Share

Bab 6

Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya.

Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku?

Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor.

Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina.

“Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya.

Dia menggeliat.

“Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata.

“Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku.

“Iya,”

Kemudian aku kembali ke ruang tengah. Pamit pada dua bocah seumuran itu.

“Devan, Raka ... nanti kalau mau sesuatu bangunkan Mama Devan ya,” pesanku pada bocah yang usianya belum genap lima tahun.

“Iya, Ma,” sahut Raka, anakku, sementara Devan terlalu fokus pada layar si depannya.

Lalu, aku segera berangkat ke pasar hendak membeli beberapa bumbu dapur. Semua stok habis karena memang aku hanya membeli sedikit.

**.

Mengendarai sepeda motor Mas Adam, Aku menyusuri jalanan yang ramai akan hilir mudiknya roda empat. Beberapa di antaranya saling menyalip berebut di depan, bahkan terkadang mengabaikan keselamatan. Bagi pemotor sepertiku, ini hal yang menyebalkan. Di mana mereka sering memaksaku turun ke bahu jalan saking takutnya celaka.

Belum sampai di tempat tujuan, motor yang kukendarai mendadak mati mesin. Aku yang enggak seberapa tahu soal motor, hanya mencoba men-starter berkali-kali, tapi tak membuahkan hasil.

Aku menghela nafas panjang bingung harus meminta bantuan siapa. Bengkel memang sudah dekat, tapi dengan uang yang pas-pasan, rencana belanjaku bisa ambyar.

Tepat di saat aku berada di fase panik, sebuah mobil mendadak berhenti persis di depanku. Aku memandang dengan keheranan sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang lelaki yang kukenali muncul.

Adalah Mas Daffa, mantan sumi Mbak Nina. Lelaki itu melempar senyum sambil berjalan mendekat.

“Kenapa, Sil?” tanyanya.

“Enggak tahu, Mas! Tiba-tiba mogok,” sahutku jujur tanpa sedikit pun berharap dia membantu.

“Bawa ke bengkel saja. Di depan kan ada,”

“Iya. Ini juga mau ke sana.”

Aku sedikit mendorong motor berharap lelaki yang telah menghancurkan hidup kakakku segera pergi. Namun, nyatanya dia malah semakin mendekat.

“Sini biar aku yang dorong. Kamu ikut mobil saja.” Tanpa aba-aba Mas Daffa langsung meraih setang motor, memaksaku menjauh. Sebab, jika tidak tubuh kami akan menempel.

“Enggak usah, Mas! Biar aku saja!”

“Sudah! Nurut saja. Kamu masuk mobil gih!” Lelaki itu terus mendorong motor, bahkan kali ini sudah melewati mobilnya.

Dengan segala keterpaksaan aku masuk ke mobil di mana seorang sopir telah menunggu. Detik berikutnya mobil meluncur dan berhenti di depan bengkel terdekat. Aku lekas turun menunggu Mas Daffa yang mendorong motor.

Tak sampai lima menit, lelaki itu telah sampai. Dia menyeka keringat yang membanjiri dahi, lalu mendekati montir dan bicara sesuatu.

Beberapa saat bicara, sang montir mendekati motorku kemudian membawa untuk diperbaiki, sementara Mas Daffa mendekat ke arahku.

“Sil, kita nunggu di sana saja yuk!” ajaknya sembari menunjuk ke sebuah bangunan yang menyerupai tempat ngopi.

“Enggak usah deh, Mas! Aku nunggu di sini saja!”

“Ini bakal lama, Sil! Kita ke sana saja. Sekalian ada yang mau aku bicarakan,”

Aku mengernyit. “Bicara apa?”

“Tentang kakakmu. Udah yuk ikut saja!”

Rasa penasaran memaksaku mengekori langkah Mas Daffa. Kemudian kami masuk ke dalam yang suasananya masih sangat sepi. Tak ada seorang pun terlihat kecuali mereka yang mengenakan pakaian serupa.

Mas Daffa memilih meja di sudut ruangan untuk kami duduk. Seorang pelayan membawa buku menu menawarkan menu andalan.

“Kamu pesan apa, Sil?”

“Air putih dingin saja!” jawabku.

Mas Daffa mengulum senyum kemudian dia memesan dua gelas jus Alpukat. Pelayan itu pergi dan lekas kembali dengan pesanan Mas Daffa tanpa membawa pesananku. Ah ... apa ada yang salah dengan pesananku?

Lelaki yang pernah menjadi kakak iparku itu menyeruput sedikit minumannya, lalu meletakkan kembali.

“Bagaimana kabar kakakmu?” tanyanya kemudian.

“Seperti kebanyakan perempuan yang dikhianati,” sahutku ketus.

Entah kenapa ada semacam kebencian setiap mengingat lelaki itu telah mengkhianati Mbak Nina. Gara-gara dia juga aku dan Mas Adam jadi sering ribut.

Dia tersenyum. “Bukan aku yang berkhianat. Tapi kakakmu!”

“Hei! Jangan asal bicara kamu. Jelas-jelas kamu yang membawa perempuan lain ke rumah. Kenapa malah menyalahkan Mbak Nina!” protesku tak terima.

Kembali dia tersenyum. Tak langsung bicara seakan memberiku waktu untuk mengatur nafas.

“Kelihatannya begitu. Tapi kenyataannya justru dialah yang mengkhianatiku.”

Aku menatap nyalang pada lelaki di hadapanku. Dada naik turun seiring nafas yang memburu tak beraturan. Biarpun bukan aku yang dikhianati, tapi ikut sakit saat kakakku merasakan sakit.

“Jangan memutar-balikkan fakta! Mana buktinya?” Aku menggebrak meja hingga air dalam gelas mengombak. Bahkan beberapa orang pelayan mencuri pandang ke arah kami.

“Kamu tak perlu tahu buktinya. Cukup aku saja!” sahutnya.

Aku semakin jengkel. Seenak jidat dia menuduh dan saat diminta bukti malah bilang kayak begitu. Dasar lelaki!

Sebutkan saja jika memang kamu tidak sedang membual!” Aku mencibir.

“Kamu yakin mau tahu buktinya?” Mas Daffa memasang wajah serius.

“Tentu saja!”

Lelaki itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menghela nafas panjang dengan tatapan menerawang lurus ke depan.

“Selama ini Nina tak pernah mencintaiku, melainkan hanya menjadikan aku pelampiasan.

Bukan sekali dua kali kudengar dia mengigau menyebut nama lelaki lain, bahkan pernah saat bercinta dia juga pernah keceplosan menyebut nama orang,” jelasnya.

Aku yang sejak tadi memasang telinga, sedikit pun tak percaya. Aku yakin dia hanya membual, mencari alibi. “Jangan mengada-ada!”

“Aku tak mengada-ngada. Begitulah kenyataannya. Yang paling menyedihkan nama lelaki yang disebut Nina adalah Adam, suamimu!”

Kontan saja aku terperangah! Mas Daffa sudah berlebihan dalam mengarang cerita dan aku tak terima.

“Hei!” Aku membentak.

“Kenapa? Kaget? Enggak percaya? Bukan hanya kamu saja yang kaget. Dulu aku juga begitu. Awalnya tak percaya, tapi setelah melakukan penyelidikan, ternyata sejak dulu Nina mencintai Adam, bahkan jauh sebelum kamu menikah, mereka dekat.”

Aku menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang mendadak tercekat. Terlepas dari benar atau tidak yang dia katakan, mendadak aku khawatir pun bingung.

Benar. Aku kenal Mas Adam juga dari Mbak Nina. Saat itu teman-teman kakakku datang ke rumah dan salah satunya ada Mas Adam. Dari situ kami mulai berkenalan dan semakin dekat.

“Kamu boleh enggak percaya dengan ucapanku. Kalau ingin lebih jelas tanyakan saja pada suamimu,” ujar Mas Daffa.

Kutatap lekat sepasang mata Mas Daffa, tapi tak kutemukan kebohongan di sana. Mendadak aku menjadi bimbang, antara percaya atau tidak. Pasalnya selama ini baik Mbak Nina ataupun Mas Adam tak pernah bercerita kalau mereka pernah dekat.

Apa ini yang jadi alasan kenapa Mbak Nina tak mau pergi dari rumahku? Jangan-jangan dia mau merebut Mas Adam dariku? Ah ... tidak!

Apa ini pula yang jadi alasan kenapa Mas Adam tak nyaman dengan kehadiran Mbak Nina, bahkan awalnya dia tak mengizinkan kakakku menginap barang sehari?

Ah ..., tapi kenapa dulu Mbak Nina sering mengejek miskin suamiku? Kalau cinta kenapa begitu?

Mendadak kepalaku berdenyut nyeri memikirkan hal itu. Antara takut, bingung dan marah campur aduk menjadi satu, membuat otak menjadi tumpul.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status