Share

TEGAS

POV ADAM

Aku merasa lega setelah menceritakan yang kualami pada Bu Hana. Satu hal yang menjadi alasan kenapa aku mau berbagi cerita kehidupan adalah karena perempuan itu lebih dulu menceritakan kehidupan keluarganya.

“Sudah kebangeten kan istriku,” ucapku selesai bercerita.

Perempuan itu justru tersenyum. Tidak ikut merasa kesal seperti apa yang kuharapkan.

“Jangan berprasangka dulu. Barangkali istrimu punya alasan tersendiri kenapa sampai berbuat seperti itu,” sahutnya bijak.

“Ah ... enggak mungkin, Bu! Aku sudah mengatakan enggak nyaman dengan kehadiran kakaknya, bahkan pernah kubertanya sampai kapan kakaknya di sini. Tapi dia tetap saja enggak mau meminta kakaknya pergi,”

Perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dariku itu menatap lekat ke arahku.

“Apa kamu sudah pernah meminta secara langsung pada kakak iparmu untuk pergi dari rumahmu?” tanyanya kemudian.

Aku menggeleng.

“Masa iya aku terang-terangan meminta dia pergi. Segan lah!”

Bu Hana menarik nafas panjang. Lalu perlahan-lahan membuangnya. Seakan ada suatu beban tersendiri di benaknya.

“Nak Adam, maaf ya, Ibu bukan bermaksud menyalahkanmu. Sekarang coba kamu pikir. Jika kamu yang hanya ipar merasa segan, apalagi istrimu? Dia pasti lebih segan dari kamu!”

Aku terdiam sesaat. Kalimatnya begitu bijak dan tidak menyinggung. Selama ini aku hanya mengandalkan Sila untuk meminta Mbak Nina pergi, sedangkan aku lebih berusaha menunjukkan rasa tidak suka.

“Tapi masa iya aku harus mengusir perempuan, Bu? Aku maunya Mbak Nina yang sadar diri.”

“itulah kesalahanmu. Bahkan kamu sendiri belum pernah mencobanya,”

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Merasa menjadi bodoh di depan perempuan yang sangat bijak ini.

“Jadi, sekarang aku harus bagaimana?” tanyaku bingung.

Otak serasa tumpul memikirkan masalah ini. Ditambah lagi raga yang lelah karena siang bekerja dan malam begadang menunggui Ervina.

Satu hal yang membuatku memilih ikut berjaga di rumah sakit adalah karena Bu Hana sama sekali tak mau menerima uangku. Dia akan menanggung semua biaya pengobatan anaknya dengan catatan aku bersedia menemani di rumah sakit sampai Ervina boleh dibawa pulang.

“Mumpung besok libur, kamu gunakan waktu untuk bicara dengan istrimu. Tanyakan kenapa dia sampai mengizinkan kakaknya tetap tinggal bersama, padahal biasanya perempuan lebih enggak nyaman jika saudaranya tinggal bersama dalam satu atap. Kebanyakan perempuan akan khawatir kalau suaminya digoda kakaknya sendiri.”

Aku diam. Tak membantah ataupun mengiyakan. Hati masih merasa kalau Sila terlalu polos hingga mudah dikompori kakaknya.

***

Sampai Adzan subuh berkumandang, mata ini masih belum memejam. Pikiran terlalu sibuk mencerna ulang setiap perkataan Bu Hana. Agaknya dia benar. Aku harus bicara dengan Sila.

Selesai sholat Subuh, aku pamit pada Bu Hana. Kemudian aku masuk ke ruang perawatan, hendak berpamitan juga pada Ervina. Beberapa hari ini kami sering mengobrol, jadi tak enak jika pergi enggak bilang.

“Vin, aku balik dulu ya. Nanti malam baru ke sini lagi,”

“Iya, Mas! Makasih ya kamu sudah mau mendengarkan curhatku,” ucapnya.

Aku tersenyum. Kemarin malam kami sempat terlibat obrolan ringan. Dia banyak bercerita tentang kisah asmaranya yang kandas hingga membuatnya terpikir untuk bunuh diri. Tentu saja aku terus menasihati agar tak sampai melakukan hal bodoh itu.

“Iya. Kamu juga harus semangat buat sembuh. Ingat ada Ibu yang membutuhkan kamu,” pesanku.

Kemudian aku beranjak meninggalkan gadis berambut hitam panjang itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan kudengar dia memanggil. Aku berbalik.

“Nanti kamu kembali ke sini kan?” tanyanya.

Aku menjawab dengan sebuah senyum dan anggukan.

“Titip salam buat istrimu ya. Sekalian nanti kalau ke sini belikan aku martabak!”

“Iya.”

Kemudian aku melanjutkan langkah ke luar ruangan. Rasanya sudah tak sabar ingin bicara dengan Sila. Hati sudah lelah dengan semua polemik yang tengah kuhadapi.

***

Sampai di rumah aku langsung di sambut oleh Sila. Sebuah senyum yang aku sendiri sulit mengartikannya. Sebentar senyum itu terlihat bahagia, sebentar terlihat sedih. Entah.

“Sil! Aku mau bicara!”

Apa pun yang dia tunjukkan tak akan mengubah tekadku untuk meminta kepastian. Jiwa dan raga seakan tak sanggup bertahan dalam peliknya masalah ini.

“Iya, Mas! Kita bicara di dalam. Sekalian aku buatkan teh ya,”

“Enggak usah. Aku mau bicara sekarang,”

“Enggak! Pokoknya aku mau bikinkan teh dulu, baru kita bicara.”

Dia memang keras kepala. Mau tak mau aku mengekori langkahnya yang telah lebih dulu masuk ke dalam. Kuikuti sampai dapur lalu aku duduk di depan meja makan kecil yang masih kosong.

Sementara Sila membuatkan minuman, aku sibuk menyusun kalimat yang tepat untuk memojokkannya.

Sebentar kemudian teh telah diletakkan di meja persis di depanku. Lalu, Sila menarik kurai plastik untuk kemudian mengambil duduk berdekatan.

Aku meraih cangkir di depanku, menyesap sedikit isinya kemudian meletakkan kembali di tempat semula.

“Sil, aku mau bicara.” Aku mengulang kalimat yang sama.

“Bicaralah, Mas! Aku akan mendengar,” sahutnya.

“Sudah berkali-kali aku meminta agar kamu mengusir kakakmu dari sini. Namun, nyatanya sampai sekarang masih juga belum pergi,”

Sila tak langsung menyahut seakan tahu kalau kalimatku belum selesai.

“Sekarang aku butuh kepastian darimu. Mbak Nina keluar dari rumah ini, atau aku yang akan pergi.”

Sila tercengang. Sorot matanya lekat menatap seakan tak percaya dengan apa yang kuucapkan.

“Pilih aku atau kakakmu!” Aku terus mengintimidasi.

Sila tak langsung menyahut, melainkan membuang pandangan ke samping. Bisa kulihat kristal bening mulai menggenang di kelopak matanya.

“Maaf, Mas! Aku tak bisa memilih salah satu dari kalian,” ucapnya tanpa menoleh.

“Loh kenapa? Tinggal pilih saja. Atau jangan-jangan kamu sudah di racuni oleh kakakmu sampai tak mau mengusirnya dari sini?”

Sila menggeleng. Dari sudut mata bulir bening mulai jatuh, tapi sama sekali dia tak terisak. Hanya menggigit bibir bawah seperti sedang menahan gejolak di dada.

“Lalu kenapa? Bicaralah!” bujukku.

Sampai hampir semenit berlalu, Sila belum juga membuat keputusan atau sekedar memberi alasan kenapa membiarkan kakaknya tetap di sini. Aku semakin tak sabar.

“Katakan, Sil!” bentakku.

Sila terkejut takut. Menunduk sebentar kemudian baru berani menatapku.

“Kamu masih ingat bekas jahitan di paha kiriku?” tanyanya.

“Ya. Itu bekas operasi tumor kan? Memangnya apa hubungannya dengan semua ini?”

“Kamu tahu siapa yang membiayai pengobatanku dulu?”

Aku semakin bingung. Menggeleng tapi masih mencoba menebak.

“Orang tuamu kan?”

“Bukan, Mas! Bukan mereka tapi Mbak Nina. Dengan perekonomian yang seperti itu, mana mungkin orang tuaku mampu membiayai. Itulah kenapa aku tak keberatan dia tinggal di sini.

Dulu, saat aku melakukan operasi, semua tabungan Mbak Nina ludes untuk biaya, padahal sejatinya uang yang dikumpulkan hendak dibelikan motor, tapi dia menepikan ego.

Bukankah aku sudah pernah cerita bagaimana masa kecil kami yang sarat akan caci maki dan label miskin? Tapi Mbak Nina memilih tak beli motor yang penting aku sehat.”

Aku menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Tak menyangka sama sekali jika istriku memiliki hutang budi begitu besar.

“Tapi kenapa kamu enggak pernah cerita? ” protesku.

“Kamu mau tahu kenapa aku enggak cerita?”

“Ya” sahutku.

“Setelah operasi berhasil, Mbak Nina sedikit pun tak memintaku untuk mengganti uangnya. Dia hanya memintaku mencari calon suami yang kaya agar aku tak lagi dihina miskin.

Tapi, pada akhirnya aku memilih menjadi istrimu dan hidup serba pas-pasan. Aku tak mempermasalahkan itu karena memang aku mencintaimu. Jika aku bercerita soal itu, aku takut kamu minder. Makanya aku diam.

Coba bayangkan jika aku bercerita bahwa keluargaku menginginkan menanti kaya. Aku yakin kamu pasti akan meninggalkanku dan aku tak mau itu terjadi. Lagi-lagi karena aku mencintaimu.

Dan soal kenapa Mbak Nina dulu sering menghina, aku yakin karena dia kecewa denganku. Dia sempat menjodohkan aku dengan temannya yang kaya tapi kutolak. Aku lebih memilihmu. Sekali lagi aku merahasiakan darimu agar kamu tak membenci kakakku.

Sebenarnya Mbak Nina dulu penyayang. Kuakui sekarang telah berubah karena saking terobsesinya dianggap kaya. Bahkan sampai tak berani pulang kampung setelah suami meninggalkannya. Dia malu.”

Aku terdiam sesaat. Meresapi setiap kalimat yang terucap. Entah benar atau tidak yang dikatakan istriku, atau hanya bualan semata. Yang jelas aku tetap saja tak nyaman jika masih serumah dengan kakak ipar.

“Kalau begitu, anggap saja uang yang dipakai Mbak Nina sudah lunas buat ganti yang pernah kamu pakai. Tapi aku tetap tidak setuju jika dia masih di sini,” tekanku.

Sila terdiam. Dia kembali menunduk bingung.

“Tolong beri aku waktu satu bulan, Mas! Aku akan membujuk perlahan Mbak Nina agar mau pulang kampung,” ucapnya memelas.

Satu bulan? Apa enggak kelamaan? Sepertinya aku tak sanggup jika seperti itu.

“Itu kelamaan, Sil. Apa kamu enggak khawatir kalau kakakmu menggodaku? Lihat sendiri bagaimana caranya berpakaian dan aku juga lelaki normal,” ujarku menakuti.

Sila menggeleng lemah. “Aku tidak khawatir. Aku yakin Mbak Nina tak akan melakukan itu. Dia sangat menyayangiku. Jadi tolong. Beri waktu satu bulan lagi.”

Aku menimbang sejenak. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menyanggupi.

“Baiklah! Jika dalam waktu sebulan dia belum juga pergi, jangan salahkan jika aku yang pergi!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status