SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP

SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP

Oleh:  El Furinji  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
23Bab
930Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Tanpa prasangka Sila menampung kakak perempuannya di rumah. Namun, siapa sangka kebodohannya menjadi awal keretakkan rumah tangga. akankah dia mampu mempertahankan?

Lihat lebih banyak
SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
23 Bab
AWAL
SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP“Sampai kapan Mbakmu tinggal di sini, Sil?” tanya suamiku. Aku yang sedang melipat baju sontak menghentikan aktivitas, menoleh pada lelaki yang duduk di depan meja rias sambil memegangi kepala. “Entahlah, Mas! Aku juga enggak tahu.” Lebih dari sepuluh kali Mas Adam menanyakan hal itu, dan aku selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Ya kamu tanya sama dia. Mau berapa lama mengganggu hidup kita?” “Tapi, Mas ... aku khawatir nanti malah dikira kita mengusir. Lagian rumah Mbak Nina sudah dijual, jadi dia mau pulang ke mana?” “Pulang kampung kan bisa! Daripada di sini hanya jadi bebanku. Aku enggak sanggup jika terus-terusan menafkahi mereka!”Wajar jika Mas Adam mengeluh. Tiga bulan belakangan Mbak Nina dan anaknya tinggal bersama kami. Semua kebutuhan hidup kami yang menanggung karena dia enggak bekerja. Namun, aku tak sampai hati jika memintanya pergi. Biar bagaimanapun kami dibesarkan dengan kasih sayang yang sama. Mas Adam menyugar rambut kasa
Baca selengkapnya
BAB 2
Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Membereskan rumah setelah Mas Adam berangkat kerja. Mbak Nina-kakak perempuanku belum keluar kamar. Biasanya dia baru bangun setelah mendekati pukul sepuluh siang. Aku tak mempermasalahkan hal itu karena kuanggap dia tamu, jadi tak berkewajiban membantu pekerjaanku. Terdengar dering nada panggilan saat aku sedang mencuci. Gegas kutinggalkan pekerjaan ini demi melihat siapa yang menghubungi. Rupanya, suamiku yang menelepon.“Assalamu alaikum, Mas!” ucapku setelah menggeser tombol hijau. “Waalaikum salam. Tolong transfer uang tabungan ke rekeningku, Sil. Tadi aku menabrak orang,” jawab Mas Adam dengan nada suara terdengar gugup.“Nabrak di mana, Mas? Kamu enggak apa-apa kan? Sekarang di mana?” Panik? Tentu saja! Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Mas Adam. Takut kalau-kalau dia terluka parah. “Aku enggak apa-apa, tapi yang kutabrak masuk rumah sakit. Makanya aku minta kamu transfer uang,” jelas suamiku.
Baca selengkapnya
BAB 3
POV ADAMSudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Setelah harus menafkahi kakak ipar yang selama ini sering menghina, sekarang aku harus bertanggung jawab atas perempuan yang tak sengaja kutabrak saat hendak berangkat kerja. Parahnya lagi, uang tabungan yang sejatinya bisa digunakan untuk keadaan darurat, ternyata sudah dipinjamkan oleh Sila tanpa sepengetahuanku. Semula aku sempat menganggap istriku perempuan bijak karena mau memaafkan Mbak Nina setelah segala hinaan yang kami terima. Namun, ternyata dugaanku salah. Sila tak lebih dari perempuan bodoh yang tak bisa membedakan mana hak dan kewajiban. Menyebalkan! Aku melajukan motor yang sebagian body-nya penyok, bahkan bagian slebor depan hilang saat kecelakaan tadi. Insiden itu memang bukan sepenuhnya salahku, tapi sebagai pengendara aku merasa bertanggung jawab atas pejalan kaki yang kini berada di rumah sakit.Sambil berkendara aku terus memikirkan cara mendapat uang
Baca selengkapnya
BAB 4
Di sudut ruangan aku terdiam menatapi bocah lelaki yang terlelap. Iba melihat wajah polos itu harus kekurangan kasih sayang. Akhir-akhir ini Mas Adam telah banyak berubah. Jarang dia memiliki waktu untuk kami bersama. Yang lebih parah, dua malam belakangan suamiku justru tak tidur di rumah. Kalaupun dia marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya tak sampai mengabaikan anak-anak. Jangan jadikan bocah yang tak berdosa sebagai korban keegoisan. “Ini juga salahmu, Sil! Kenapa masih membiarkan kakakmu tinggal di sini, sedangkan kamu tahu suamimu tak menginginkannya!” “Tidak! Ini bukan salahmu! Seharusnya Adam bisa mengerti posisimu. Bukankah menerimamu harus menerima keluargamu juga?” Suara batin berebut mengganggu pikiran. Dilema kian nyata membuat denyut nyeri di kepala semakin terasa. Satu sisi aku ingin menuruti keinginan Mas Adam, di sisi lain aku juga tak tega jika harus membiarkan saudara sedarah menjadi gelandangan. Sebentar kemudian aku bangkit lalu melongok kam
Baca selengkapnya
TEGAS
POV ADAMAku merasa lega setelah menceritakan yang kualami pada Bu Hana. Satu hal yang menjadi alasan kenapa aku mau berbagi cerita kehidupan adalah karena perempuan itu lebih dulu menceritakan kehidupan keluarganya. “Sudah kebangeten kan istriku,” ucapku selesai bercerita. Perempuan itu justru tersenyum. Tidak ikut merasa kesal seperti apa yang kuharapkan. “Jangan berprasangka dulu. Barangkali istrimu punya alasan tersendiri kenapa sampai berbuat seperti itu,” sahutnya bijak. “Ah ... enggak mungkin, Bu! Aku sudah mengatakan enggak nyaman dengan kehadiran kakaknya, bahkan pernah kubertanya sampai kapan kakaknya di sini. Tapi dia tetap saja enggak mau meminta kakaknya pergi,” Perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dariku itu menatap lekat ke arahku. “Apa kamu sudah pernah meminta secara langsung pada kakak iparmu untuk pergi dari rumahmu?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. “Masa iya aku terang-terangan meminta dia pergi. Segan lah!” Bu Hana menarik nafas panjang. Lalu perla
Baca selengkapnya
Bab 6
Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya. Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku? Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor. Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina. “Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya. Dia menggeliat. “Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata. “Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku. “Iya,” Ke
Baca selengkapnya
Bab 7
POV ADAMAku mengerjapkan mata saat merasa ada yang menindih tubuh. Semula aku pikir ini kelakuan Sila karena hampir sepuluh hari aku tak menyentuh. Namun, betapa terkejutnya saat kulihat wajah lain yang tengah menghujaniku dengan ciuman. Secepat kilat aku mendorong hingga dia terpental. “Aw ....” Dia memekik kesakitan sambil berusaha bangkit. “Gila kami, Nin!” Aku mengumpat kasar. Ini sudah kali ke empat Kakak iparku mencoba memaksakan keinginannya, tapi selalu tegas kutolak. Bukan munafik, aku hanya berusaha menjadi suami setia sebisaku. Kalaupun selingkuh, tentu bukan dengan Kakak iparku sendiri karena akan lebih menyakiti hati Sila. “Kamu yang membuatku Gila, Dam! Ayolah, mumpung Sila enggak di rumah.” Tanpa malu perempuan itu mendekat dan hendak bergelayut, tapi aku lekas berdiri menjauh. “Sadar, Nin! Sadar. Aku adik iparmu,” Dia ikut bangkit. “Tidak, Dam! Aku tak pernah menganggap kamu adik ipar. Bagiku kamu tetaplah Adam, kekasihku. Ayolah, jangan pura-pura. Bukankah sa
Baca selengkapnya
BAB 8
Ucapan Mas Daffa tadi siang masih berdengung di telinga. Kata-katanya memaksaku untuk curiga dengan Mbak Nina, kakakku sendiri. Terlebih jika mengingat bahwa mereka pernah dekat. Ah ... masa sih begitu? Jangan-jangan ini hanya bualan Mas Daffa saja karena tak terima ditinggal Mbak Nina. Sempat ingin menanyakan langsung pada Mas Adam, tapi suamiku sekarang telah berubah. Dia tak mau mendengar sedikit pun aku bicara. Malah pergi entah ke mana. Atau dia sedang ke rumah sakit lagi? Jujur. Aku lelah dengan semua ini. Aku merindukan kedamaian seperti dulu. Saat hari-hari kami masih diwarnai canda dan tawa, bahkan nyaris tak ada pertengkaran. Namun, agaknya kebahagiaan itu akan susah kuulang mengingat Mas Adam akan tetap marah jika Mbak Nina masih di sini. Sejenak aku diam. Mencoba merenungi setiap apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya kusadari bahwa semua berubah sejak Mbak Nina di sini. Kutarik nafas panjang lalu menghempaskan perlahan. Hati berkata bahwa aku harus bicara dengan Mba
Baca selengkapnya
BAB 9
Senja hampir berlalu saat aku sampai rumah. Gontai langkah terayun naik ke teras. Sesosok perempuan berwajah polos menyambut dengan seulas senyum. Namun, entah mengapa senyum itu tak lagi mampu menggetarkan hati. “Mau aku buatkan minum atau mandi dulu, Mas?” tawar Sila istriku. Kelembutan sebagai seorang istri memang tak kuragukan. Pun kepiawaian menyiapkan semua kebutuhan. Hanya saja sikap yang membiarkan kakaknya tetap di sini, itu yang membuatku muak. “Enggak usah!” Aku terus berjalan melewatinya. Meski tak menoleh, derap kaki yang terdengar membuatku tahu jika Sila mengikuti. Aku terus melangkah masuk ke kamar dan langsung duduk di depan meja rias. Dari balik pantulan cermin terlihat dia mendekat. “Kamu kenapa, Mas? Kok kusut banget?” tanyanya. Aku menoleh. Kemudian bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Duduk, Sil!” Aku menepuk bagian kasur di sebelahku. Sila mendekat kemudian duduk. “Ada apa, Mas?” Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop coklat yang kudapa
Baca selengkapnya
BAB 10
“Kakakmu masih tinggal di situ, Sil?” Seorang tetangga menanyai saat aku sedang berbelanja sayur. “Masih, Bu! Memangnya kenapa?” sahutku sekaligus bertanya. “Apa kamu enggak kasihan sama Adam? Kasih makan kamu saja sudah pontang-panting. Malah ditambah kakakmu juga,” Bukan kali ini saja aku mendapat pertanyaan seperti itu. Awalnya aku mengira mereka hanya julid, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata mereka mengingatkan meski terkadang cara bicaranya menyinggung. Aku diam. Meneruskan memilih sayur ketimbang menggubris mereka. “Maaf. Bukan menakut-nakuti. Ada loh di kota asalku seorang suami selingkuh dengan kakak iparnya gara-gara tinggal serumah. Kamu harus waspada!” ucap tetangga yang lain. Mendadak tenggorokan tercekat. Entah itu benar terjadi atau membual, yang jelas aku khawatir hal seperti itu menimpaku. Terlebih kata Mas Daffa mereka pernah dekat, meski aku tak tahu sedekat apa dulu. “Enggak bakalan, Bu! Lagian kakakku juga bentar lagi pindah. Tapi nunggu dapat kerja dulu,
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status