Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh
Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka
“Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s
SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP“Sampai kapan Mbakmu tinggal di sini, Sil?” tanya suamiku. Aku yang sedang melipat baju sontak menghentikan aktivitas, menoleh pada lelaki yang duduk di depan meja rias sambil memegangi kepala. “Entahlah, Mas! Aku juga enggak tahu.” Lebih dari sepuluh kali Mas Adam menanyakan hal itu, dan aku selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Ya kamu tanya sama dia. Mau berapa lama mengganggu hidup kita?” “Tapi, Mas ... aku khawatir nanti malah dikira kita mengusir. Lagian rumah Mbak Nina sudah dijual, jadi dia mau pulang ke mana?” “Pulang kampung kan bisa! Daripada di sini hanya jadi bebanku. Aku enggak sanggup jika terus-terusan menafkahi mereka!”Wajar jika Mas Adam mengeluh. Tiga bulan belakangan Mbak Nina dan anaknya tinggal bersama kami. Semua kebutuhan hidup kami yang menanggung karena dia enggak bekerja. Namun, aku tak sampai hati jika memintanya pergi. Biar bagaimanapun kami dibesarkan dengan kasih sayang yang sama. Mas Adam menyugar rambut kasa
Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Membereskan rumah setelah Mas Adam berangkat kerja. Mbak Nina-kakak perempuanku belum keluar kamar. Biasanya dia baru bangun setelah mendekati pukul sepuluh siang. Aku tak mempermasalahkan hal itu karena kuanggap dia tamu, jadi tak berkewajiban membantu pekerjaanku. Terdengar dering nada panggilan saat aku sedang mencuci. Gegas kutinggalkan pekerjaan ini demi melihat siapa yang menghubungi. Rupanya, suamiku yang menelepon.“Assalamu alaikum, Mas!” ucapku setelah menggeser tombol hijau. “Waalaikum salam. Tolong transfer uang tabungan ke rekeningku, Sil. Tadi aku menabrak orang,” jawab Mas Adam dengan nada suara terdengar gugup.“Nabrak di mana, Mas? Kamu enggak apa-apa kan? Sekarang di mana?” Panik? Tentu saja! Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Mas Adam. Takut kalau-kalau dia terluka parah. “Aku enggak apa-apa, tapi yang kutabrak masuk rumah sakit. Makanya aku minta kamu transfer uang,” jelas suamiku.
POV ADAMSudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Setelah harus menafkahi kakak ipar yang selama ini sering menghina, sekarang aku harus bertanggung jawab atas perempuan yang tak sengaja kutabrak saat hendak berangkat kerja. Parahnya lagi, uang tabungan yang sejatinya bisa digunakan untuk keadaan darurat, ternyata sudah dipinjamkan oleh Sila tanpa sepengetahuanku. Semula aku sempat menganggap istriku perempuan bijak karena mau memaafkan Mbak Nina setelah segala hinaan yang kami terima. Namun, ternyata dugaanku salah. Sila tak lebih dari perempuan bodoh yang tak bisa membedakan mana hak dan kewajiban. Menyebalkan! Aku melajukan motor yang sebagian body-nya penyok, bahkan bagian slebor depan hilang saat kecelakaan tadi. Insiden itu memang bukan sepenuhnya salahku, tapi sebagai pengendara aku merasa bertanggung jawab atas pejalan kaki yang kini berada di rumah sakit.Sambil berkendara aku terus memikirkan cara mendapat uang
Di sudut ruangan aku terdiam menatapi bocah lelaki yang terlelap. Iba melihat wajah polos itu harus kekurangan kasih sayang. Akhir-akhir ini Mas Adam telah banyak berubah. Jarang dia memiliki waktu untuk kami bersama. Yang lebih parah, dua malam belakangan suamiku justru tak tidur di rumah. Kalaupun dia marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya tak sampai mengabaikan anak-anak. Jangan jadikan bocah yang tak berdosa sebagai korban keegoisan. “Ini juga salahmu, Sil! Kenapa masih membiarkan kakakmu tinggal di sini, sedangkan kamu tahu suamimu tak menginginkannya!” “Tidak! Ini bukan salahmu! Seharusnya Adam bisa mengerti posisimu. Bukankah menerimamu harus menerima keluargamu juga?” Suara batin berebut mengganggu pikiran. Dilema kian nyata membuat denyut nyeri di kepala semakin terasa. Satu sisi aku ingin menuruti keinginan Mas Adam, di sisi lain aku juga tak tega jika harus membiarkan saudara sedarah menjadi gelandangan. Sebentar kemudian aku bangkit lalu melongok kam
POV ADAMAku merasa lega setelah menceritakan yang kualami pada Bu Hana. Satu hal yang menjadi alasan kenapa aku mau berbagi cerita kehidupan adalah karena perempuan itu lebih dulu menceritakan kehidupan keluarganya. “Sudah kebangeten kan istriku,” ucapku selesai bercerita. Perempuan itu justru tersenyum. Tidak ikut merasa kesal seperti apa yang kuharapkan. “Jangan berprasangka dulu. Barangkali istrimu punya alasan tersendiri kenapa sampai berbuat seperti itu,” sahutnya bijak. “Ah ... enggak mungkin, Bu! Aku sudah mengatakan enggak nyaman dengan kehadiran kakaknya, bahkan pernah kubertanya sampai kapan kakaknya di sini. Tapi dia tetap saja enggak mau meminta kakaknya pergi,” Perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dariku itu menatap lekat ke arahku. “Apa kamu sudah pernah meminta secara langsung pada kakak iparmu untuk pergi dari rumahmu?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. “Masa iya aku terang-terangan meminta dia pergi. Segan lah!” Bu Hana menarik nafas panjang. Lalu perla