Share

Bab 6

Author: El Furinji
last update Huling Na-update: 2023-11-04 18:19:54

Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya.

Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku?

Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor.

Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina.

“Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya.

Dia menggeliat.

“Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata.

“Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku.

“Iya,”

Kemudian aku kembali ke ruang tengah. Pamit pada dua bocah seumuran itu.

“Devan, Raka ... nanti kalau mau sesuatu bangunkan Mama Devan ya,” pesanku pada bocah yang usianya belum genap lima tahun.

“Iya, Ma,” sahut Raka, anakku, sementara Devan terlalu fokus pada layar si depannya.

Lalu, aku segera berangkat ke pasar hendak membeli beberapa bumbu dapur. Semua stok habis karena memang aku hanya membeli sedikit.

**.

Mengendarai sepeda motor Mas Adam, Aku menyusuri jalanan yang ramai akan hilir mudiknya roda empat. Beberapa di antaranya saling menyalip berebut di depan, bahkan terkadang mengabaikan keselamatan. Bagi pemotor sepertiku, ini hal yang menyebalkan. Di mana mereka sering memaksaku turun ke bahu jalan saking takutnya celaka.

Belum sampai di tempat tujuan, motor yang kukendarai mendadak mati mesin. Aku yang enggak seberapa tahu soal motor, hanya mencoba men-starter berkali-kali, tapi tak membuahkan hasil.

Aku menghela nafas panjang bingung harus meminta bantuan siapa. Bengkel memang sudah dekat, tapi dengan uang yang pas-pasan, rencana belanjaku bisa ambyar.

Tepat di saat aku berada di fase panik, sebuah mobil mendadak berhenti persis di depanku. Aku memandang dengan keheranan sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang lelaki yang kukenali muncul.

Adalah Mas Daffa, mantan sumi Mbak Nina. Lelaki itu melempar senyum sambil berjalan mendekat.

“Kenapa, Sil?” tanyanya.

“Enggak tahu, Mas! Tiba-tiba mogok,” sahutku jujur tanpa sedikit pun berharap dia membantu.

“Bawa ke bengkel saja. Di depan kan ada,”

“Iya. Ini juga mau ke sana.”

Aku sedikit mendorong motor berharap lelaki yang telah menghancurkan hidup kakakku segera pergi. Namun, nyatanya dia malah semakin mendekat.

“Sini biar aku yang dorong. Kamu ikut mobil saja.” Tanpa aba-aba Mas Daffa langsung meraih setang motor, memaksaku menjauh. Sebab, jika tidak tubuh kami akan menempel.

“Enggak usah, Mas! Biar aku saja!”

“Sudah! Nurut saja. Kamu masuk mobil gih!” Lelaki itu terus mendorong motor, bahkan kali ini sudah melewati mobilnya.

Dengan segala keterpaksaan aku masuk ke mobil di mana seorang sopir telah menunggu. Detik berikutnya mobil meluncur dan berhenti di depan bengkel terdekat. Aku lekas turun menunggu Mas Daffa yang mendorong motor.

Tak sampai lima menit, lelaki itu telah sampai. Dia menyeka keringat yang membanjiri dahi, lalu mendekati montir dan bicara sesuatu.

Beberapa saat bicara, sang montir mendekati motorku kemudian membawa untuk diperbaiki, sementara Mas Daffa mendekat ke arahku.

“Sil, kita nunggu di sana saja yuk!” ajaknya sembari menunjuk ke sebuah bangunan yang menyerupai tempat ngopi.

“Enggak usah deh, Mas! Aku nunggu di sini saja!”

“Ini bakal lama, Sil! Kita ke sana saja. Sekalian ada yang mau aku bicarakan,”

Aku mengernyit. “Bicara apa?”

“Tentang kakakmu. Udah yuk ikut saja!”

Rasa penasaran memaksaku mengekori langkah Mas Daffa. Kemudian kami masuk ke dalam yang suasananya masih sangat sepi. Tak ada seorang pun terlihat kecuali mereka yang mengenakan pakaian serupa.

Mas Daffa memilih meja di sudut ruangan untuk kami duduk. Seorang pelayan membawa buku menu menawarkan menu andalan.

“Kamu pesan apa, Sil?”

“Air putih dingin saja!” jawabku.

Mas Daffa mengulum senyum kemudian dia memesan dua gelas jus Alpukat. Pelayan itu pergi dan lekas kembali dengan pesanan Mas Daffa tanpa membawa pesananku. Ah ... apa ada yang salah dengan pesananku?

Lelaki yang pernah menjadi kakak iparku itu menyeruput sedikit minumannya, lalu meletakkan kembali.

“Bagaimana kabar kakakmu?” tanyanya kemudian.

“Seperti kebanyakan perempuan yang dikhianati,” sahutku ketus.

Entah kenapa ada semacam kebencian setiap mengingat lelaki itu telah mengkhianati Mbak Nina. Gara-gara dia juga aku dan Mas Adam jadi sering ribut.

Dia tersenyum. “Bukan aku yang berkhianat. Tapi kakakmu!”

“Hei! Jangan asal bicara kamu. Jelas-jelas kamu yang membawa perempuan lain ke rumah. Kenapa malah menyalahkan Mbak Nina!” protesku tak terima.

Kembali dia tersenyum. Tak langsung bicara seakan memberiku waktu untuk mengatur nafas.

“Kelihatannya begitu. Tapi kenyataannya justru dialah yang mengkhianatiku.”

Aku menatap nyalang pada lelaki di hadapanku. Dada naik turun seiring nafas yang memburu tak beraturan. Biarpun bukan aku yang dikhianati, tapi ikut sakit saat kakakku merasakan sakit.

“Jangan memutar-balikkan fakta! Mana buktinya?” Aku menggebrak meja hingga air dalam gelas mengombak. Bahkan beberapa orang pelayan mencuri pandang ke arah kami.

“Kamu tak perlu tahu buktinya. Cukup aku saja!” sahutnya.

Aku semakin jengkel. Seenak jidat dia menuduh dan saat diminta bukti malah bilang kayak begitu. Dasar lelaki!

Sebutkan saja jika memang kamu tidak sedang membual!” Aku mencibir.

“Kamu yakin mau tahu buktinya?” Mas Daffa memasang wajah serius.

“Tentu saja!”

Lelaki itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menghela nafas panjang dengan tatapan menerawang lurus ke depan.

“Selama ini Nina tak pernah mencintaiku, melainkan hanya menjadikan aku pelampiasan.

Bukan sekali dua kali kudengar dia mengigau menyebut nama lelaki lain, bahkan pernah saat bercinta dia juga pernah keceplosan menyebut nama orang,” jelasnya.

Aku yang sejak tadi memasang telinga, sedikit pun tak percaya. Aku yakin dia hanya membual, mencari alibi. “Jangan mengada-ada!”

“Aku tak mengada-ngada. Begitulah kenyataannya. Yang paling menyedihkan nama lelaki yang disebut Nina adalah Adam, suamimu!”

Kontan saja aku terperangah! Mas Daffa sudah berlebihan dalam mengarang cerita dan aku tak terima.

“Hei!” Aku membentak.

“Kenapa? Kaget? Enggak percaya? Bukan hanya kamu saja yang kaget. Dulu aku juga begitu. Awalnya tak percaya, tapi setelah melakukan penyelidikan, ternyata sejak dulu Nina mencintai Adam, bahkan jauh sebelum kamu menikah, mereka dekat.”

Aku menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang mendadak tercekat. Terlepas dari benar atau tidak yang dia katakan, mendadak aku khawatir pun bingung.

Benar. Aku kenal Mas Adam juga dari Mbak Nina. Saat itu teman-teman kakakku datang ke rumah dan salah satunya ada Mas Adam. Dari situ kami mulai berkenalan dan semakin dekat.

“Kamu boleh enggak percaya dengan ucapanku. Kalau ingin lebih jelas tanyakan saja pada suamimu,” ujar Mas Daffa.

Kutatap lekat sepasang mata Mas Daffa, tapi tak kutemukan kebohongan di sana. Mendadak aku menjadi bimbang, antara percaya atau tidak. Pasalnya selama ini baik Mbak Nina ataupun Mas Adam tak pernah bercerita kalau mereka pernah dekat.

Apa ini yang jadi alasan kenapa Mbak Nina tak mau pergi dari rumahku? Jangan-jangan dia mau merebut Mas Adam dariku? Ah ... tidak!

Apa ini pula yang jadi alasan kenapa Mas Adam tak nyaman dengan kehadiran Mbak Nina, bahkan awalnya dia tak mengizinkan kakakku menginap barang sehari?

Ah ..., tapi kenapa dulu Mbak Nina sering mengejek miskin suamiku? Kalau cinta kenapa begitu?

Mendadak kepalaku berdenyut nyeri memikirkan hal itu. Antara takut, bingung dan marah campur aduk menjadi satu, membuat otak menjadi tumpul.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status