingin memancing reaksi. “Gak pernah saya ubah.” Nathan merendah. “Masalahnya gini deh–” “Masalahnya kalau aku lagi ke luar negeri? Gimana?” suara Nathan naik satu oktaf, nadanya menahan emosi, kedua alisnya mengernyit tajam. Cindy mendengus pelan. “Lagian kalau aku bilang, nanti yang ada kamu nggak bolehin.” Nathan berdiri, berkacak pinggang, menatap Cindy yang sama sekali tidak terlihat menyesal. “Kamu tuh nggak punya tempat lain?” Cindy menghela napas panjang sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. “Kalau ada, ngapain aku ke sini?” Tatapannya lurus ke layar TV, wajahnya cemberut seperti anak kecil yang sedang dihukum. Nathan mengerutkan alis. “Berapa lama?” tanyanya tegas sambil menyilangkan tangan di dada. “Mungkin… beberapa hari,” jawab Cindy pelan. “Yang jelas berapa hari?” Nathan menaikkan nada suaranya, kesulitan menahan emosi. Cindy memalingkan wajah, suaranya melemah. “Ya… nggak tahu juga. Aku belum bisa mikir. Aku lapar… belum makan dari sore.” Nathan mendengus pelan lalu ia berbalik dan melangkah ke kamar tidur. “Masak sendiri.” Ucapannya singkat, dingin, dan tajam sebelum pintu kamarnya tertutup ia menyelipkan dirinya di pintu. “Kamu tidur di kamar tamu. Jangan ganggu.” Cindy memandangi pintu kamar Nathan yang kini tertutup rapat. Perlahan, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. Lalu berlari ke arah ruang makan—meninggalkan koper dan tas-tasnya berserakan di dekat rak sepatu tanpa peduli sedikit pun. Cindy memasak makanan kesukaannya. Ia sempat melihat sebuah memo kecil menempel di lemari es. “Masih sama,” gumam Cindy sambil tertawa kecil, jarinya menyentuh kertas itu dengan perasaan hangat. Matanya lalu menyapu ruang makan, memperhatikan tiap detail—kursi makan yang disusun berdampingan, lengkap dengan bantal kecil di atasnya. “Jadi… bangkunya satu?” bisiknya, alisnya terangkat tidak percaya. “Nggak percaya deh. Masa dia nggak pernah bawa seseorang gitu?” Ia menyiapkan makanannya di atas meja dan duduk seorang diri. Sesekali ia melirik pintu kamar Nathan. Perut kenyang membuat kantuknya semakin berat. Cindy melangkah menuju kamar tidurnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk—bantal bertumpuk, selimut tebal terlipat rapi, seolah ruangan itu menyambutnya.“Kenapa, emangnya kalau aku keluar pakai handuk?” Cindy menatapnya kuat walau lebih khawatir handuk yang ia pakai mulai melorot. “Pokoknya…” Nathan mengusap keningnya, terlihat mencari kalimat yang tepat untuk menahan dirinya sendiri. “Pokoknya kamu...” ucap Nathan dengan nada heran ketika menyadari Cindy sudah menghilang dari hadapannya. loh? Udah kabur aja? Belum juga selesai dikasih tahu.” Sementara itu, di dalam kamar, Cindy menutup wajah dengan kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar dan ia mencoba menenangkan dirinya. “Aduh… aduh, malu banget. Nanti dia pasti mikir yang… ih, nggak, nggak, nggak! Jangan sampai itu kejadian. Aku nggak mau,” gumamnya cepat, wajahnya memerah. “Tujuan aku cuma numpang sebentar. Kalau udah dapet kerjaan, aku cabut dari sini,” lanjutnya, mencoba meyakinkan diri meski jantungnya berdetak kacau. Nathan melangkah ke balkon, menahan napas panjang sambil menatap langit pagi. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah mencoba menenangkan badai keci
“Mas? Buka pintunya!” Cindy berteriak sambil mengetuk pintu kamar Nathan berkali-kali. Napasnya naik turun, wajahnya merah karena kesal. “Kamu sendiri yang usir aku, tapi kenapa aku nggak bisa keluar dari rumah ini?!” Handle pintu kamar bergerak. Cindy buru-buru mundur dua langkah. Pintu terbuka, memperlihatkan Nathan berdiri dengan wajah datar dan rambut sedikit berantakan. “Kamu berisik. Ini udah malam,” ucap Nathan tenang, seolah tidak terganggu teriakannya. “Kamu tuh aneh!” Cindy melipat kedua tangannya, bibirnya manyun penuh amarah. “Kamu jelas-jelas usir aku, tapi kenapa kamu nggak izinkan aku keluar dari rumah kamu ini?!” “Ini udah malam,” jawab Nathan singkat. Ia hendak menutup pintu, tapi Cindy buru-buru menahannya dengan telapak tangan. “Mas, jawab pertanyaan aku! Kenapa aku nggak boleh pergi dari sini?!” tanya Cindy lagi, kini lebih putus asa daripada marah. “Siapa yang nggak bolehin?” Nathan balik bertanya pelan, tatapannya menusuk. “Loh, jelas kok!” Cindy m
“Cindy.”Suara itu berat, datar, dan datang dari arah dapur.“Kamu sini.”Cindy membeku di depan pintu. Sial. Harusnya dia selesai sebelum Nathan turun.Laki-laki itu berdiri di ambang pintu, lengan bersedekap. Tatapannya tidak marah, tapi tajam… terlalu tajam untuk pagi yang seharusnya tenang.“Kamu… nyuci bajuku?”Nada Nathan pelan, tetapi menusuk.Cindy menelan ludah. “Aku cuma…, sekalian aja. Mesin cucinya juga kosong.” Ia mencoba tersenyum santai, tapi senyumnya pecah di tengah jalan.Nathan melangkah mendekat. “Kapan terakhir kali kamu nyuci baju di rumah ini?”Cindy mengalihkan pandangannya. “Empat bulan sebelum kita cerai.”“Jadi kenapa sekarang kamu—”“Karena aku tinggal numpang di sini, Nathan.” Cindy memotong dengan cepat, suara rendah namun getir. “Aku nggak mau cuma makan tidur. Biar aku kerjain apa pun yang aku bisa.”Keheningan menggema. Nathan menatap keranjang cucian itu lama, seakan menimbang sesuatu.“Cindy,” katanya akhirnya, lebih lembut dari yang ia maksudkan. “A
Bip.Kode pintu terbuka disusul langkah kaki.Nathan baru pulang dari kantor. Penampilannya masih rapi, hanya rambutnya sedikit acak karena hari panjang. Dengan langkah gontai, ia berjalan masuk. Namun langkah itu terhenti saat matanya menangkap pemandangan tak terduga.Perempuan itu. Tertidur pulas, memeluk bantal, rok mininya tersingkap begitu jelas—terlalu jelas untuk ukuran kesabaran Nathan setelah seharian bekerja. “Dia tuh… bisa nggak sih pakai baju yang nggak gini?” ucap Nathan pelan dengan raut bingung, antara mau menatap atau pura-pura acuh. Tapi tatapannya tidak acuh. Tidak sama sekali. Nathan menarik napas panjang.Ini bukan pertama kali ia melihat Cindy begitu, tapi karena hubungan keduanya juga bukan baik, mengapa degupnya aneh? Perlahan, ia melangkah mendekat. Setiap langkah terasa berat dan berbahaya. Semakin dekat, semakin ia merasakan aroma lembut parfum Cindy yang membuat tengkuknya menegang. Nathan berjongkok pelan di samping sofa. Tangannya sempat ragu di ud
Pagi menjelang. Cindy terbangun dengan rambut acak dan selimut yang berantakan. “Jam lima pagi…” gumamnya dengan mata setengah terpejam sambil melirik jam di tangannya—yang bahkan belum sempat ia lepas tadi malam. “Um…” Cindy memfokuskan pandangannya. Ia melihat jelas tas-tas miliknya kini ada di dekat lemari pakaian. “Kapan masuknya ya?” bisiknya, suara itu menggantung, nyaris seperti ketakutan—atau penasaran. Cindy menelan ludah. Ia yakin tidak menyentuh tas-tas itu sama sekali. Dan hanya ada satu orang yang bisa melakukannya tanpa ia sadari. “Ah, mungkin aku aja yang lupa,” ucap Cindy sambil tersenyum kecil menatap langit-langit kamar tidur. Ia merenggangkan tubuhnya, menguap, lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Usai mandi, tubuhnya hanya tertutup handuk. Cindy membuka tas koper, mencari pakaian. “Astaga… baju aku gini semua lagi…” keluhnya sambil menarik napas panjang. Isinya hanya baju kekurangan bahan—semua gaya khasnya. Mau tidak mau, ia meng
Brak!Pintu segera ditutup saat pemilik rumah menatapnya garang.“Mas! Mas! Buka pintunya! Aku teriak nih!” serunya panik, memukul-mukul pintu dengan keras. Beberapa penghuni penthouse lain keluar unit, menatap Cindy dengan tatapan aneh, beberapa berbisik-bisik. Cindy makin panik. Tak lama, Nathan membuka pintu sedikit—hanya cukup untuk menampakkan wajahnya. “Ada apa?” tanyanya datar, berusaha tetap dingin, meski jelas terlihat ia terkejut setengah mati. Cindy menatapnya dengan mata memerah, penuh amarah, malu, dan keputusasaan yang ia tahan mati-matian. “Aku gak dibolehin masuk dulu?” tegas Cindy.Nathan hanya membeku.Matanya mengerjap masih memproses tamu yang datang malam ini. Tanpa menunggu jawaban, Cindy menerobos masuk begitu saja, meninggalkan koper dan tas-tasnya di depan pintu. Napasnya masih tersengal karena panik, detak jantungnya tak aman, dan sisa emosi yang belum mereda. Nathan refleks menahan pintu dengan lengannya. “Cindy, kamu tuh—” “Aku boleh tinggal







